Bagian 1 -Berita Pahit itu Benar Adanya

3 0 0
                                    


Gol! Begitu pekikku saat gawang Manchester kembali dikoyak oleh kombinasi Mohammad Salah dengan rekan satu timnya. Bagiku, menonton sepakbola adalah kesenangan yang hampir setara dengan kebahagiaan melahap es krim di kala terik mendera. Maka, kemenangan yang dihasilkan dalam seni bergotong royong menawarkan ketakjuban akan energi yang terjalin dalam ikatan antar manusia.

Rumah mertuaku pun menampilkan ikatan antar manusia yang cukup mendulang kagum. Apalagi di saat lapar tak mampu lagi dihalau. Bila wajan sudah diserbu oleh bumbu racikan Malika dan Mama Kusmini, selalu muncul perpaduan aroma yang mampu membungkam gema di dalam rongga perut. Maka izinkan aku berpesan, jangan pernah remehkan kekuatan para wanita. Sekali mereka memasak, kenyang sudah dijamin.

Di sisi lain, istri dan ibu mertuaku juga layak diganjar piala Adipura untuk wangi aroma bunga yang tersebar di sudut-sudut rumah. Bangunan real-estate type cluster bertingkat dua ini senantiasa membuatku seolah berada di kebun lavender yang biasa kutemui di serial drama klasik. Padahal mereka hanya menggunakan pewangi yang biasa kusimak iklannya wara-wiri di sela-sela acara sepakbola. Kerap aku berpikir, mantera atau sihir apakah yang mereka pelajari untuk menyulap padanan wangi pada seisi rumah ini?

Rasanya, ada begitu banyak hal yang perlu kuteladani dari ibu mertuaku. Tentang kehadirannya yang selalu membuat anak-anakku tersenyum di kala menyambangi rumahnya. Tentang sejarah perjuangan hidupnya yang telah membesarkan istriku hingga menjadi wanita yang begitu cendekia dan pengertian. Tak lupa, mengenai betapa nihilnya jarak antara istriku dengannya yang kadang membuat mereka laksana sepasang sahabat yang hampir sebaya.

"Han, bisa tolong mama sebentar?", mertuaku memanggil dari kamar atas.

"Ya, ma. Ada yang bisa Sihan bantu?", aku bergegas menaiki tangga menyambangi panggilannya.

"Tolong bawa koper-koper ini ke-bawah. Sebentar lagi mama harus berangkat. Sekalian kamu panggilkan taksi ya."

"Tidak perlu taksi, ma. Nanti Sihan antar ke bandara. Biar sekalian kita belanja oleh-oleh "

"Kamu gak capek nyetir baliknya, Han? Awas nanti ngantuk di jalan. Malika juga belum istirahat dari tadi membantu mama mengemas barang"

"Jangan khawatir, ma. Saya jamin perjalanan kita pasti menyenangkan."

Setelah berjejal-jejal dengan lautan roda empat, tiba saatnya kami melepas mama Kusmini menuju pintu keberangkatan. Kami hendak mengantarnya sampai corong masuk pesawat, namun beliau meminta kami untuk langsung pulang, karena masih ingin berbelanja sebelum lepas landas. Maka, kami pun meneruskan perjalanan menuju arah pulang dengan menatap mama Kusmini yang terus berjalan melalui lorong - lorong bandara membawa kerekan barang-barangnya.

Di dalam mobil yang kubawa menuju tol keluar bandara, aku melihat pesawat-pesawat mengangkasa ke langit senja yang begitu mencolok warna marunnya. Barangkali, mama Kusmini juga akan memanjakan matanya saat menatap guratan-guratan senja yang terlukis di balik awan, tepat di sebelah jendela pesawatnya.

Kami akhirnya tiba di rumah tepat setengah jam setelah adzan maghrib berkumandang.

"Beh, kira-kira Mama udah sampai belum ya ke Makassar? Biasanya tiap kali baru keluar pesawat mama langsung pamer foto di media sosial. Belum ada pesan masuk nih." tanya Malika heran.

"Kamu tenang saja, Malika. Mungkin sampai disana Mama harus bergegas ambil bagasi, atau mungkin lagi repot banget di bandara. Yang penting sekarang kita makan dulu ya."

Suasana ruang makan entah kenapa terasa lebih senyap dari biasanya. Sampai-sampai, aku bisa mendengar gerak cicak yang ada di dinding sebelah atas kulkas, dan juga nafas Malika yang sedikit terengah-engah. Mungkin memang sedemikian besar kekhawatirannya akan mama Kusmini. Barangkali, menyalakan TV bisa memecah suasana.

TV menyala, saat itu channel yang terakhir diputar adalah siaran khusus berita.

"Selamat sore pemirsa, kita kembali pada berita utama. Tepat jam 17.35 Waktu Indonesia Barat, pesawat Lembuswana Airlines hilang kontak dari menara ATC. Saat ini operator bandara Makassar sedang berusaha melacak keberadaan pesawat yang mengangkut 135 penumpang tersebut. "

Lembuswana Airlines? Mendengar nama pesawat itu disebutkan, mataku sigap mencari detil-detil pada berita dan mencoba mencocokannya dengan nomor pesawat yang dinaiki oleh Mama Kusmini.

Astaghfirullahaldzim. Inalillahiwainnailaihiraaji uun.

Ternyata Mama Kusmini berada dalam pesawat yang kehilangan kontak sejak dua jam tadi! Malika yang berada di wastafel pun menutup mulutnya. Dari kejauhan kurasakan getaran nafasnya  bahwa ia hendak terisak mendengar berita tersebut.

"Ya Allah beh, mama. Pesawatnya mama..."

"Tenang Mih, Babeh juga risau dengerinnya. Kita banyak beribadah dan berdoa saja semoga Mama dan semua penumpang selamat dalam lindungan Allah SWT."

Setelah mendengar berita itu, kami terjaga sepanjang malam. Masing-masing mata kami terus menggeser layar HP maupun televisi, berharap Ibu dalam keadaan baik-baik saja. . Tak lupa, kuhubungi dulu beberapa rekan sekantorku untuk mengonfirmasi ulang kebenaran berita nahas itu. Begitu berita pahit itu ternyata diamini oleh rekan dan atasan, hingga mereka menyebut koordinat dari TKP, kami pun berkemas segera untuk menuju titik yang dimaksud.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 12, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Biarkan Dapur Tetap MengepulWhere stories live. Discover now