💛💛
Sesampainya di ruang kerja, aku langsung menyiapkan laporan bulanan yang biasa diminta bos saat tanggal tua seperti sekarang datang. Tatapanku kini terfokus pada layar komputer di meja kerja, hingga tanpa disadari seseorang mungkin tengah memperhatikan sedari tadi.
"Nyiapin laporan?" tanya Juna tiba-tiba, membuatku sedikit tersentak dibuatnya.
"Menurut, lo?"
"Ishh, jutek mulu."
"Apa lo bil--"
"Stttt!" Kini, telunjuk Juna tegap berdiri di hadapan bibirnya sendiri. "Jangan berisik, karena si bos udah datang. Aku cuma mau ngasih ini, pasti kamu belum sarapan, kan, pagi ini? Gara-gara ban mobilmu bocor tadi," katanya perlahan. Setelah menaruh paper bag berisi makanan, lalu pergi begitu saja menuju kursi kerjanya.
Aku bergeming membisu.
Ya, kadang seserius itu Juna memperhatikanku. Menciptakan kegaduhan di hati dan semakin membuat rasa jengkel menjadi-jadi. Cowok aneh! Bagaimana bisa dia begitu leluasa bersikap sok akrab seperti tadi? Padahal jelas dia tahu, kalau ada pria lain yang sudah mengikat hubungan dan hati ini.
💛💛
Saat sore tiba dan aku terjebak kemacetan di jalanan Ibu Kota, maka diri akan lebih memilih menepi sejenak di tempat makan yang kebetulan dilewati. Menikmati waktu bersantap di luar seorang diri sudah menjadi kebiasaan. Karena sepertinya setiap makanan yang masuk ke mulut akan lebih bisa dicerna, daripada aku harus menikmati waktu makan di rumah.
Rumah sudah bagai neraka bagiku. Terlebih sejak papa lebih sering berada di tempat itu belakangan ini. Semua kacau. Pun dengan seluruh penghuninya.
"Kasih?" Suara seorang pria yang sudah sangat akrab di telinga, terdengar menyapa saat aku tengah menyesap secangkir latte.
"Dion? Kok, kamu ada di sini? Katanya lembur," imbuhku, lalu berdiri dari sofa seraya memeluk pria di hadapan.
"Iya, barusan aku ada rapat di tempat ini. Tapi sekarang udah selesai. Kamu ngapain di sini?"
"Terjebak macet," bisikku. Masih merekatkan lengan di pinggang Dion.
Pria berbadan tegap itu terkekeh.
"Join with me?"
"Of course, Honey."
Kami pun duduk bersama, lalu memesan lagi menu untuk makan malam berdua.
Dion, pria berusia tiga puluh tahun yang tengah menggeluti bisnis keluarganya sendiri saat ini. Adalah seseorang yang sudah hampir tiga tahun menjalin hubungan serius denganku. Kami dipertemukan secara tidak sengaja waktu itu, dalam acara pesta ulang tahun pernikahan bosku di kantor yang diselenggarakan di salah satu hotel berbintang.
Parasnya yang tampan, dengan badan tegap dan kharismatik. Tentu saja dengan cepat mampu merebut hati ini, selain lewat perlakuan manis yang selalu dia beri selepas berkenalan. Ya, tepat sebulan setelah bertemu di acara bosku itu, kami langsung memutuskan untuk berkomitmen dan pacaran. Sampai akhirnya bertahan hingga saat ini.
Meski kami selalu disibukan oleh pekerjaan masing-masing, tetapi sebisa mungkin kami menjaga komunikasi kendati hanya lewat obrolan di telepon. Dion adalah pria yang sangat perhatian. Namun, satu sikap buruk dari pria berkulit putih itu, yakni terlalu pencemburu juga posesif.
"Bagaimana di kantor, Honey?" tanya Dion, sambil menyuapiku seiris daging steak dari piringnya.
"Baik. Kamu?"
"Oke," sahutnya tersenyum.
Kami terdiam sejenak sambil terus menyantap makan malam.
"Your fami-ly?" Lagi Dion bertanya, walau terdengar ragu. Mungkin karena dia tahu, aku tak akan suka jika harus membahas tentang hal itu di saat makan seperti ini.
Aku mendongak sejenak ke arah pria berjas hitam itu, lalu melanjutkan memainkan pisau dan garpu di piring tanpa menjawab tanyanya.
"Sorry, Honey, But I'm--"
"It's okay. Mari, kita habiskan makan dulu saja," potongku. Berharap Dion paham diri sedang tak ingin mengingat kejadian-kejadian buruk yang kerap ada di rumah belakangan ini.
Hening. Setelah itu hanya hening yang mengisi waktu makan malam kami berdua di restoran ini. Aku tahu, Dion hanya ingin memastikan apakah hati ini sedang baik-baik saja atau tidak. Namun, dengan hanya memintanya diam untuk saat ini saja aku yakin, dia sudah tahu akan jawabnya. Ya, hatiku pilu ... jika harus mengingat hubungan papa dan mama di rumah.
Bersambung ....