#DL
#Duka_Laras
#Korban_PelecehanBy. Kartika Sari
Part. 1. Belitan Masa Lalu
"Kehidupan memang tak selalu sepahit kopi, tapi tak selalu semanis gula."
_________
“Dasar dekil! Pergi sana. Bikin aroma rumah jadi sumpek aja karena bau badanmu yang busuk itu. Cuih!” titah seorang wanita tambun, saat Laras baru saja menginjakkan kaki di halaman rumah tetangganya itu.
Laras menunduk malu, karena untuk ke sekian kali, gadis usia tujuh tahun yang memakai baju butut selutut itu harus menerima hinaan dari warga di pedesaan, tempatnya tinggal. Dia pun melangkah mundur setelah lama terdiam, lalu berbalik dan berlari meninggalkan sekumpulan anak seusianya yang tengah asyik bermain.
Padahal, niat hati hanya ingin ikut bermain, ikut tertawa bersama anak sebaya yang juga satu sekolahan dengannya. Namun, nyatanya, keadaan yang tak sederajat membuat Laras terkucil, sampai hanya segelintir orang peduli akan keberadaannya.
Laras yang tak tahu akan kesalahannya pun lagi-lagi memilih untuk menyendiri. Menyusuri jalan setapak dengan tatapan iri pada orang-orang yang dilewatinya sambil memegang perut, mencengkeramnya kuat karena merasa lapar.
Ludahnya tiba-tiba mencair saat dengan sengaja, mereka memamerkan jajanan. Laras buru-buru menelan ludah, lalu berlari ke tempat sepi yang cukup jauh dari pemukiman. Rumah tua. Tempat yang menjadi satu-satunya tujuan setiap kali ia merasa dikucilkan.
Tak jarang Laras menangis, atau sekadar bermain dan bercengkerama sendiri sampai azan Dzuhur berkumandang. Lantas pulang, karena nenek yang membesarkannya pun pulang dari kuli setengah hari di sawah orang.
Namun, kali ini ada yang membuatnya harus tetap tinggal. Seseorang yang dikenalnya dengan baik, bahkan sangat peduli, tiba-tiba datang dengan berbagai jenis makanan. Laras berlonjak senang. Betapa rasa laparnya akan terobati setelah memakan beberapa roti dan susu kotak.
“Makasih, Om. Rotinya enak,” kata Laras dengan mulutnya yang penuh.
“Sama-sama. Makan yang banyak, ya. Nanti pulang bareng om,” timpal seorang lelaki jangkung dengan wajah lumayan tampan itu. Namun, pakaiannya tidak begitu rapi. Bahkan terkesan urakan, karena terkenal sebagai preman jalanan.
Laras mengangguk antusias. Semakin lahap cara makannya saat orang yang kerap memberinya makanan itu mengelus rambut dengan penuh kasih sayang. Sebab, itu adalah hal yang jarang ia rasakan. Bahkan tidak karena jarak membuatnya terpisah dari orang tua.
Sebagai kenek tukang kuli bangunan, membuat ayahnya harus tinggal di luar kota. Pun dengan ibunya, yang mengabdi di salah satu perumahan sebagai pekerja rumah tangga di kota metropolitan.
Jarak dan keadaan pun membuat keduanya jarang pulang. Mereka memilih tinggal di kota dalam waktu yang lama, dengan mentransfer uang agar tak perlu memikirkan ongkos.
Mempunyai dua kakak lelaki yang sudah mencapai usia remaja pun tak membuat Laras merasa terlindungi. Justru kian terkucil karena tidak adanya rasa peduli. Mereka asyik dengan kegiatan sendiri, tanpa ingin tahu bagaimana perasaan dan tumbuh kembang adiknya.
“Sudah kenyang?” Pria di hadapannya kembali bersuara dengan bibir melengkung tipis. Laras mengangguk cepat. “Sisain buat nenekmu satu, Dek.”
“Oh, iya. Laras lupa,” celotehnya menggemaskan. “Sekalian buat Kak Firman sama Kak Lutfi juga, ah.” Laras menyeringai.
“Iya, boleh. Tapi, sebelum pulang, om mau kita main petak umpet dulu. Gimana?” tanyanya antusias. Mencipta semangat di raut wajah Laras yang begitu polos. “Oke. Kalau begitu, Adek berdiri di sana dulu. Tutup mata, ya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Duka Laras
No FicciónSeorang istri yang mengalami trauma karena kasus pelecehan, lagi-6 harus menerima kasus perselingkuhan.