Tangan berkulit cokelat hangat favorit ada di pangkuan. Isyarat rindu ku tangkap darinya. Sekaligus muncul pikir dalam benak, dia rabun rasa, dia renta ungkap, sedikit sekali bicara, tapi cakap dengan udara untuk bantu sampaikan maksud hati.
Sebal berjarak, kataku, merealisasi peka yang tercipta.
Kamu adalah candu yang bisu, merayap dalam dada, mengoyak rasa, lalu redamkan semua. Begitu terus, ulang tanpa henti.Jangan senyum seperti itu. Aku sakit, karena tak bisa membidiknya setiap hari untuk turut serta ku panjatkan pada semesta.
Bukan urusanku, katamu.
Memang bukan.Mengapa waktu begitu kejam. Ia tarik semua tentang kita sangat cepat. Padahal ada rindu yang belum tuntas untuk dibahas.
Yasudah, terserah.
Kita sama-sama tak ada hak protes.Memangnya kita apa?
Maunya? Tanyamu dengan tatap yang buatku limbung.
Topik beralih tanpa sadar setelahnya.