Bagian 6

9 2 1
                                    


Retno terlihat kikuk, seumur-umur rasanya belum pernah bertemu pria yang amat agresif seperti ini. Ia hanya tersenyum sebagai respon atas ucapan pemuda nyentrik yang mau menjadi ayah untuk Mita. Gadis kecil itu tersenyum sangat lebar. Mita ingin tahu rasanya punya ayah. Teman mainnya sering bicara soal kehebatan ayah masing-masing dan ia hanya bisa diam sambil mendengarkan. Kakek atau ibunya sering menceritakan kehebatan almarhum ayahnya saat menjalankan tugas, namun semua terasa berbeda bagi Mita.

"Sori, saya hanya bercanda. Kenalkan, Gilang," ucap pria itu sambil tersenyum ramah.

"Retno dan ini putri saya. Maaf atas ucapan Mita, sejak lahir ia tak pernah bertemu ayahnya."

Retno sudah sanggup menguasai dirinya. Ia terlihat lebih tenang walau degup di dalam dada masih cukup kencang.

"Kalian pendatang, ya?"

"Iya, hanya beberapa hari saja mampir di sini. Mampir makan siang di Rendezvous juga atas rekomendasi seseorang."

"Tempat ini memang luar biasa," ucap Gilang sambil melihat ke sekeliling ruangan.

"Sepertinya biasa saja? Saya pikir tempat ini romantis atau semacamnya, hehe." Retno mengaduk isi piringnya, bersiap makan.

"Silahkan makan, pesanan saya belum jadi sepertinya. Tempat ini selain makanannya enak, ada sejarah romantis di dalamnya. Mau dengar ceritanya?"

"Mau, mau!" Mita yang tadi sibuk dengan makanannya menjawab dengan antusias.

Gilang laly bercerita bahwa ada seorang pemuda miskin namun punya jiwa seni, terkatung-katung di daerah ini. Ia diselamatkan putri seorang tetua adat. Keduanya jatuh cinta, sayang belum mendapat restu, karena ia orang asing. Akhirnya pemuda itu berjanji untuk sukses lalu ia mengembara. Beberapa tahun kemudian ia kembali, namun perempuan yang dicintai sudah menikah . patah hati, pemuda itu membeli tanah kosong ini dan membangun sebuah gudang besar. Ia ingin membuat supermarket mewah. Suatu hari, ia mendengar kabar sang perempuan bertengkar hebat dengan suaminya, warga tidak ada yang berani melerai. Pemuda itu memutuskan menolong wanita yang dicintainya sejak dulu, sayangnya ia terluka. Suami yang kejam itu dipenjara atas tuduhan penganiayaan dan ia berpisah dengan istrinya. Beberapa waktu kemudian, kedua kekasih itu dipersatukan dalam ikatan suci dan memutuskan membuat rumah makan di tempat tersebut.

"Sungguh menyentuh kisahnya." Retno terlihat berkaca-kaca, kisah cinta selalu membuat hatinya menjadi sedikit rapuh.

Dua orang berjalan mendekati meja Retno sambil membawa nampan, salah satunya memberi kode kepada Gilang.

"Ah, makan siang saya. Terima kasih atas kebaikan kalian. Ini kartu nama saya, besok Mita main ke tempat kerja Om, ya?" Gilang berpamitan sambil beranjak dari kusi.

"Terima kasih."

"Panggil saja Gilang. Saya tunggu kedatangannya besok!"

~~

Malam itu, Retno dan Mita menikmati keindahan lampu taman di kota tersebut. Beberapa permainan sederhana terhihat ramai pengunjung. Mereka membeli makanan untuk dibawa pulang ke penginapan. Retno tidak ingin putrinya terlalu lelah. Setelah makan dan menonton televisi, keduanya beristirahat. Mita terlelap bahkan sebelum ibunya mulai membacakan cerita. Gadis kecil itu sepertinya bermimpi indah, wajahnya tersenyum dalam tidur. Ini adalah pemandangan yang paling menenangkan hati orang tua.

Retno memegang kartu nama Gilang, disimpannya nomer telepon yang tertera di sana. Pantas saja penampilannya unik dan dikerubungi banyak orang, pria itu bekerja sebagai seorang penyiar. Kartu nama diletakkan di dalam tas dan Retno berjalan ke jendela kamar. Lampu warna warni terlihat indah menghiasi jalan kota. Lalu lalang kendaraan juga cukup padat. Kota ini seakan tak pernah tidur, sangat berbeda dengan buku tempat ia tinggal.

Ada perasaan hangat terselip dalam hati Retno, rasa rindu. Ia melihat ke langit dan mengucap doa dalam hati untuk suaminya. Sedikit muncul perasaan bersalah karena perjalanan telah membuat ia lupa pada almarhum.

Permpuan itu segera beranjak untuk mengambil gawai. Ia lupa menghubungi ayah ibunya. Pembicaraan tak berlangsung lama, air mata sudah terlihat menggantung di pelupuk mata. Suara teduh Bu Dewi terlihat antusias dan bahagia.

"Baik-baik kalian di sana,ya. Retno, kami hanya ingin kamu bahagia."

"Terima kasih, Bu. Salam untuk Bapak."

Tidak lama kemudian sambungan telepon diputus dan Retno bersiap istirahat. Ia berharap esok semua berjalan baik.

~~

Langit terlihat cerah hari itu. Setelah sarapan di penginapan, Mita terus merengek ingin mampir ke tempat kerja Gilang. Retno menenangkan putrinya, hari ini mereka harus mencuci kendaraan dan belanja bekal untuk perjalanan. Ia sedikit heran dengan sikap putrinya. Biasanya belum pernah Mita sangat antusias kepada orang asing, padahal Gilang memiliki penampilan yang sedikit unik.

Siang itu setelah mendapat informasi tempat kerja Gilang, keduanya berangkat. Sebelumnya Retno mengirim pesan pendek, agar Gilang tidak terganggu atau terkejut. Beberapa saat kemudian pemuda tersebut menelepon, memberi tahu arah jalan, bertanya satu dua hal dan meminta keduanya datang secepat mungkin. Suara Gilang terdengar antusias sekali.

Ada denyar dalam hati perempuan itu. Ia seorang dewasa yang pernah menikah, sikap agresif pria itu membuatnya merasa takut. Sedikit memalukan jika kebaikan Gilang ia anggap sebagai tindakan berlebihan. Retno menggelengkan kepala. Tidak mungkin terjadi sesuatu yang lebih di antara keduanya, perbedaaan dunia dan usia. Lagipula seseorang yang tenar, tidak akan tertarik pada perempuan sepertinya.

Mobil memasuki halaman depat stasiun radio yang terlihat megah. Setelah memarkir kendaraan, keduanya masuk dan menuju lobi kantor. Sang resepsionis terlihat ramah, bola mata perempuan itu membesar saat mendengar nama yang disebut Retno. Ia meminta keduanyamenunggu di kursi , Gilang berpesan pada resepsionis akan turun menyambut tamunya. Ada sedikit kesibukan yang harus diselesaikan di studio.

Jam makan siang membuat lobi sedikit ramai, Retno mulai gelisah menunggu. Mita terlihat berseri ketika menyadari seseorang berjalan cepat mengampiri mereka. Dari kejauhan Gilang tersenyum penuh pesona dan merentangkan kedua tangannya. Gadis kecil itu segera berlari dan menghambur dalam pelukan.

"Ayah," teriaknya diikuti tatapan banyak mata mengarah kepada keduanya.

Retno yang masih duduk di sofa merasa tubuhnya membeku dan pipinya mendadak panas.

Bersambung.

LOVESHELF Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang