PAGE 4

3.6K 293 10
                                    

Bandung, Maret 2012

“Zei, kita main ke rumahmu ya?”

Suara anak kecil itu berhasil menyita perhatian Arka dan Zei yang tengah duduk di bangku taman sekolahan. Lima menit lalu bel pulang sudah berbunyi, tapi Arka dan Zei belum pulang karena menunggu teman-temannya. Zei berdiri, terlihat begitu semangat saat kelima temannya itu sudah datang. Dengan senyum sumringah, Zei bersuara.

“Yuk, kita main ke rumah ku!…” Zei diam, menjeda kalimatnya, menatap Arka yang masih duduk di bangku. Arka terlihat murung, sama sekali tak sebahagia Zei saat ini. Zei kembali menatap teman-temannya, lalu kembali melanjutkan kalimatnya.

“Tapi, Arka juga harus ikut main bareng kita.”

Seketika, senyum lebar teman-temannya pudar, salah satu dari mereka melontar kalimat yang membuat Arka naik pitam.

“Tapi kami nggak mau main sama Arka, Arka jahat. Dia sering marah-marah!”

Arka seketika berdiri dan menunjuk kelima teman Zei itu. “Kalian nggak boleh main sama Zei, kalian nggak boleh main di rumah kami!”

Zei terkejut, ia menatap Arka, wajah anak itu memerah, matanya berkaca-kaca. Zei benar-benar tak kuat melihat Arka seperti itu.

“Arka…” Seru Zei lirih. Ia mencengkram ujung bajunya erat, ia takut, ia tak pernah melihat Arka semarah ini sebelumnya. Zei menyentuh lengan Arka pelan, berharap Arka bisa tenang. Tapi, Zei menangis saat tangannya malah di tepis Arka dengan kasar. Zei benar-benar menangis saat ini.

“Kamu sama aja kayak temen-temen kamu, Zei! Kalian nggak boleh datang ke rumah! Dan kamu, Zei, kamu bukan saudara ku lagi! Aku benci kamu, Zei!!”

Arka berlari dari situ saat setelah puas memaki Zei. Arka benci saat semua orang tak ada yang mau bermain dengannya. Ia benci saat saudaranya sendiri lebih senang bermain bersama teman-temannya dibanding dirinya. Arka memang anak kecil, masih berumur 9 tahun, tapi bukannya ia tak mengerti jika dirinya dijauhi oleh semua orang. Ia bukannya tak mengerti jika semua orang tak menginginkan dirinya.

🍃🍃🍃

Pagi ini, Arka berangkat sekolah sendirian saat sebelumnya menjenguk Zei yang masih belum sadarkan diri di brankar rumah sakit. Entah sampai kapan Arka harus seperti ini, setiap pagi menjenguk Zei, berharap anak itu cepat sadar dan bisa berangkat sekolah bersamanya lagi.

Di jalan, Arka hanya diam. Kepalanya memutar semua memori yang telah lama tinggal, semua kenangan yang semuanya tak ada yang indah. Hanya kenangan hitam yang tak ingin Arka lihat lagi. Sekelebat bayangan wajah Zei di kenangan itu, membuat Arka meringis, merasa begitu sakit saat mengingat wajah malang itu. Wajah yang tak pernah terlihat bercahaya akhir-akhir ini.

Saat mengingat semua kenangan itu, membuat penyesalan itu kembali menikam diri Arka. Semua rasa itu, menenggelamkan Arka ke dalam jurang yang paling dalam. Rasa penyesalan yang amat dalam.

Ah, sudahlah. Arka tak ingin terus-menerus tenggelam dalam rasa sesal. Ia tak ingin dirinya kembali menangis, ia sudah puas mempermalukan diri di depan Deki kemarin malam karena menangis melihat Zei tak sadarkan diri. Jadi, untuk sekarang ini, ia tak ingin terlihat lemah di depan semua orang.

Arka berlari menuju koridor kelas saat satu lambaian tangan berhasil ditangkap indera penglihatannya. Di ujung koridor, Arka bisa melihat bagaimana wajah Kay tersenyum ke arahnya sambil melambaikan tangan. Sepertinya anak itu sudah lupa bagaimana sosok Arka yang rapuh tadi malam.

PULANG  [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang