Dari semua tombol yang berada di genggamannya, ia memilih tombol merah itu untuk ditekan, membuat kotak besar dan tipis didepannya memancarkan cahaya yang membentuk sebuah bentuk, yang dapat menghantarkan sebuah proyeksi untuk menyampaikan informasi lewat netra. Di sebuah ruangan indah nan mewah, dengan perabotan yang selalu dipoles sampai mengkilat dua hari sekali membuatnya terlihat mewah, tetap saja aura pekat menemaninya setiap saat.Lelaki itu menatap lekat cahaya itu. Juga memancarkan suara yang membuatnya sedikit risau. Ia menyembunyikan kegugupannya pada ketiadaan, namun menatap tajam apa yang ada dibentuk cahaya itu. Ia tahu. Ia kenal sosok itu.
"Kenapa dia?" Ucapnya pelan sembari mendengus. Ia menggenggam remot yang ia pegang, lalu ia banting ke lantai sampai hancur. Urat kepalanya terlihat. Nafasnya terengah tak beraturan.
"K-kau akan menanggung akibatnya..." Lirihnya sambil meninggalkan ruang tengah.
===
"Hyung..." Panggil Jimin. Ia menghampiri Yoongi yang kini sedang menghisap rokoknya tanpa memperdulikannya, membuat wajahnya berubah menjadi sedih. Yoongi duduk di ruang tengah dengan Televisi yang menyala.
"Hyung..." Panggilnya lagi, berharap yang lebih tua mengindahkannya, namun nihil. Lagi lagi air matanya terpaksa mengintip. Ia takut. Ia takut apa yang akan terjadi selanjutnya kalau ia mengganggu Yoongi yang sedang seperti ini. Jimin menggigit bibirnya, memberanikan dirinya untuk meraih baju Yoongi. Yoongi yang sadar, menoleh ke arahnya.
"Iya?" Namun ia sadar dengan ekspresi menyedihkan pria manisnya. Yoongi menggeser tubuhnya mendekat untuk melihat wajah manis itu lebih dekat.
"Kau menangis?" Tanyanya pelan sembari menatap netra basah itu. Yang manis hanya bisa mengeratkan genggamannya di baju kekasihnya. Ia mengerjap pelan seraya air matanya turun.
Jimin tak pernah suka saat Yoongi merokok. Ia tak pernah suka itu. Dan seharusnya Yoongi sudah tahu, namun hari ini ia tak mengindahkannya. Ia tahu bahwa Yoongi memiliki banyak pikiran, sehingga ia melupakannya.
Sampai akhirnya Yoongi sadar sendiri.
"Oh! Iya maaf. Aku tak.." Belum selesai bicara, ia lekas mengambil rokok yang ada di belahan bibirnya dan mematikkannya. Ia lekas mencari tempat sampah untuk membuangnya. Jimin tanpa kata, hanya menatap Yoongi dengan mata lebarnya.
"Mengapa tak bilang daritadi?"
Jimin menggeleng lalu menunduk. Ia mengusap air matanya. "Aku sudah memanggilmu berkali kali. Aku hanya tak ingin kau marah, hyung. Kau menakutkan saat sedang marah"
Tutur yang keluar dari bibir kekasih manisnya membuatnya sedikit tersinggung. "Kau takut padaku? Bukankah kau tau aku tak pernah ingin meyakitimu?" Ucapnya, menahan emosi. Ia mati matian melembutkan suaranya demi kekasihnya.
"I-iya.. Tapi..."
"Kemari. Duduk di pangkuanku" ajak Yoongi. Melihat Jimin tak bergeming, ia memukul bokong si manis itu sampai dirinya bergerak ke pangkuannya untuk menduduki Yoongi. Dengan ragu dan perlahan.
"Tatap aku" suruh Yoongi
Kini netra mereka bertemu. Jimin menempatkan kedua tangannya di pundak Yoongi untuk menyanggah dirinya agar tak jatuh. Sedangkan telapak tangan Yoongi terangkat untuk mengelus pipi si manis. Jimin memejamkan mata, menikmatinya, dan hal ini membuat Yoongi tersenyum, karena tahu betapa Jimin sangat menginginkannya.
Yoongi memajukan dirinya, membuat Jimin kini menempatkan sikunya di pundak Yoongi untuk memeluk lehernya. Yoongi mendekat untuk mengecup dahi Jimin pelan, membuat kedua netra mereka memejam, menikmati afeksi. Kerisauan yang ada didalam Jimin perlahan sirna, sedihnya berganti senyum perlahan seraya Yoongi menyalurkan afeksinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Doubtless (Emotionless Sequel)
FanfictionRate: M Mohon bijak dalam memilih bacaan! Buku dua dari Emotionless. ___________ Min Yoongi diminta untuk mencari pembunuh ibu kekasihnya, Park Jimin, agar dapat restu dari sang mertua. Ia tahu bahwa menginginkan lelaki manis itu, memang membutuhka...