II

237 19 1
                                    

II

Ah, aku sangat ingat kapan hal ini bermula. Yaitu beberapa bulan lalu, saat sebuah berita televisi menayangkan tentang korban pembunuhan di sebuah taman bermain, di suatu kompleks perumahan yang agak jauh dari pusat kota.

Sebulan kemudian, kebakaran terjadi di sebuah rumah berlantai dua yang lagi-lagi letaknya tak jauh dari dua kasus pembunuhan sebelumnya. Terakhir, berita sebuah penganiayaan terhadap seorang wanita yang bekerja sebagai office girl di asrama mahasiswa milik sebuah universitas swasta di kota ini.

Ketiga kasus itu walaupun berbeda, tapi mempunyai satu kesamaan yaitu pelakunya adalah orang yang sama. Itu dapat disimpulkan dari satu jejak yang ditinggalkan sang pelaku, yaitu setangkai bunga mawar hitam. Dan sepertinya bunga itu sengaja ditinggalkan oleh sang pelaku, mungkin sekedar untuk memberi tanda sebagai kebanggaan atau mungkin juga ada alasan lainnya. Entahlah.

Awalnya aku tidak terlalu tertarik dengan berita itu, kecuali satu fakta bahwa Ray yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus ini. Ray sangat sibuk sejak itu, hingga jarang datang untuk berkunjung bersama Jo dan Jen yang memang datang seminggu sekali menginap ke rumah yang kusewa sejak aku bekerja di sebuah perusahaan percetakan di kota ini.

Meskipun jarang berkunjung, Ray sering bercerita via telepon tentang beberapa bukti yang ditemukannya terkait pelaku kejahatan kasus yang diselidikinya. Aku juga belum cukup tertarik, karena pada dasarnya aku memang tidak tertarik dengan bidang yang digeluti Ray itu. Terlalu mengerikan menurutku.

Hingga sebulan kemudian Ray datang dengan sikap aneh. Tatapan matanya tidak sehangat Jo, padahal sejak pertama aku mengenal dan menganggapnya sebagai keluarga, dia selalu menatapku sehangat Jo. Hari itu dia beberapa kali seperti ingin mengatakan sesuatu padaku, namun entah karena apa dia selalu mengurungkannya. Pada akhirnya dia pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun hari itu.

Namun tiga hari kemudian Ray kembali datang, bersama Jo dan Jean. Aku sedikit heran saat itu, mengingat hari itu bukan weekend. Pasti ada hal yang sangat penting hingga mereka tiba-tiba datang di hari kerja, bahkan sampai berniat menginap di rumahku. Dan ternyata memang hal yang ingin mereka bicarakan adalah sesuatu yang teramat sangat penting, hingga aku nyaris terkena serangan jantung. Ray memutar sebuah video di depan kami semua, setelah sebelumnya mengatakan telah menemukan pelaku kejahatan yang diselidikinya.

Video itu memutar aksi seorang gadis berusia awal dua puluhan yang tengah berseteru dengan seorang wanita berusia di akhir tiga puluhan, di sebuah minimarket. Gadis itu tanpak bertubi-tubi memukuli wanita itu dengan tongkat baseball, hingga sang wanita tergeletak tak berdaya. Di rekaman cctv itu, tampak jelas bahwa sama sekali tidak ada orang lain di tempat itu selain mereka berdua. Lalu selanjutnya adalah beberapa foto yang sepertinya dicetak dari rekaman cctv, gadis yang sama tengah menganiaya seorang wanita di belakang gedung asrama mahasiswa sebuah universitas.

Lalu video rekaman cctv terakhir memutar aksi gadis yang sama lagi, tengah menumpahkan cairan yang diduga adalah bensin ke sekeliling sebuah rumah berlantai dua kemudian tanpa ragu melemparkan korek api ke atasnya. Rumah itu terbakar, mengundang si jago merah mengamuk di tengah gelapnya malam. Aksi yang sangat berani.

Mungkin jika dalam keadaan yang biasa, reaksiku setelah melihat video itu sekedar merutuki dan mendoakan gadis jahat itu agar mendapatkan balasan yang setimpal. Tapi kali ini tidak biasa, mengingat gadis di dalam video itu mirip denganku. Postur tubuh, wajah, warna dan panjang rambut, bahkan pakaiannya saja sama seperti pakaian yang kupunya. Tentu saja itu membuatku nyaris mati berdiri.

Namun aku tak jadi mati berdiri, saat setelahnya menyadari bahwa Jo dan Jean menatapku syok. Tatapan mereka seolah-olah memang aku yang menjadi tokoh utama dalam video itu, seolah pembunuh itu adalah aku. Sedangkan aku yang masih terpaku dan mencoba mencerna apa yang terjadi, hanya berdiri gemetar.
Jo tampak linglung, aku tahu selama ini dia sepercaya itu padaku. Jadi sangat wajar jika Jo keget sekaget-kagetnya melihat gadis yang mirip dengan adiknya melakukan hal sekeji itu. Ekspresi Jean pun tak jauh berbeda dengan Jo, suaminya.

Sementara Ray yang aku tebak pasti mengetahui hal itu sejak kemarin-kemarin, hanya menunjukkan ekspresi datar. Setelah beberapa saat mencerna segalanya dan memastikan bahwa apa yang terjadi bukanlah sekedar mimpi buruk, dengan tergesa-gesa aku menjelaskan kepada mereka bertiga bahwa apa yang mereka pikirkan itu tidak benar. Aku bukanlah gadis itu. Mengesampingkan segala kemiripanku dengan gadis itu, aku dengan lantang menyerukan bahwa aku tidak pernah melakukan hal keji seperti itu. Bukan aku.

Tapi sayang, mereka telah hilang kepercayaan. Keraguan mereka ternyata lebih besar dari pada kasih sayang yang selama ini mereka miliki untukku. Sebanyak apa pun aku mengelak, mereka malah memintaku jujur. Aku sudah sepenuhnya jujur, lalu apa lagi kejujuran yang harus kukatakan? Namun mereka tetap tidak percaya. Bahkan Jo dan Jen memintaku untuk pindah rumah dan tinggal bersama mereka. Aku yakin itu mereka lakukan dengan tujuan agar bisa setiap waktu mengawasiku. Bahkan aku disuruh mereka untuk cuti kerja.

Aku menuruti semua keinginan mereka dengan harapan agar mereka percaya, namun ternyata sulit sekali mendapatkan kembali sebuah kepercayaan.

Dan yang lebih mengecewakanku, mereka secara tidak langsung mengurungku di rumah Jo agar bisa sewaktu-waktu diinterogasi oleh Ray. Bahkan Ray yang dulu mempertemukanku kembali dengan Jo setelah kami terpisah selama sepuluh tahun, sejak kasus itu dia menjadi pribadi yang berbeda di depanku. Dia dingin dan tak bersahabat, setidaknya itu yang tertangkap di mataku meskipun kadang aku tak sengaja menangkap ekspresi lelah dan frustasi di wajahnya.

***

Another MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang