Ada satu mobil asing yang terparkir manis di halaman rumah Chaeyoung.
"Ini mobil siapa?" gumam Chaeyoung. Changbin mengangkat bahunya, kemudian menghentikan mobilnya di samping mobil yang asing itu.
Mereka berdua turun dan masuk ke rumah bersandingan.
"Papa, Chaeyoung pul--" Kalimat Chaeyoung tergantung begitu mendapati sang mantan duduk bersama ayahnya di sofa.
Changbin dan Chaeyoung sama-sama membeku. Mereka saling melempar ekspresi. Wajah orang tua Chaeyoung dan Changbin yang juga ada disitu terlihat masam dan tidak bersahabat.
"Kamu tau ini siapa, Chaeyoung?" Ayah Chaeyoung bahkan tidak mempersilakan pasangan itu duduk.
Chaeyoung mengangguk sebagai jawaban pertanyaan ayahnya. "Jihoon," katanya.
"Laki-laki yang namanya Jihoon ini, tiba-tiba bertamu ke rumah kita dan bilang kamu ada hutang sama dia. Setelah Ayah cari tau, katanya dia ini mantan pacar kamu," kata ayahnya. "Kamu kemarin ke Sydney ketemuan sama dia? Kamu juga jadiin orang ini alasan kamu menolak pertunangan kamu sama Changbin? Orang seperti ini, Chaeyoung?"
Jihoon, si bangsat yang awalnya tersenyum penuh kemenangan, kemudian mengerutkan alisnya. Changbin sendiri juga tidak dapat membaca situasi, apakah ayah Chaeyoung ini membela putrinya atau si bangsat itu.
"Hutang? Seorang Chaeyoung punya hutang? Ayah percaya?" Chaeyoung terbahak. Changbin segera menoleh ketika ia mendengar nada lantang dari perempuan di sampingnya. Suara itu penuh rasa percaya diri, tanpa tersirat satu persen pun ketakutan.
Chaeyoung menggelengkan kepalanya tak percaya. "Udah bagus nggak saya tuntut kamu ke pengadilan. Beli barang pakai nama dan rekening saya, tanpa consent saya. Saya nggak perpanjang masalah itu karena memang salah saya. Namun, ingat ya. Kamu sudah menantang saya dan seluruh keluarga saya. Jangan harap kamu bisa kabur." Chaeyoung mendekatkan wajahnya pada si bangsat Jihoon sambil mendesiskan kata-kata menakutkan. "Keluar sebelum saya telpon polisi dan melaporkan semuanya. Dan bayar hutang kamu!"
Macannya keluar, batin Changbin.
Jihoon terlihat takut. Ayah Chaeyoung tersenyum puas. Ia dan putrinya memang sama-sama cerdas, pandai mengatur emosi dan mengendalikan situasi. Sehingga kali ini, Jihoon lah yang kalah. Dengan perasaan malu sepenuhnya, Jihoon meninggalkan ruangan menegangkan itu.
"Changbin," panggil ibu Changbin setelah suara mobil terdengar meninggalkan halaman rumah Chaeyoung.
"Iya?" Changbin dan Chaeyoung menoleh ke arah ibu Changbin dengan was-was.
"Ada surat undangan dari Royal Academy of Music London." Keringat Changbin di pelipis menetes.
APAAN?! GUE GAK NGAPA-NGAPAIN!! katanya melalui tatapan pada Chaeyoung yang sedang melirik dirinya.
"Mengundang pianis 3RACHA, Seo Changbin untuk menghadiri pameran musik di London pada bulan Agustus mendatang," kata ibu Changbin, membacakan kesimpulan isi suratnya.
Ibu Changbin memijat pelipis, pusing. Pusing, kenapa anaknya bandel sangat.
Secara mengejutkan, ayah Chaeyoung bertepuk tangan. "Kamu jadi pianis, Bin? 3RACHA itu band yang beberapa bulan lalu manggung di gedung Jonathan, kan?"
Changbin, Chaeyoung, dan ibu Changbin kebingungan menghadapi situasi ini. Suasana ruang tamu Chaeyoung benar-benar absurd.
"Waktu itu saya datang, nonton." Ayah Chaeyoung berkata. "Keren lho, kalian mainnya. Beda dari yang lain. Lirik-lirik lagunya juga bagus. Encouraging youth."
Apalagi mendapat pujian seperti ini, Changbin sama sekali tidak menyangka.
"Agustus kalian udah wisuda, kan? Berangkat lah berdua ke London. Sekalian liburan," kata ayah Chaeyoung ngide.
Changbin melayangkan tatapan heran pada ibunya.
Ibunya menghela napas, sebelum berkata, "kalau udah sampai ke London begini ya Mama bisa apa. Kamu emang berbakat di situ. Walaupun mama ya maunya kamu--"
"Changbin tetep kuliah bisnis, Ma. Karir 3RACHA ini bukan prioritas Changbin. Cuma selingan aja karena Changbin punya hobi di sini. Ngelanjutin perusahaan keluarga tetap jadi tujuan utama Changbin. Buat menghidupi Chaeyoung juga, rasanya nggak pantes kalau cuma mengandalkan bayaran manggung." Changbin berkata mantap.
Mata Chaeyoung membulat mendengarkan kalimat di ujung perkataan Changbin. Pipinya kemudian memerah.
"Saya sama Chaeyoung udah setuju soal pertunangan kami, Ma, Om," katanya mewakili Chaeyoung.
KAPAN, batin Chaeyoung. Walaupun, yah, dia nggak protes juga.
"Tapi buat rencana ke depannya, kami pikirin habis wisuda, yah. Masih pusing," kata Chaeyoung. Ia berjalan menghampiri Changbin dan berdiri di sampingnya.
Orang tua keduanya memandang mereka senang.
***
"Tuh? Nggak bakal ada apa-apa," kata Chaeyoung pada Changbin. Mereka ada di dapur sekarang setelah diusir Ibu dan Ayah masing-masing.
"Tah tuh! Lo kan juga takut kemarinan?" kata Changbin melayangkan protes pada Chaeyoung yang seakan-akan mau bilang 'gue bilang juga apa'.
Chaeyoung terkikik. Ia meletakkan sepiring jajan untuk dinikmati bersama Changbin.
"Bin, berarti kita bentar lagi nikah?" tanya Chaeyoung.
"Kuliah S2 dulu, abistu baru deh," tanggap Changbin.
"Apa?" tanya Chaeyoung.
"Kawin." Changbin mengucap asal, dihadiahi sebuah tamparan di lengan.
"Jaga ya alat--"
"Alat apa? Lo mau bilang apa? SON CHAEYOUNG!" Changbin terbelalak. Tidak rela kalau Chaeyoung yang selama ini cuma bisa menunjukkan sisi manisnya pada Changbin dan seluruh keluarganya, kini menunjukkan sisi aslinya yang lebih bebas.
"Alat makan," desis Chaeyoung sambil memasukkan paksa jajan ke mulut Changbin. "Nggak usah bacot," katanya sebelum ia tertawa renyah.
Satu dari sekian kemungkinan yang rasanya hanya akan bisa terjadi sekali dalam satu juta tahun. Satu dari 7 miliar orang di bumi, Seo Changbin dengan bangga telah memilih (dan dipilih) oleh Son Chaeyoung untuk menghabiskan jutaan detik yang tersisa dalam hidup mereka bersama-sama.
One in a million.
End.
YOU ARE READING
One in A Million / Changbin Chaeyoung
RandomDari saling menjauh, jadi saling mendukung.