Prolog

11 0 0
                                    

“Eh, pertandingan basket udah dimulai. Nonton yuk!” ajak Dinda.

Semua temanku begitu antusias dengan perlombaan antar sekolah, apalagi perlombaan basket, yang dimana para pemain nya tampan-tampan. Seolah-olah para wanita sedang berlomba teriak ketika sedang menyaksikannya.

“Masih belum selesai juga? Tanyaku. Demi apapun, hari ini aku tidak mau mendengarkan teriakan histeris mereka yang merusak telingaku.
“Sekarang final nya, Yuk ke lapang!”
“Meles, kalian duluan aja.”
Dinda menarik tanganku, agar ikut bersama mereka. Namun, aku tolak dengan alasan sedang tidak enak badan. Kemudian, Dinda berlari menuju lapang dan teriakan histeris para wanita sudah mulai terdengar. Sebenarnya ini lomba basket atau lomba berteriak ya? Ah, entahlah.
Aku melihat sekeliling kelas, sepi. Mungkin hanya aku yang tidak berantusias dengan agenda tahunan perlombaan antar sekolah ini, perlombaannya bukan hanya di bidang olahraga saja. Banyak. Ada lomba main catur, bernyanyi, cerdas cermat, dan lain-lain.

Setelah temanku pergi menuju lapangan, aku melangkakahkan kaki menuju kantin, Haus.
“Mas Deden, Thai tea satu, ya. Seperti biasa. Es nya sedikit.”
Dikantin terlihat sepi. Sepertinya, orang-orang sedang menjadi supporter pertandingan basket. Tidak mengapa, itu artinya jaringan wifi tidak lemot karena tidak banyak orang yang memakainya. Baiklah Shana, waktunya memasuki zona nyaman!

Aku mulai membuka handphone dan mengakses salah satu situs untuk mendowload film. Ya, Aku menyukai film bergenre Roman, ketika orang lain menyukai happy ending. aku lebih menyukai sad ending. Karena, dalam hidup itu tidak selalu tentang bahagia. Sad ending memberi makna bahwa sejatinya apa yang kita inginkan belum tentu menjadi kenyataan.

Dan bener saja, jaringan wifi sangat cepat layak nya kendaraan yang tidak mempunyai rem. Ah, suka. Satu persatu unduhan selesai. 
Tiba – tiba ada seorang pria yang sedang duduk di depan ku, aku diam dan menoleh sebentar. Sepertinya dia bukan salah satu murid sekolahku, terlihat dari seragamnya yang berbeda. Ia juga mengekan hodie berwarna hitam polos.

Tiba – tiba dia bersuara. “Emang ya, anak-anak sekarang tuh lebih asik dengan dunia nya sendiri.”
Sedang berbicara dengan siapa dia? Pikiriku. Aku melihat sekeliling, hanya aku dan dia yang ada disitu, ku lihat lagi, apakah dia sedang menelpon seseorang, ternyata tidak. Maka masuk akal jika aku menganggap dia sedang berbicara padaku. Dengan mengumpulkan keberanian aku menjawab.
“Emang nya ada yang salah kalo asik dengan dunianya sendiri?”
“Aku gak ngomong sama kamu.”
“Terus sama siapa?”
“Sama udara.”
Sial. Aku sudah geer dengan menjawab perkataannya, suasana berubah menjadi canggung.
Dia tersenyum “Qansha.” Ucap dia sambil menawarkan tangannya untuk di jabat.
“Emang udara bisa diajak kenalan?” Tanyaku polos
Dia tercengang mendengar pertanyaanku, sambil tertawa dia menjawab “Dan kamu percaya kalo aku sedang berbicara dengan udara?”

Sial. Aku sedang ditertawakan oleh laki – laki yang tidak aku kenal. Aku menunduk menahan malu pura – pura memainkan handphone.
“Thai tea sudah datang.” Ucap Mas Deden sambil menyodorkan satu gelas pesanan ku. Untung ada Mas Deden yang sudah memecahkan keheningan antara aku dengan makhluk asing ini.
“Mas, Green tea satu ya!” Ucap makhluk asing itu dan di jawab “Oke” oleh Mas Deden.
Kalo dia memesan minuman berarti dia akan lama duduk disini. Pikirku. Maka dari itu, aku segera menyelesaikan minuman ku agar aku bisa pergi, Ketika aku sedang berusaha menghabiskan minumku, tiba – tiba dia bersuara lagi.
“Santai aja. Aku gak akan gigit kok.” Sekali lagi dia menyodorkan tangan. “Qansha,”
“Shana.” Ucap ku sambil membalas jabatan tangannya
“Aku tadi lagi ngomong sama kamu, kok. Kamu duduk sendirian disini berkutit dengan handphone mu seolah – olah tidak boleh ada yang menganggu.”
“Kamu sendiri ngapain disini?”
“Lagi gangguin kamu.”
“Emang ya cowok jaman sekarang tuh, biasanya cuman mengganggu.”
“Nyindir aku?”
“Engga.”
“Terus siapa?”
“Nyindir udara.”
Lagi lagi ia tertawa mendengar ucapanku. Apa ada yang salah? Pikirku.  Sambil tertawa dia berucap “Kamu lucu.”
Aku diam, tersenyum sungkan. Dia masih tertawa, aku lantas memperhatikan penampilannya. “Tampan.”
                         ****
“PARAH! LO NGOBROL SAMA QANSHA DARI SMA RAJAWALI?”
Teriakan melengking milik Dinda membuatku tersentak kaget. “LO GAK DI APA-APAIN KAN?”

“Apaan sih lo! Lebay. Orang cuman ngobrol biasa.”
Akhirnya kami melupakan kejadian barusan, lalu mengikuti acara perlombaan sampai selesai. Tapi, aku tidak benar-benar melupakannya. Kejadian dimana saat aku ngobrol dengan Qansha sangat melekat dipikiran ku. Dia lelaki lembut yang pernah ku temui. Ah Shana! Sadar! Dia itu Qansha. 

Perlombaan selesai. Masing-masing murid bertepuk tangan atas pertandingan yang dimenangkan oleh sekolah ku. Sekilas aku melihat Qansha sedang berjalan dengan wanita cantik menuju ke parkiran “Ah, ternyata sudah punya pacar.” Pikirku. Aku lantas memperhatikan kedua pasangan itu “Cantik dan tampan. Pasangan yang serasi.” Gumamku dalam hati.

“NGELAMUN AJA LO SHA!”
Lagi-lagi teriakan melengking milik Dinda membuat ku tersentak kaget. “Lo bisa gak sih jangan ngagetin gue, Din!”
Dinda pun melihat kearah Qansha. “Oh itu yang lagi lo lamunin,” Ucap dia lalu mendaratkan bokong nya disebelah ku.
“Siapa juga yang ngelamunin dia.” Jawabku berbohong. Tanpa di duga Dinda menghampiri Qansha. Entah apa yang mereka katakan, sesekali mereka melirik kearah ku. Ah, jadi penasaran.
“Ngomong apa lo sama dia?” Tanyaku ketika Dinda sudah duduk kembali di sebelah ku. “Kepo wle!” Dinda menjulurkan lidah lalu pergi meninggalkan ku sembari cengengesan.
“IH, DINDA!!!!!”
                                 ***
Langit sedang menangis, membasahi kehidupan yang ada di bumi. Beberapa orang berlomba-lomba untuk melindungi dirinya dari air hujan. Kenapa harus hujan nya sekarang sih?

Ketika sedang menunggu metromini, seseorang yang kini sudah tidak asing lagi tiba-tiba datang dan berdiri tepat di sebelah ku. “Hai” sapanya. Aku melihat sebentar lalu tersenyum sungkan. Kemudian dia diam, aku pun begitu.

Hujan semakin deras. Demi apapun aku tidak menyukai hujan. Hujan sudah membunuh seseorang yang sangat berharga dihidupku. Kenangan buruk itu kembali di ingatan ku. Aku menutup kuping dan menangis tiba-tiba. Aku semakin tidak terkendali.

“Kamu kenapa?” Tanya pria itu khawatir. Tapi, aku menghiraukan pertanyaannya. Aku semakin tidak terkendali dan tangisan ku semakin kencang. Tiba-tiba pria itu memasangkan earphone ditelinga ku. Ia memilih sebuah lagu yang membuat suasana hatiku nyaman. Lantas mengantarkanku pulang.

Hari semakin malam. Namun, mata dan pikiranku tidak bisa diistirahatkan. Padahal, tubuh ku sangat lelah. Kejadian sepulang sekolah tadi terus berputar dipikiranku. Kenapa aku tidak bisa mengendalikan diri ketika hujan deras?

Aku terus mengutuk diriku sendiri atas trauma yang tak kunjung sembuh ini. Namun, tindakan yang diberikan oleh pria itu membuatku nyaman dan ini baru pertama kali aku bisa mengendalikan trauma ku tanpa mengonsumsi obat. Pokonya sepulang sekolah nanti aku harus mengembalikan earphone dan iPod nya!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

QANSHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang