Mataku berotasi menatap setiap sudut kamar dengan was-was. Malam menuju puncaknya saat kesadaranku ditarik dari lelap oleh bisikan seseorang. Jantungku berpacu dengan detikan jarum jam klasik yang tergantung di tembok kamar.
Setiap inci tubuhku bergetar begitu hembusan angin membuka kasar jendela dan kurasakan bulu kudukku berdiri begitu dengusan dingin menyapu pangkal leherku, sebelum tubuhku terasa melayang dan ditarik oleh ... entah apa.
Aku menjerit dan menggapai apa pun untuk mempertahankan diri. Satu yang kusadari saat ini, dia kembali ... dan kini dia mengincarku. Dentuman pintu yang terbuka disusul tubuhku yang terseret menyusuri lantai sampai ke ujung tangga, aku terus meraung, berusaha berontak sampai ....
"Kamu belum tidur?" Rose berjengit dan refleks berbalik saat suara kakaknya menggema di tengah kesunyian kamarnya. Ia menghela napas pelan dan kembali menatap laptopnya.
"Belum kak, ini masih ngerjain naskah. Kejar deadline," jawab Rose sambil kembali menenggalamkan dirinya dengan halaman kerja word dan huruf-huruf keyboard.
"Kebiasaan deh, lo, tidur sono! Besok sekolah juga!"
"Iye, bentaran baru jam 1 satu ini nanggung, bentar lagi selesai." Rose berkata dengan mata yang tetap terfokus pada layar laptop.
Setelahnya, Rose tak lagi mendengar jawaban dari sang kakak. Ia berbalik, menatap pintu kamarnya yang sudah tertutup rapat. Ia heran, karena biasanya Budi tak akan berhenti mengoceh sebelum Rose benar-benar menyamankan diri dengan kasurnya. Ia menghedikkan bahu tak perduli dan kembali pada aktivitasnya, begitu berbalik ia dibuat heran karena layar laptopnya yang sudah menampakkan fitur kamera dengan gambar dirinya di sana. "Ah, mungkin tanpa sengaja terpencet," pikirnya.
Saat ia hendak menutupnya dan kembali ke halaman word, Rose merasa ada yang janggal di sana, ia baru sadar bahwa itu bukan fitur kamera biasa, melainkan panggilan video.
Alisnya semakin menukik heran saat gambarnya berubah menampilkan sebuah ruangan, tunggu itu masih kamarnya tapi ... kenapa tak ada dirinya di sana. Matanya membola, serta napasnya tercekat saat wajah menyeramkan seorang wanita berambut panjang memenuhi layar laptopnya. Sontak Rose mebalikkan badannya dengan napas memburu dan menatap sekeliling kamarnya.
Lalu ia beranjak cepat dari meja belajarnya, berniat membuka pintu, tapi pintunya terkunci. Rose ingat, kalau ia memang sengaja mengunci pintu kamarnya begitu masuk tadi, karena tak ingin diganggu. Seketika genggamannya pada gagang pintu merenggang, Rose baru saja menyadari sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIE FINSTERNIS
Short StoryMereka yang tak pernah tenggelam dalam lelap, juga tak bisa tenang dalam sadar. Terusik akan keberadaan mereka, sadar atau tidak mereka berada dekat dengan kita, mengintai dalam diam.