Seminggu yang lalu adalah momen paling bahagia bagi Genya. Kerja kerasnya membuahkan hasil, ia berhasil diterima di universitas idamannya, Tokyo University.
Setelah memperkirakan jarak yang ia tempuh jika berangkat dari rumahnya di Yokohama ke ToDai memakan waktu lebih dari setengah jam, ditambah dengan kebiasaannya yang susah bangun pagi, Genya memutuskan untuk mencari kos murah di Tokyo.
Namun orangtuanya melarang, mereka menganggap Genya masih terlalu muda untuk tinggal sendiri.
Genya marah. Ia tau orangtuanya terlalu menyayanginya, tapi ia sudah 19 tahun! Sudah waktunya ia untuk mandiri! Lagipula dulu saat kakaknya ingin melanjutkan SMA di Okinawa, mereka tidak seheboh ini. Mereka langsung mengijinkan kakaknya.
Ini tidak adil, Genya bukan anak kecil lagi!
Dibantu dengan kakaknya, akhirnya mereka berhasil membujuk kedua orangtua mereka setelah diyakinkan selama 3 hari.
Genya menggelengkan kepalanya pelan, berusaha melupakan sejenak adegan dramatis orangtuanya sesaat sebelum Genya pergi.
Kenangan yang memalukan.
Genya menepuk tangannya puas. Semua barangnya telah tertata rapi, lantai yang telah ia sapu dan pel, mengkilat bersih. Kini ia tinggal mandi, lalu pergi membeli makanan untuk makan malamnya (atau mungkin sekalian untuk sarapan besok, toh kulkasnya masih kosong) dan beberapa kue untuk menyapa tetangga barunya.
Dengan sedikit bersiul senang, Genya memilih beberapa cemilan yang akan menemani malamnya nanti.
Saat di depan rak bento, Genya mengambil 2 bento sekaligus, siulan bahagiannya berganti dengan sedikit ringisan, memikirkan ocehan yang pasti ia terima, jika ibunya melihat anak bungsunya memakan bento supermarket.
Tapi toh, orang tuanya sedang tidak melihatnya dan Genya sudah terlalu capek untuk memasak. Jadi ini pilihan terbaik.
Setelah memilih kue berukuran sedang, ia segera membayar semuanya dan keluar dari supermarket tersebut.
Jalanan masih ramai dan kendaraan masih berlalu lalang. Genya tersenyum, suasana Tokyo memang tidak jauh beda dengan Yokohama, tempat tinggal Genya dulu.
Lampu jalan telah berubah warna, kendaraan berhenti rapi dan para pejalan kaki segera bergerak ke sebrang jalan. Genya melangkahkan kakinya, hendak menyebrang jalan sebelum ujung jaketnya ditarik seseorang.
Genya menengok, disampingnya ada remaja SMP, dengan tinggi se dada Genya, yang masih memakai seragamnya, memegangi ujung belakang jaketnya dan memandang Genya dengan senyuman ceria.
"Genya! Kau sudah besar ternyata!"
...huh?
Kebingungan, Genya menggandeng remaja itu ke pinggir supermarket tadi (karna mereka menghalangi jalan para pejalan kaki)
Wajah remaja tersebut masih ceria, dan setelah ujung jaket, kini tangan Genya yang (masih) ia genggam erat.
Genya (yang gagal melepaskan genggaman tangan remaja itu dari tangannya) tersenyum pasrah, "Um, apa aku mengenalmu?"
Senyuman remaja itu memudar, ia sedikit menunduk dan melonggarkan genggaman tangannya.
Genya menarik tangannya pelan dan sedikit merasa bersalah. Ia tidak mengenal remaja ini sama sekali. Dan jika ada remaja ini adik dari salah satu temannya, itu tidak mungkin.
Karna tidak ada temannya yang memiliki rambut seputih salju sepertinya.
Anak itu kembali menatapnya, "Ah... Aku ingin berteman denganmu. Boleh?"