2ND SECTION

1K 99 6
                                    

*********

"Fluke Natouch, Kau...", ucap Ohm lirih.

Ohm melepaskan pelukan di pinggang kecil Fluke. Pria itu mundur, menjaga jarak dengan pria mungil itu. Banyak pikiran yang berkecamuk di dalam otak pintarnya. Ohm berbalik membelakangi si pria mungil, menyembunyikan kilatan merah yang hampir memenuhi dirinya. Kedua tangannya mengepal erat.

"Keluar", Ohm Thitiwat berucap dingin tanpa menatap si pria mungil, ia tidak mengerti kenapa ia begitu kasar, sedangkan Fluke? ia hanya diam. Belum beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri. Ia sangat-sangat terkejut tentang yang terjadi barusan. Hingga otak kecilnya tidak bisa berpikir atau mengindahkan apapun. Dia kosong seratus persen.

"Fluke Natouch, aku bilang keluar! kau tidak dengar?", ujar Ohm keras.

Fluke berbalik, pria mungil itu berlari sambil menunduk meninggalkan ruangan. Ohm Thitiwat duduk diam di kursi kerjanya, pria itu sedang menenangkan pikiran dan kerja jantungnya. Ia tidak pernah merasa sebegitu tertarik pada seseorang, baik yang sama sepertinya atau manusia biasa, bahkan sampai ke tahap mencium. Ini sungguh di luar dugaannya, pria itu hanya berniat memastikan sesuatu tapi berakhir terlalu jauh. Ciuman itu, seharusnya tidak ia lakukan, tapi pria mungil itu seperti memiliki magnet yang menarik atensinya untuk mendekat, Ini gila.

*****

FLUKES SIDE

Aku duduk terdiam di taman belakang perusahaan, air mata sudah menggenang di pelupuk mataku bersiap terjatuh namun aku menahannya sekuat tenaga, aku laki-laki tidak seharusnya aku terlalu banyak menangis, cukup siksaan bibiku saja yang membuatku sedih, tidak boleh lebih dari itu. Aku menggigit bibirku memikirkan apa yang baru saja terjadi, aku dan Presiden Direktur kami. Apa kami tadi berciuman? aku sama sekali tidak mengerti, apa Presiden memanggilku hanya untuk melecehkanku? Apa-apaan itu? Aku tidak terima diperlakukan seperti ini.

"aiisssh pria gila menyebalkan! menciumku seenaknya, bertemu secara langsung saja tidak pernah ,dia kira aku ini pria macam apa?"

Aku berteriak di taman yang kebetulan sepi saat ini, aku lebih baik menerima caci - makian dari pada harus mendapat perlakuan seperti ini, aku sudah dilecehkan oleh atasanku sendiri, yang benar saja.

"apa aku harus membuat perhitungan? Atau aku harus melaporkannya ke pihak berwenang?", aku berpikir keras apa yang harus kulakukan.

"apa aku mengundurkan diri saja? Tapi tidak mungkin, aku tidak salah, masa magangku tinggal satu bulan dan aku tidak mau mengikuti susulan, apa aku mengadu saja pada Mr. Kritsanaphan? Tidak mungkin, dia pasti ada di pihak Presiden, atau kalau tidak justru Presiden Direktur yang akan lebih dulu memberhentikanku? lalu aku harus bagaimana?ooooee..ww"

Aku meremas rambutku pelan memikirkan segala jalan untuk menghindar dari persoalan tadi. Masalahnya adalah bagaimana saat aku bertemu Presiden lagi nantinya? Haruskah aku tetap tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa? Atau haruskah aku meminta kompensasi atas tercurinya ciuman pertamaku? Aku bisa gila jika terus memikirkannya.

"Nannaaaaa........??"

"oh...Phi Peak, bagaimana Phi bisa kesini?"

"aw.. tentu saja mencarimu adik kecil, aku khawatir karena kau tidak kembali setelah diajak pergi Mr. Kritsanaphan, lalu kenapa wajahmu kusut sekali, apa yang Presiden bicarakan denganmu? beliau tidak menyakitimu kan?"

"eehhh.. tidak apa-apa Phi, aku baik-baik saja"

"lalu kenapa Presiden Direktur memanggilmu?"

Aduh, apa yang harus aku katakan pada Phi Peak? Tidak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya, dia pasti akan syok atau mungkin sampai pingsan mengingat tabiatnya di kantor ini, dan aku tidak mau hal itu terjadi, karena sudah dipastikan aku yang kecil ini harus menggendong tubuhnya yang lumayan berisi ke ruang kesehatan, tidak ada lagi orang selain kami disini. Aku terus berpikir hingga menatap jam tanganku.

EL ENLACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang