LEANGGA 1

93.3K 723 5
                                    

Suara bel pintu yang terus menerus berbunyi, membuat Angga lari tunggang langgang. Lelaki itu baru saja bangun, meski jam sudah menunjukkan angka sembilan. Kebiasaan buruk memang, tetapi itu sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging untuk pria berusia dua puluh empat tahun itu.

"Bibik ke mana sih? itu bel bisa rusak! Mencetnya bar-bar sekali!" gerutu Angga, ia mempercepat langkahnya.

"Siapa!" teriak Angga sedikit kesal, bel itu begitu memekakkan telinga karena terus dipencet dengan sangat tidak sabaran.

"Masih pagi juga, siapa sih! Menganggu tidurku saja," gerutu Angga, tangannya memutar anak kunci.

"Om, Tante," sapa Angga dengan raut wajah dibuat semanis mungkin, bahkan rasa kesal tadi sudah meluap entah ke mana. Di depannya sudah berdiri sepasang suami-istri, dan seorang gadis yang terlewat dari pandangan Angga.

"Oh, ada Alea juga. Mari, silahkan masuk."

"Baru bangun? Perjaka kenapa malas sekali? Pantas saja masih bujang sampai sekarang!" cibir lelaki yang Angga panggil Om.

"Carikan aku pasangan dong, Om," goda Angga, ia mengikuti tamunya melangkah masuk. Lalu ia mempersilahkan mereka duduk.

"Perbaiki dulu sifat malasmu, om yakin semua gadis akan mendatangimu."

"Ya nanti sambil jalan, Om. Yang penting ada wujudnya dulu," ucap Angga, tanpa sengaja dia menguap begitu lebar. Sama sekali tak tahu malu. Namun, sepertinya sang tamu sudah terbiasa dengan tingkah buruk Angga.

"Ah, iya. Ada apa Om dan Tante, juga Alea datang sepagi ini?" tanya Angga.

"Rencananya om mau titipin Alea di sini, karena om rasa ini tempat yang aman. Daripada dia harus cari kost-kostan," ucap lelaki yang bernama Adrian itu, mengutarakan maksud dan tujuannya datang ke rumah Angga.

Angga mengangguk-angguk, sebelumnya sang Mama - Airin, sudah mengatakan jika Alea akan kuliah di Bandung. Kota di mana saat ini Angga tinggal. Angga sendiri tengah merintis usaha property dan desain interior yang menjadi impiannya saat masih kuliah dulu.

"Boleh sih, asal Alea tidak keberatan saja. Soalnya aku jarang di rumah, paling cuma ada Bibik."

"Om sudah bicara sama dia, dia sudah setuju. Bukan begitu Alea?" tanya Adrian kepada sang putri, Alea mengangguk saja.

Dalam hati, gadis yang baru lulus SMA dan akan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi itu sangat kesal kepada sang ayah. Padahal ia sudah berjanji dengan teman-temannya dari Jakarta untuk mencari tempat kost bersama-sama, dengan seenaknya Adrian menyuruhnya tinggal di rumah kakak sepupunya.

"Ya sudah, Alea bisa tinggal di sini, Om," ucap Angga akhirnya. Dia rasa tak masalah jika Alea memang harus tinggal di rumahnya.

Adrian beserta Siska istrinya pamit pulang kembali ke Jakarta, mereka sudah lega menitipkan putri semata wayangnya di tempat yang mereka rasa tepat. Putra bungsu sang kakak, Adrian rasa bisa diandalkan untuk menjaga Alea.

"Kamu bisa pilih kamar mana saja, Dek," kata Angga, begitulah biasanya Angga memanggil Alea. Baru beberapa tahun ini mereka terpisah, karena Angga memilih tinggal di kota kembang ini.

"Boleh? Aku pengen kamar lantai atas," ucap Alea, ia bergelayut manja di lengan Angga. Tanpa sengaja, gundukan kembarnya menekan lengan Angga.

"Boleh, sekamar sama aku juga boleh," kata Angga spontan, tekanan yang terasa kenyal tadi sepertinya sedikit mengganggu kerja otak Angga.

"Ih, Kakak. Masa sekamar." Alea mencubit lengan kekar milik Angga, membuat Angga mengaduh.

"Bercanda, tapi nanti jangan salahkan aku jika kamu kepincut kamarku ya," balas Angga sembari memberi cubitan kecil di hidung Alea.

"Kak, cepat antar aku ke kamar. Aku lelah, ingin istirahat," keluh Alea, dia merasa lelah perjalanan dari Jakarta ke Bandung yang baginya terlalu pagi.

Angga pun menuruti keinginan sang adik. Dia bawakan koper Alea, mengantar gadis itu ke dalam kamar baru yang akan Alea tempati. Kamar di lantai dua, sementara kamar Angga berada di lantai tiga. Berhadapan langsung dengan rooftop.

"Kamu bisa istirahat, nanti biar Bibik yang beresin barang-barangmu," titah Angga begitu mereka memasuki kamar.

"Oke Kak." Alea memeluk erat Angga, seperti kebiasaan jika mereka bersama. Namun, akhir-akhir ini sangat jarang mereka lakukan, karena jarak yang membentang diantara keduanya.

Sepertinya rasa kesal Alea yang sempat ia rasakan kepada kedua orangtuanya menguap sudah, ia senang bisa kembali bertemu Angga. Alea sendiri menganggap Angga seperti kakak kandungnya, karena memang ia hanya anak semata wayang. Tak jarang membuatnya mengimpikan punya seorang kakak.

Angga cepat-cepat keluar dari kamar Alea, dia tak tahu apa yang tengah dirasakannya. Dari semenjak Alea memeluknya Alea, Angga merasakan ada sesuatu yang bergejolak dalam hatinya. Ditambah senggolan tak sengaja dada Alea pada lengannya tadi, sedikit mengacaukan pikirannya.

Angga sendiri mencoba menetralkan pikirannya, cepat ia membuang pikiran negatifnya.

Mungkin dengan bekerja, bisa membunuh perasaan aneh itu. Perasaan yang tak seharusnya ada diantara Angga dan Alea.

"Oh iya, kalau kamu perlu sesuatu ...." Ucapan Angga tertahan, saat ia membuka pintu kamar, Alea tengah menganti bajunya. Kini hanya celana dalam dan bra saja yang menutupi tubuh Alea.

"Kakak!" teriak Alea gusar, dengan cepat Angga menutup kembali pintu kamar.

Tujuannya kembali membuka kamar Alea, hanya ingin mengatakan jika gadis itu memerlukan sesuatu tinggal bilang pada Bibik saja. Namun, justru Angga melihat pemandangan yang tak seharusnya dia lihat.

"Maaf, aku tidak sengaja!" teriak Angga dari luar kamar, ia merasa tak enak hati. Tadi itu benar-benar tanpa sengaja dia lakukan.

Angga memilih ke kamarnya saja. Dia sempatkan mengetikkan pesan kepada Alea tentang maksudnya tadi. Setelahnya Angga masuk ke dalam kamar mandi, bersiap bekerja.

Bayangan tubuh sintal Alea membayang di kepalanya, sangat sulit untuk Angga lupakan. Kulitnya yang putih mulus, gundukan kembar yang begitu besar, pinggul yang ramping, tubuh kecil, tetapi penuh berisi.

Sangat berbeda dengan terakhir kali Angga lihat, waktu mereka masih tak malu berenang bersama saat Alea masih kelas satu SMA dan dirinya baru masuk kuliah.

"Angga! Buang pikiran kotormu!" kesalnya pada dirinya sendiri. Angga memilih membasahi rambutnya. Berharap bayangan itu segera lenyap.

Angga selesai mandi, bersiap ke tempat kerjanya yang baru dua tahun ini ia rintis. Semua berjalan lancar, ia sudah memiliki pelanggan tetap. Juga pelanggan baru yang terus berdatangan. Dari mulut ke mulut usaha property yang dijalani Angga mulai melejit. Tentu saja semua tidak luput dari Airin dan Bryan, kedua orangtua Angga.

Angga hanya memakai pakaian santai saja, karena ia bukan kerja dikantoran seperti kedua orangtuanya. Inilah yang menjadi keinginan Angga, bekerja dengan santai tanpa terikat aturan yang mengikat. Cukup dengan kaos oblong, juga celana jeans saja.

Sesekali Angga memakai pakaian formal jika bertemu dengan klien yang memerlukan design interior saja, selebihnya ia memilih memakai pakaian yang menurutnya nyaman.

"Berangkat, Den?" tanya Bik Supi, saat berpapasan dengan Angga di depan pintu. Keranjang belanja berada di kedua tangan wanita paruh baya itu.

"Lah, ternyata Bibik baru dari pasar? Pantas saja, tadi tidak ada yang bukakan pintu."

"Iya Den, mana tamunya Den?" tanya Bik Supi, mencari keberadaan tamu-tamu Angga.

"Sudah pulang, aku berangkat kerja dulu."

"Iya Den."

"Oh iya, Alea tinggal di sini. Nanti kalau dia perlu apa-apa, tolong sediain ya," pesan Angga, yang diangguki oleh Bik Supi.

Angga tak pernah sarapan di rumah, ia lebih sering mengisi perutnya di warung seberang tempat kerjanya. Sembari mengisi perut, sekalian mencuci mata, kalau kata Angga. Ria, si penjual nasi pecel itu selalu menyenangkan untuk ditatap. Paras ayunya tidak membuat bosan siapapun yang memandang.

"Ria, aku tak sabar melihat wajahmu," ucap Angga, seperti orang yang sedang dimabuk asmara. Bibirnya tersungging saat mengingat wajah gadis penjual pecel tersebut.






Lea & Angga 21+ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang