Sahabatku

21 2 12
                                    

"Kalau aku bilang aku suka sama kamu, gimana?"

Malam itu, ketika aku memutuskan untuk menghabiskan malam minggu ku bersama sahabatku sejak SD, aku tercenung mendengar pertanyaannya.

Rangga sudah aku kenal sejak dia berusia 6 tahun, waktu dia masih begitu dekil dan norak. Sekarang kami sudah sama-sama berada di kelas 3 SMA. Dia sudah bukan lagi anak dekil yang berlarian dengan baju seragam sekolah yang sengaja dia keluarkan dari celananya agar terkesan keren.

Perihal dia yang menanyakan hal riskan seperti itu, sama sekali tidak mengejutkanku.

"Ya nggak gimana-gimana," sahutku sambil merangkul kedua belah kakiku ke depan dadaku dan mendongakkan kepalaku untuk melihat langit yang rupanya malam itu memilih untuk mendung.

"Yang serius, Nda." Suara Rangga terdengar sayup-sayup diterbangkan angin malam. Angin di pantai memang kencang, tapi pantai merupakan tempat terbaik untuk membicarakan perasaan tanpa terdengar klise.

"Ya, aku serius." Ku tolehkan wajahku untuk melihatnya yang juga tengah menatapku. Rambut ikal setengkuknya berkibaran digoda angin. Disaat-saat biasa, aku akan menjangkau ke arahnya demi usahaku untuk mengikat rambutnya itu. Tapi tidak malam ini. Perasaan Rangga sudah cukup babak belur tanpa ku tambahi dengan kedekatan yang tidak perlu.

Dia mengusap wajahnya yang mungkin saja kebas karena angin malam dengan tangan kanannya, sebelum dia kembali menatapku. Matanya seakan menyerukan kesedihan. Dia tahu kisah ini bergenre hurt-comfort.

"Jadi, maksud kamu, kamu nggak bakal gimana-gimana, walaupun sahabatmu selama dua belas tahun bilang dia suka kamu?"

Aku tidak kuat menatap lama-lama mata itu, maka, aku alihkan pandanganku untuk menatap air laut yang saat itu berwarna hitam pekat. "Rangga, aku tahu kamu suka aku sudah sejak lama. Kelas 1, mungkin."

Ku dengar Rangga menggeser duduknya. Dengan sudut-sudut mataku, aku melihat dia kini juga tengah menatap laut.

"Lebih lama. SMP kelas 1."

"Oh,"

Untuk sesaat, aku dan dia sama-sama tak bersuara. Mungkin dia bingung bagaimana harus melanjutkan pengakuannya ini. Sementara aku, aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi Rangga yang sedang jatuh cinta. Aku terbiasa menghadapi Rangga yang gokil, terkadang juga pendiam. Tapi tidak Rangga yang ini.

"Jadi kamu nggak marah aku diam-diam suka sama kamu selama ini?"

"Kenapa harus marah?"

"Aku menjadi sahabatmu hanya sebagai kedok belaka, Nda."

Aku terdiam. Bukan sekali dua kali aku menanyakan hal itu kepada diriku sendiri. Bahwa sanya Rangga memanfaatkan persahabatan kami untuk bisa dekat denganku.

"Kamu nggak jadiin persahabatan ini kedok, Rangga. Kamu jadi sahabat aku karena kita cocok. Rangga dan Nanda. Nanda dan Rangga. Selalu seperti itu," kataku lamat-lamat. Desiran angin pantai itu membuat kalimatku jadi terdengar demikian khidmat. "Lagipula, menyukai seseorang itu bukan sebuah kesalahan. Aku tidak berhak untuk marah karena hal itu."

"Tidak juga ketika kamu yang menjadi objeknya?"

"Ya."

Rangga menarik tanganku kali ini. Membuat aku tidak punya pilihan lain selain menatapnya kembali. Dia tersenyum ketika aku tidak menolak gerakannya tersebut. Dia mungkin orang paling tinggi di angkatan kami, tapi saat dia tersenyum seperti ini, aku tidak bisa tidak melihat Rangga yang masih kecil dan kurus, lebih pendek dariku. Yang setiap harinya selalu menggerecokiku dengan panggilan, "Nanda, Nanda."

"Kalau begitu, aku akan bilang ini dengan benar kali ini." Dengan wajah serius, Rangga jadi terlihat seperti sedang menjawab soal ujian, dan itu membuatku tersenyum. "Nanda, aku suka kamu. Suka sekali, sayang mungkin. Atau cinta. Yang jelas, kamu satu-satunya wanita selain ibuku, yang aku selalu pengin ketemu."

Aneh juga rasanya mendengar Rangga berbicara seperti itu. Perasaan hangat menjalar dari jemari tanganku yang digenggamnya, terus menuju hatiku. Dan mengetahui bahwa dia sudah menyukaiku selama itu, dan sekarang masih disini bersamaku, walaupun itu membuat hatinya sakit dengan penetahuan bahwa aku tidak mengetahui perasaannya, membuat perasaan hangat itu makin menjadi-jadi.

"Aku nggak mesti jawab, kan?"

Rangga tertawa mendengar pertanyaanku. Kemudian dia mengusak puncak kepalaku dengan sayang. "Nggak. Nggak sekarang. Nanti."

"Kamu nggak papa nunggu beberapa bulan?"

"Nanda, aku sudah nunggu selama enam tahun. Aku sanggung nunggu selama beberapa bulan lagi."

Aku tersenyum mendengar jawabannya. Akhirnya, setelah sejak tadi aku menahan diri, aku menjangkau ke kebelakang kepalanya. Dengan sekali gerakan fasih, aku berhasil mengikat setengah rambut bagian atasnya dengan ikat rambut yang sedari tadi melingkari pergelaran tanganku. Ikat rambut itu memang selalu aku siapkan untuknya.

"Oke," kataku setelah aku kembali ke posisiku semula.

Ketika ku tatap dia lagi, matanya sarat dengan perasaan kasih yang sudah begitu familiar bagiku. Kami terdiam untuk sesaat disana. Berusaha membaca pikiran masing-masing dalam diam. Tapi, tiba-tiba saja dia berdiri dan mengulurkan tangannya kepadaku. "Ayo, pulang."

Ku sambut uluran tangan itu, dan rasa familiar itu kembali hadir. Ketika aku sudah berdiri dengan mantap, dia berbalik untuk menyalakan mobil yang sedari tadi dia parkir di sebelah warung bakso. Ku tatap punggung lebar yang biasa menjadi sandaranku ketika sedih itu.

Someday, someday, Big Guy. Kamu akan mendapat jawaban yang kamu mau. Untuk sekarang, biarkan aku menata hati lebih dulu. Agar nanti, ketika aku menerimamu ke kehidupanku, kamu tidak perlu lagi membantuku untuk menatanya. Aku ingin memberikan rumah bagi cintamu. Rumah yang selalu ia dambakan selama sembilan tahun ini. Ketika saat itu tiba, ia tidak perlu lagi keluar hanya karena rumahnya tidak kuat.

So, someday, Big Guy.

Cinta Seorang SahabatWhere stories live. Discover now