1

3 0 0
                                    

PLAAAAKKK!!!, Suara tamparan keras terdengar dari tangan wanita paruh baya itu.

“Harus nya kamu itu gak usah ikut campur urusan saya, siapa kamu berani sekali menunjukkan diri di hadapan teman-teman saya? Merasa kamu adalah anak saya?”,berkata dengan nada setengah teriak.

“Tapi saya ini adalah anak mama bukan? Saya hanya ingin mengingatkan mama, tidak lebih Ma.”

“Inget ya, kamu itu adalah kesalahan saya dan papa kamu di masa lalu, disini kamu bukanlah siapa-siapa!.”

  Kring… Kring… Kring…
Suara alarm membangunkanku. Aku berusaha membuka mata dan kuhembuskan nafas berat. Beranjak dari tempat tidur dan mengeluh “mengapa harus mimpi itu lagi?”. Kuarahkan langkah kakiku ke kamar mandi dan segera bersiap-siap.

Ini adalah hari pertamaku sekolah, aku baru saja masuk ke SMA Kesatuan bangsa yang termasuk sekolah favorit di kota ku. Hari ini akan diadakan masa orientasi siswa atau yang biasa kita kenal dengan sebutan MOS. Segalanya sudah kupersiapkan, dari benda yang harus di bawa sampai pakaian yang semestinya dipakai saat MOS. Ku kendarai motorku dan menuju ke sekolah.

Kegiatan MOS berlangsung seperti yang ada di SMA-SMA lainnya. Oke, tak usah ku ceritakan bagaimana kegiatan MOS berlangsung karna sungguh aku tak tertarik. Selesai MOS aku mencoba menyusuri lorong-lorong di sekolah. Dengan gaya cuek aku melewati begitu saja kakak-kakak kelas, tak sedikit dari mereka yang mencoba mencuri pandang terhadapku.Ya, bukan aku ingin sombong karna dihitung parasku yang lumayan. Ku susuri lorong demi lorong, namun, mataku tertuju pada sebuah lorong yang menuju ke arah belakang sekolah. Ada lelaki duduk disana, dengan sebatang rokok yang dipegang secara manis oleh lelaki itu dan pastinya dengan seragam sekolah yang acak-acakan. Ku coba menghampirinya dan duduk di sebelahnya.

“ehem…” dehemku.

“lu ngapain duduk disini? udah gua persilahkan emang?” jawaban nya terlampaui sinis.

“ah.. emm, maaf kak , tadi aku liat kakak aja trus gatau kenapa mau samperin kakak hehe.” jawabku dengan tawa yang canggung

“ckk Lu adek kelas ? Lu mau ceramahin gua masalah gua nyebat? atau mau ngaduin gua ke guru BP? aduin gua kagak takut” jawabnya sambil menyesap rokok itu

“haha.. enggak kak, aku Cuma … yah, anggep aja aku nemenin kakak , dari pada kakak sendirian gini”

Dan berakhir aku nemenin lelaki itu, meski dengan suasana yang terbilang hening dan datar. Entah kenapa hanya duduk di sebelah dirinya, aku memahami kesepian yang hadir diantara kita berdua.

………

Suara motorku terdengar dan berhenti tepat depan rumahku. Ada yang bilang, kalau rumah itu bukan hanya sebuah bangunan untuk di tempati. Rumah mempunyai makna yang lebih dalam. Mereka mengatakan rumah sebagai suatu hal yang bisa menciptakan kenyamanan, kehangatan, dan kebahagiaan dalam hati. Jadi menurutku bangunan ini tidak bisa dikatakan rumah, karena bagiku tidak ada kenyamanan, kehangatan, dan kebahagiaan dalam hati.

Ku buka pintu dan ku ucapkan salam.

Assalamualaikum.

Sunyi ku rasakan tak ada jawaban atau pun sambutan yang hangat, yang terdengar hanya sebuah tontonan pertengkaran antara mama dan papa. Disaat aku  melewati mereka, mereka baru menyadari kehadiranku.

“Udah pulang kamu”, seperti wanita paruh baya itu menanyaiku

Sayangnya, pertanyaan itu aku hiraukan dan memilih untuk langsung memasuki kamar dan menutup juga mengunci pintu kamar ku. Dan ya, terdengar sangat jelas mereka mulai bertengkar kembali.

“Dasar anak tidak tahu malu, begitulah seperti papanya” suara wanita itu terdengar jelas

“Dari tadi kamu kok ngajak rebut mulu hah!!”, balas lelaki itu

Dan terjadilah lagi, pertengkaran adu mulut dan fisik itu.
Aku menutup telingaku dengar earphone ditambah dengan musik bervolume tinggi, ya setidaknya aku tak bisa mendengar mereka beradu mulu.
Kau pikir aku seorang gadis yang durharka bukan? Nilai lah aku seperti itu, karna kau tak tahu hidup diantara mereka berdua. Aku tak lagi mengenal kedua orang tua ku, tak lagi merasakan kasih sayang mereka. Ah, sejak kapan mereka memberikan kasih sayang?

Beginilah hidupku. kosong, hampa, abu-abu, juga suram. Tak ada kebahagiaan, tak ada jiwa yang bernyawa di diriku, tak ada lagi senyum yang terukir di wajahku.

Tanpa sadar aku meneteskan kembali buih-buih air mata, terus menetes dan menyesak ingin keluar lebih lama. Entah mengapa ketika aku menangis kala itu, aku mengingat lelaki itu. Sungguh aneh, bahkan kita hanya duduk bersebelahan dengan keadaan yang hening. Aku memutuskan untuk mengusap air mataku dan keluar dari rumah.





























"Yang seharusnya orang tua menjadi panutan dan tempat berpulang. Kini membenciku, ya darah dagingnya sendiri"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cerita UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang