1. Apakah Kita Akan Mati?

1K 43 13
                                    

Dalam satu menit, tempat itu sudah bergoyang sebanyak delapan, tidak, malah lebih dari sepuluh kali. Membuat penghuninya terpental ke kanan-kiri. Terbentur-bentur dinding yang sebenarnya empuk, tapi tetap saja menyakitkan. Tertusuk bulu-bulu raksasa yang mereka tidak mengerti.

"Tetap berpegangan!" Salah seorang yang terlihat paling tua, berteriak tegas. Membuat yang diteriaki cepat-cepat berpegangan pada bulu raksasa dan saling bertaut tangan. "Badai akan segera datang!"

Itu peringatan yang jelas sekali. Sebenarnya, tanpa diperingatkan, mereka otomatis mengerti. Hidup sebagai makhluk nomaden, membuat mereka terbiasa. Tapi tetap saja lengah. Tidak terhitung berapa kali mereka kehilangan sanak saudara dan sahabat.

Kali ini mereka beruntung, keempatnya tetap bersama meski sudah berpindah kelima kalinya.

Perkataan Sang Tetua terjadi. Dorongan yang sangat kuat menggulung tempat itu. Keempatnya memegang erat satu sama lain. Menatap ngeri penghuni lain yang terseret keluar bersama badai.

Badai kedua menyusul tak kalah dahsyat. Keempat sahabat mati-matian bertahan. Sang Tetua yang sudah cukup sakti, tetap berdiri dengan tongkatnya. Membiarkan badai itu lewat. Seolah hidup telah menempanya menjadi makhluk yang lebih kukuh.

Di luar sana, hari mulai menggelap. Badai sudah redam. Sisa penghuni yang selamat, mencari tempat untuk tidur. Berpencar meski hanya satu tempat.

"Tetap siaga, Anak Muda. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Bisa jadi badai justru datang lebih besar. Jangan lengah jika tidak ingin terpisah."

Keempatnya mengangguk patuh. Meski baru mengenal dua hari, toh mereka senang bisa bertemu dengan Sang Tetua. Jika di tempat lain mereka merasa bosan, maka dua hari ini dipenuhi dengan cerita-cerita mengagumkan. Tentang pengalaman-pengalaman yang Sang Tetua lalui. Membuat keempatnya duduk tenang tanpa menyela cerita hingga selesai.

"Apakah besok kita akan berpisah, Kek?" Salah satu masih terjaga, sementara tiga yang lain sudah jatuh tertidur.

"Barangkali iya." Sang Tetua tersenyum. "Tidurlah."

Dia menggeleng. "Tidak. Aku ingin berjaga kalau-kalau badai datang lagi."

Sang Tetua tersenyum. "Aku tinggal di sini lebih lama. Menyaksikan banyak sekali kehilangan. Pun nyaris terlempar keluar dari tempat ini. Tapi entah bagaimana tetap bisa bertahan."

"Kakek suka tempat ini?"

"Tentu."

"Dari sekian banyak tempat, apakah ini yang terbaik? Kalau iya, kami akan tetap tinggal."

"Tidak. Tidak semudah itu, Anak Muda." Sang Tetua menggeleng. "Kita dianggap jahat. Diburu. Dihabisi."

Sang Anak Muda bergidik. Dia tahu tentang fakta ini. Bahwa mereka hidup dalam ancaman. Meski selalu berpindah ke banyak tempat. Mereka tetaplah dimusnahkan.

"Bukankah ini terlalu kejam?"

"Dunia perlu seimbang, Anak Muda. Kita tidak bisa memilih lahir sebagai apa." Sang Tetua menatap ke kejauhan, pada sebuah lubang besar tanpa pintu. "Kita juga tidak bisa memilih menjadi jahat atau baik."

"Bagaimana bisa, Kek?"

"Karena kita tetap harus musnah."

"Dunia tidak adil kalau begitu."

"Adil. Sungguh adil." Gelap masih mengisi kedua mata Sang Tetua. "Kita menjadi alasan untuk banyak hal."

"Seperti?"

Sang Tetua tersenyum takzim. "Kita mengemban tugas mulia, Anak Muda."

"Aku tidak paham, Kek."

"Kita menjadi alarm terbaik untuk mengetuk banyak pintu hati. Membuat mereka menarik diri dari segala yang bersifat duniawi. Merebah dalam lelap. Melupakan sejenak kesibukan. Dan juga ...." Wajah renta itu tampak teduh. " ... untuk sebentuk rasa kasih sayang."

EscapingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang