03

10 0 0
                                    

Tersenyum sopan pada pasangan itu sembari aku menyalakan lilin mereka, pikiranku masih berputar pada wanita baru itu - bagaimana bisa dia itu jahat? Mungkin Eric menyukainya - Aku bisa membayangkan dia sangat bersemangat, namun tak menyadari bahwa ia menyukainya. Eric sangat bersemangat dalam pekerjaannya di sini dan beberapa pekerjaan lain, membaca puisi dan lainnya. Semua selalu berjalan lancar. Tapi jika ada perempuan yang menganggunya - karena ia mabuk, itu pasti akan membuat pekerjaannya sangat terganggu.

Tersenyum pada pikiranku akan Eric yang stres akan cinta yang melanda, aku meletakkan kembali lilin yang menyala terang itu pada tempat lilin yang unik nan indah. "Bisakah aku minta secangkir cappuccino? Dan apakah kalian menyediakan makanan di sini?" Tanya seorang perempuan sambil tersenyum saat aku akan berpindah ke meja selanjutnya. Kuberitahukan menunya dan menerima pesanannya, aku sudah akan kembali ke konter saat seorang laki-laki bertanya, "apa Jenny masuk hari ini?"

Aku menggelangkan kepalaku dalam kebingungan - Jenny? Aku tahu semua orang yang bekerja di sini dan sama sekali tidak ada yang bernama Jennifer.

"Dia baru mulai hari ini - dan dia bilang bahwa shift-nya akan selesai pukul enam tiga puluh, tapi dia bahkan tidak ada saat kami dapat pukul enam tadi," lanjutnya dengan suara yang lambat dan menenangkan. Matanya bersahabat dan aku menyadari ia memiliki tato kartun robot pada lengannya.

"Oh! Saya rasa dia sudah pulang lebih cepat - Maafkan saya," jadi nama perempuan baru itu Jenny. Aku jadi tertarik pada pasangan di depanku - jadi ini teman perempuan itu? Yang laki-laki memiliki tatapan mata yang dalam dan berwarna hazel  dan ia tersenyum lembut padaku, "tidak masalah. Terima kasih."

Aku mengangguk. Agak sedikit kesal aku tidak dapat membantu mereka, mereka terlihat sangat ramah. Cepat-cepat kutepis perasaan itu lagi, sembari aku kembali ke konter dan menyiapkan pesanan mereka.

"Pasangan yang duduk dekat jendela mengenal perempuan baru itu - jadi namanya Jenny," Aku menunjuk dengan kepalaku ke arah meja mereka, saat Marc kembali dari gudang. Dengan cepat, matanya melihat meja tersebut dan alisnya naik karena kaget, "jadi kau pikir, apa mungkin perempuan itu siswa seni? Mungkin dia masuk sekolah seni di South Wabash Av? Mereka terlihat seperti tipe yang masuk ke sana, "Maksudku bukannya mereka - seperti. Bukan karena... tapi aku pikir mungkin saja."

Aku tertawa kecil pada kecemasannya yang tidak jelas tentang apakah dia terdengar terlalu menghakimi, "ya. Ya, aku sangat paham apa maksudmu. Siswa seni biasanya sangat berwarna dan merasa sangat harus menunjukan ekspresi diri - terakhir kali aku cek, rambut berwarna lavender dan tato ada di jurusan itu." Marc menganggu cepat pada definisiku yang lebih netral. Ketakutan terdalamnya adalah orang mengira dia suka menghakimi atau salah menginterpretasi maksudnya. Bahkan denganku dia masih takut akan hal itu - padahal aku tahu betul dia orang terakhir yang akan memiliki praduga dalam sejarah. Dia akan membela semua orang - selalu punya alasan akan sikap orang. Dia selalu percaya ada kebaikan dalam diri orang. Mungkin itu satu-satunya hal yang dapat membuatku kesal padanya - dia merasa harus selalu meminta maaf saat menyinggung seseorang, walaupun tidak ia lakukan. Untungnya dia jarang bertemu dengan perempuan berambut lavender.

"Ya, rambut lavender adalah sebuah pernyataan. Tapi itu keren, mereka punya keberanian untuk mengekspresikan diri seperti itu," Marc melanjutkan kata-kataku sambil tersenyum lega, saat ia membantuku menyelesaikan pesanan. Aku memberitahunya dengan suara pelan tentang tato kartun keren yang dimiliki si laki-laki di lengannya dan kami mulai menebak warna rambut apa yang mungkin dimiliki Jenny.


"Ini pesanannya," Aku tersenyum lebar pada pasangan tersebut sambil meletakkan cangkir coklat yang terisi dengan cappuccino hangat di depan si perempuan.

"Tempat ini sangat keren - aku tidak menyangka bisa mendapat kopi seperti ini di Chicago!" Perempuan dengan rambut lavender sebahu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga sambil tersenyum sopan padaku.

"Terima kasih - saya pasti akan memberitahukannya pada pemiliki tempat ini. Dia akan sangat tersanjung mendengarnya." Aku memegang nampan kosong di sebelah kakiku dan dari sudut mataku, aku melihat aku belum menyalakan lilin terakhir di meja sebelah.

"Apa kau sudah lama bekerja di sini?" Tanya si lelaki bermata hazel melihatku dengan mata penuh perhatian.

Aku menganggkat bahu, " sudah satu tahun setengah sekarang. Waktu berlalu, tapi ini tempat kerja yang bagus, jadi aku tidak mengeluh!" Si laki-laki menganggu, terlihat senang dengan jawabanku saat dia membalasku dengan senyum, "Aku bisa membayangkannya. Mungkin kami akan melihatmu lagi jika Jenny dapat mempertahankan pekerjaannya."

Kata-katanya membuat tawa kecil keluar dari bibir pink si perempuan, saat dia menggeleng dan menghela napas, "tidak mungkin!"

"Oh, ayolah - dia tidak seburuk itu," lelaki itu tertawa dan membuat rambutnya yang tidak tertata itu jatuh menutupi matanya, yang dengan cepat disingkapnya.

Karena aku tidak tahu Jenny, jadi aku tidak merasa itu terlalu merasa itu lucu seperti mereka - tapi itu membuatku berpikir kenapa bosku mau menerima 'Jenny'.

"Maaf - tapi," si perempuan masih tertawa saat ia melihatku dengan mata berbinar, "dia perempuan yang baik, tapi kurang dalam mengatur sesuatu. Ini harusnya jadi kejutan kami di hari pertamanya - tapi rasanya kami sudah merusaknya. Kau tidak tahu kapan shiftnya selanjutnya?"

Aku menggelengkan kepalaku, "maaf - jadwal kami bervariasi dari minggu ke minggu jadi aku bahkan tidak dapat memastikan apakah dia akan di sini Senin depan." Aku merasakan adanya suara hujan deras yang mengetuk stabil di jendela. Alunan lagu lambat yang lembut dan nyaman bermain dengan hujan, tapi aku harap itu akan berhenti saat aku harus pulang. Pintu terbuka saat bapak tua masuk untuk mencari tempat berteduh dari hujan deras. Mantel hitamnya sudah basah dan dia bergegas ke konter untuk memesan sesuatu yang hangat tebakku.

"Tidak masalah - kami akan membuatnya mengatakannya lagi. Yang diperlukan hanyalah beberapa teguk bailey dan dia akan mulai berbicara melantur tentang surga dan dunia," kata si lelaki - sekali lagi memastikan aku tidak merasa bersalah, yang langsung membuatku tersenyum bersyukur padanya.

"Aku akan mengingatnya," Aku tertawa kecil dan tersenyum terakhir kali pada pasangan yang riang itu dan kembali ke konter dimana Marc sibuk membuat Americano untuk pembeli yang kebasahan. Aku merasa sedikit penasaran ingin bertemu Jenny - jujur aku sudah menyukai teman-temannya. Mereka terlihat menarik - Aku penasaran tentang tato kartun dan warna lavender. Apakah mereka berarti sesuatu yang spesial? Kenapa Jenny sudah mabuk pada hari pertama bekerja? Apa pasangan itu ada hubungannya?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 25, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

the journal h.s. [Indonesian Translation]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang