02

194 16 3
                                    

"Aku tidak terlambat! Aku TIDAK terlambat!" Aku berteriak dengan keras pada rekan kerjaku, Marc, sambil melepaskan jaket coklatku dan dengan cepat mengambil salah satu celemek hitam kafe, yang menjulur sampai pertengahan pahaku saat aku mengikatnya mengelilingi pinggangku. Memasukkan ponsel dan notesku ke dalam saku celemek, aku dapat mendengar Marc tertawa dari ruang utama. Aku tersenyum dengan lebar pada suara yang kukenal itu dan mulai menyanggul rambutku, menggigit pensilku dan segera keluar menemuinya.

"Tidak telat," kataku meneguhkan lagi, kata-kataku meredam karena pensil yang kugigit. Akhirnya aku puas dengan sanggulku dengan cepat aku mengambil pensil dan melihat Marc dengan berseri-seri saat ia bergumam 'tentu' dan menggelengkan kepalanya sambil tetap tertawa.

Untungnya kafe masih tidak terlalu ramai. sepasang kekasih duduk di dekat jendela, sebuah grup dari lima orang muda bercengkrama di sekitar sebuah meja, dan seorang gadis sedang mengetik dengan cepat di macbooknya yang berkilauan. Aku tidak pernah benar-benar mengerti mengapa orang-orang membeli komputer-komputer yang mahal ini - apa yang salah dengan yang lebih murah - dan ya mungkin yang lebih jelek - laptop? Maksudku apa itu masuk akal dengan membayar semahal itu hanya untuk penampilannya saja?

Marc sedang membersihkan wastafel di belakang kasir, bergumam mengikuti alunan musik santai hipster, yang sedang diputarkan. Aku selalu menyukai cahaya redup di kafe dan dinding bata yang mengesankan - ini bukanlah tempat yang mahal, namun nyaman. Biasanya banyak orang bertipe hipster datang kemari - seperti pasangan kekasih si dekat jendela itu. Mereka terlihat seperti siswa seni atau semacamnya. Saat mataku berpindah dengan cepat dari tempat ke tempat, aku mengerutkan kening dan mataku, "mengapa mereka belum bersih-bersih?"

Marc masih fokus pada wastafel dan menjawab, "ada perempuan baru - ia baru memulai bekerja hari ini dan Eric memberitahuku bahwa perempuan itu hanya tidak mungkin. Eric sangat stress saat aku datang untuk mengambil alih - tampaknya Eric harus mengirim perempuan ini ke rumah lebih cepat karena ia hanya... tidak mungkin."

"Serius?" Aku menaikkan alisku dalam keterkejutan, saat aku mengambil satu cangkir dan mempersiapkan mesin espresso.

"Ya, aku berkata padanya bahwa kita akan menjaga kafe ini-" Ia mengangkat bahunya dan bersandar pada meja kasir, memandangiku memanaskan susu. Tentu saja Marc menawarkan itu - dia selalu sangat sopan. Hampir terlalu sopan setiap saat. Aku mengangguk tanda menyetujui, "jadi, apa yang dilakukan perempuan ini padanya? Maksudku Eric cukup hardcore," Aku tertawa. Besar, cukup terlatih, lelaki berambut pirang adalah seorang pria dengan kelebihan mental. Ia telah melatihku saat aku pertama kali mulai bekerja satu setengah tahun yang lalu - wow - apa sudah selama itu? Bagaimanapun aku tidak dapat membayangkan bagaimana suatu hal mungkin membuat Eric stress. Bahkan tidak saat satu kelas murid kuliahan mabuk datang, apakah ia panik, tidak sepertiku. Aku sangat kebingungan - hal itu terjadi di bulan pertamaku disini - jadi ia pasti pernah walaupun harus menenangkanku yang masih baru.

"Ya - itu juga menjadi pertanyaanku. Tampaknya ia telah benar-benar memusingkannya," Marc tersenyum saat aku mengenggam cangkir berisi espresso seduh yang masih panas, "perempuan ini harus benar-benar mencoba membantu dan mendengarkannya, tapi kelihatannya ia mengacaukan lima pesanan dan belum pernah belajar memakai mesin espresso. Selanjutnya ia menjatuhkan sebuah nampan dengan dua latte, yang menyembur kemana-mana," Aku meringis jijik membayangkan hal itu - dan kafe sudah cukup ramai, "jadi ia lebih menjadi beban daripada bantuan. Tapi, mungkin saja ia hanya gugup di hari pertamanya," ia menambahkan - membuatku tersenyum pada diriku. Sopan seperti biasanya. Ia bisa saja sopan pada semua orang. "Maksudku pasti ia bagus di suatu hal karena ia telah dipekerjakan, benarkan?"

Marc melihatku saat aku dengan mantap menuangkan susu panas ke dalam cangkir, menyelesaikannya setelah membuat pola indah dari latte. "Tunjukanlah," bisik Marck padaku, dengan bangga aku melihat hasil pekerjaanku. Yah yang satu ini berhasil dengan baik sekali.

"Iri?" aku menggodanya dan tertawa. Tidak peduli seberapa sering aku mencoba mengajarkannya rahasia di balik pembuatan seni latte - ia tetap menyisakan sebuah tanda tanya besar, saat kopi yang ia buat selalu berakhir dengan pola abstrak Picasso.

Aku meneguk kopiku - sekali lagi mataku menyusuri setiap sudut kafe memastikan tidak ada pengunjung yang kekurangan suatu apapun - ,"tapi kau tetap membuat americano yang jahat, jadi kau dipersilahkan pergi." Senyuman menjalar di wajahnya dan mata coklatnya dengan kegembiraan - itu adalah reaksi paling manis, saat aku memberinya pujian. Ia menggelengkan kepalanya pelan membuatku tertawa. Aku tidak dapat berdiam diri melihat meja yang berantakan di dalam kafe terlalu lama, dengan cepat aku pergi dari meja kasir untuk mengambil cangkir dan piring. Aku memberikannya pada Marc di meja kasir, aku kembali menyalakan api pada lilin-lilin yang berdiri di setiap meja. Semoga malam ini tidak terlalu banyak kejutan...

the journal h.s. [Indonesian Translation]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang