"Dek, nanti siang kalau udah pulang, ambil kunci di rumahnya Tante Wonpil dulu, ya?"
Si pemuda bersurai legam mengerjap beberapa kali, membuat gestur berpikir. Ia diam saja, namun gigi-giginya masih aktif mengunyah makanan di rongga mulut. Ditelan setelahnya. Belah bibirnya kembali terbuka lebar saat sang ibunda kembali sodorkan satu sendok penuh nasi beserta nugget dan kuah sayur sop tepat di depan wajahnya. Meraupnya perlahan dan kembali mengunyahnya.
Brian berdecak saat mendapati kehadiran satu bulir nasi di pangkal bibir anak tunggalnya. Buru-buru meraih tisu di atas meja dan membersihkannya kilat.
"Emang Bunda mau ke mana?"
"Ke cabang butik di Malang, ada masalah di sana."
"Malang?" Dowoon menoleh cepat dengan mata berbinar cerah. "Mau ikut, dong, Bun. Aku udah lama ga kesana, kangen apelnya."
"Emang kamu pulang jam berapa?"
"Jam empat."
"Enggak." Yang lebih tua menolak mentah-mentah. "Bunda berangkat jam sepuluh nanti."
"Yaudah aku gausah sekolah dulu." Si kecil kembali membujuk. "Boleh, dong, Bun. Sehari aja."
"Kamu udah kelas 12, bentar lagi UTBK. Jangan keseringan bolos, dong." Brian kembali menyuapi buah hatinya dengan telaten. "Lagian Ayah udah janjiin bakal ngajak keliling Eropa kalau kamu udah lulus. Tahan dulu, dong."
"Bundaaaaa." Dengan pipi menggembung penuh makanan dan bibir cemberut, yang lebih muda mulai merangkul manja lengan Brian. "Mau ikut Bundaaaaaaaa."
"Nanti maleman juga pulang, kok, Dek. Lagian kita udah sering ke Malang juga."
"Aku butuh refreshing sebelum ujian. Kalau otak aku melepuh karena keseringan belajar gimana?"
"Gausa lebay. Kerjaanmu cuma main game sama Om Jaehyung."
"Bundaaaaaa!" Dowoon semakin dalam melesak ke perpotongan leher berbau lembut itu. "Mau ikut. Ya, ya, ya?"
"Eng-"
"Ikuuuuutttt!"
Brian menghela nafas, lelah. "Yaud-"
"Heh, bocah. Jauh-jauh dari bini Ayah, gak?"
Si remaja rupawan kelebihan hormon memekik kesakitan saat daun telinganya ditarik paksa ke udara, membuat kontak kulit antaranya dan sang ibunda mau tak mau harus terlepas total. Brian terkesiap, buru-buru menoleh pada pelaku penyiksaan tak manusawi pada kesayangannya tersebut.
Ah, harusnya ia sudah bisa menebak.
Suaminya berdiri di sisi sofa tengah tempatnya menyuapi sarapan Dowoon, terlihat jengah dan jemari panjang yang menjewer kejam kuping anaknya sendiri. Sudah berpakaian rapi khas pekerja kantoran dengan setelan yang Brian pilihkan sebelumnya ; kemeja putih bersih yang sudah disetrika dan celana bahan warna hitam. Dasi panjang motif kotak-kotak miliknya belum terpasang, digantung begitu saja pada tengkuknya dan menjuntai di depan dada.
Bahkan dari jarak yang tidak terlalu dekat, sang ibu sudah bisa mengendus aroma parfum maskulin yang merebak kuat dari tubuh pujaannya, mengisi tiap ruang di paru-parunya dan membuat kedua belah pipi tembamnya mulai dirambati rona kemerahan entah karena apa?
"Ayah! Sakit tauk!" Dowoon buru-buru menampik lengan kekar sang punggung ekonomi keluarga. Kedua kelerengnya berkilat kesal pelototi Sungjin sembari usap pelan indra pendengarannya yang nyeri didera perih. "Jahat banget si jadi orang tua."
"Ngomong apa barusan?"
"Heh, udah." Yang paling manis di antara mereka buru-buru melerai sebelum terjadi keributan besar seperti yang sudah-sudah. "Udah jam setengah tujuh lebih. Dek, selesaiin makannya. Ayah tunggu di sini, Bunda ambilin dulu sarapannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mom, Look! [SungBri]
Fanfiction\\ 박성진 ft. 강영현 \\ | Golongan darah Sungjin dan Dowoon berbeda tipe ; A untuk si kepala keluarga sementara O untuk si kecil. Dari sana, Brian menarik kesimpulan ngawur bahwa itulah penyebab kenapa suami dan anaknya tidak pernah bisa akur. | bxb. loca...