0.1

2.4K 256 137
                                    

Gumpalan abstrak awan mendung menggantung lemas pada kolong langit kota Jakarta, terlihat sendu dan muram tanpa tenaga -- sekali lihat, semua orang akan tahu bahwa hujan deras akan tumpah ruah kurang dari setengah jam lagi. Dowoon juga memahaminya, maka dari itu ia bergerak memacu motor besarnya agar kecepatannya naik drastis dari sebelumnya, membelah ruas jalan ibukota yang lengang dan sepi. Mesinnya menggerung-gerung galak, memekak telinga para pejalan kaki yang bersliweran di trotoar. Siapa peduli, Dowoon hanya ingin cepat sampai rumah.

Angin kencang nan lembap menampari sekujur tubuhnya yang terbungkus seragam sekolah lengkap -- ralat, tidak lagi karena tak ada presensi dasi mencekik lehernya. Kemeja putihnya yang tak dimasukkan ke celana sedikit tersingkap, bergerak tidak beraturan seirama dengan putaran roda kendaraan yang statis ke arah depan. Helm fullface merah yang ia kenakan hanya memperbolehkan dunia untuk melihat kelereng legamnya yang menyorot fokus ke utas jalan.

Dowoon harus pulang sebelum hujan turun. Ayah tidak akan senang apabila ia sampai di rumah dengan pakaian basah kuyup, kasihan Bi Sumi yang sudah susah-susah mencuci dan menyetrikanya.

Satu umpatan refleks tercetus dari belah bibirnya saat ia bisa merasakan setetes air dingin menyentuh kulit sikunya yang terekspos jelas.

Disusul ribuan bulir lainnya, menusuki bumi metropolitan tanpa ampun, tanpa jeda. Dowoon mendengus keras-keras, menaikkan laju jalan kebanggaannya agar cepat sampai pada destinasi. Pandangannya mulai berkabut karena embun yang menjamuri kaca helm, tubuh ringkihnya dirasa menggigil karena kolaborasi air hujan dan udara menusuk yang berhembus di sekitarnya.

Harusnya Dowoon menuruti nasihat Ayah untuk langsung pulang. Kenapa pula ia harus menuruti bujukan Hyunjin untuk menyulut satu dua batang udud di warung kopi dekat sekolah tadi?

Jangan adukan Bunda, beliau akan sangat kecewa. Dowoon hanya merokok sesekali, kok. Setidaknya tidak sesering Hyunjin yang bisa menghabiskan satu kotak Marlboro dalam sehari, Dowoon hanya akan melakukannya jika sedang penat-penatnya saja.

Seperti hari ini.

Sebenarnya tidak ada yang salah, semua berjalan seperti biasanya. Dowoon berangkat ke sekolah, menyimak pelajaran seperti anak baik-baik lainnya, lalu mengikuti kelas tambahan untuk persiapan UTBK mendatang. Begitu setiap harinya, pemuda itu terus dihujani oleh keharusan untuk belajar dan belajar.

Membuat stress saja.

Dan hembusan nikotin tentu adalah solusi praktis untuk mengusir sejenak rasa tercekik di tiap pembuluh darahnya.

Dowoon mengendarai seperti orang kehilangan kewarasan. Lampu merah tidak lagi dianggap keberadaannya, lubang lebar berair di tengah jalan diterobos tanpa ragu. Ada dua hal yang ia khawatirkan sekarang ini ; Ayah yang marah dan tugas kliping Bahasa Indonesia di dalam tas yang tidak diketahui kabarnya sekarang ini, kemungkinan besar basah kuyup tentu saja.

Ia menghela nafas lega saat gerbang perumahan tempat rumahnya dibangun terlihat jelas di depan sana -- berdiri tegak nan galak seolah representasi Ayah bila melihatnya nanti. Dowoon meringis, buru-buru menepikan motornya di rumah pertama pada tikungan ketiga. Rumahnya, tentu.

Decakan jelas meluncur nyata ketika mobil mahal kesayangan Ayah ditangkap retina, diparkir manis di dalam garasi bergabung bersama dua mobil mereka yang lain. Seraya menuruni motornya dan mencabut kunci, pemuda itu mengibaskan baju dan tubuhnya, berupaya mengenyahkan basah dari sana.

Percuma, airnya sudah meresap dalam. Mustahil kering sekarang juga.

Mengendikkan bahu acuh, ia memutuskan untuk melangkahkan kaki meninggalkan garasi. Menimbang-nimbang, pintu belakang dekat dapur menjadi destinasinya sekarang. Hanya pintu itu yang jarang dijamah Ayah, setahu Dowoon. Hanya Bi Sumi yang sering berseliweran melewatinya, karena pintu itu juga menghubungkan rumah utama dengan kamar beliau.

Mom, Look! [SungBri]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang