Perjalanan Akhir, Terimakasih

5 0 0
                                    

“Kau bahkan tidak pantas menapak di bumi ini.”
“Jalang antah berantah.”
“Lihat dirimu, pantaskah begitu?”

Kata kata itu terus terngiang di benaknya.

Kirana menenggelamkan dirinya di bathub berbusa dengan air hangat. berharap mati tapi mustahil. Tidak ada pilihan lainnya, Kirana sudah berada di ujung tanduk sekolah. Sangat disayangkan jika ia putus sekolah begitu saja.

Omongan orang-orang yang terus membayanginya. Sejenak ia berpikir, bajingan sekolahnya bahkan tidak tau mengenai penderitaannya, perjuangannya untuk meraih yang ia inginkan.

Jalang? ya, sepertinya benar.

itu salah satu jalan yang dipilih olehnya. menyedihkan memang. dilanda keterpurukan tanpa batas. kehilangan ayahnya ketika ia membutuhkannya. kekurangan kasih sayang di usia belia.
orang-orang tidak perlu tau mengenai rasa sakitnya. Orang-orang itu hanya perlu tau ketika dirinya sudah di puncak, menikmati hasilnya dan menertawakan mereka di atas karirnya yang cemerlang.

Kirana beranjak dari kubangan busa tersebut. membilasnya lalu membalit tubuhnya dengan handuk dan mengeringkannya.

setelah memakai pakaian, ia menatap dirinya di pantulan cermin kamarnya. rambutnya yang basah, wajahnya pucat dan kusam. lihat dirinya, gemuk, pendek, jelek.
ia tertawa miris, menertawai dirinya sendiri. Ia mengerti kenapa kawan-kawannya... ah, apa pantas mereka disebut kawan-kawan? para bajingan lebih tepatnya. menertawakannya dalam kebahagiaan, meledeknya tanpa ampun dan membuat luka kembali di hatinya, parah dan tanpa obat.

“Sepertinya tuhan mengumpat ketika menciptakanku.”

bulir pertama jatuh dari matanya, disusul hujan deras dan isakan bagai petir yang menggema di kamarnya.
kesendirian ini mencekiknya. membuatnya merana, merasa sendirian dan tak dibutuhkan.
Jemarinya bergerak mengambil silet di nakasnya. menggores tangan kirinya segera. menciptakan gurat yang mengeluarkan darah segar dari tangannya yang gempal.

“Jalang.”

“Lihat, mukanya jelek sekali.”

“Lihat bentuk badannya, kenapa ia bisa begitu percaya diri?”

“Aku akan malu menjadi dirinya.”

“Siapa yang akan menyewanya?”

satu ejekan, satu guratan.
terus seperti itu sehingga luka di tangannya terlukis memenuhinya.
Kirana terus berkata. ini tidak sakit, ini tidak sebanding dengan yang kurasakan.

tangannya berdarah hebat. guncangan terakhirnya akan membuatnya sadar. dirinya lebih baik mati saja, menyusul ayahandanya tercinta. ia memperdalam goresannya, mencari seakan menggali tangannya mencari urat nadinya.

“Semoga, tidak ada lagi Kirana lainnya. Semoga tidak ada lagi bajingan lainnya.”

ocehnya sembari menatapi luka di tangannya yang sebentar lagi akan merenggut nyawanya.

“Sudah cukup ocehan mengenaiku. Sampai disini saja perjuangan seorang Kirana.”

“Terimakasih tuhan untuk kehidupan sementara yang kau berikan... itu sangat membantu menyiksa diriku. ”

Kirana menatap pantulan dirinya di cermin. menghela nafasnya, memaksakan dirinya tersenyum di saat terakhir dirinya bisa melihat dunia yang kejam.
omongan orang merenggut nyawanya. dan itu akan tetap jadi lelucon selamanya.

“Terimakasih, dan selamat tinggal.”

Satu goresan memutuskan nadinya, kepalanya terhuyung. badannya jatuh ke lantai bersimbah darah. membiarkan dirinya mati kehabisan darah. toh, siapa peduli?

dirinya kotor, hina, jauh dari sempurna.

inilah akhir kisah Kirana, korban omongan dunia yang merenggut nyawanya yang berharga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 25, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Diambang KehancuranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang