Prolog

48 5 0
                                    

Batam  Tiga Tahun lalu

           Diam-diam Lestari hampir mengagumi dirinya sendiri. Duduk dengan sikap tenang dan elegan, tak sedikit pun ditunjukkan suasana hatinya yang sebenarnya; Takut, cemas. Padahal tangannya sudah sedingin mayat, perutnya terasa melilit menahan ketegangan yang melanda jiwanya. Dan rasanyahanya butuh kejutan kecil untuk membuatnya terkapar pingsan. Sebab, ia sadar dengan siapa ia akan berhadapan!
          Sudah berkali-kali suaminya berusaha menenangkannya. Memengaruhinya agar bisa berpikir positif- bahwa mereka akan baik-baik saja. Kembali ke Jakarta dan menjalani hidup seperti biasa. Usaha suaminya tidak menghasilkan apa-apa sampai sebuah pemikiran sederhana menyadarkannya, Dia-mantan suaminya tidak mungkin melakukan hal bodoh, dengan menghabisinya di tempat terbuka seperti ini misalnya. Jika mau, dia bisa melakukannya dengan rapi dan bersih sebelum saat ini. Lagi pula, bertindak ceroboh sungguh bukanlah sifatnya. Dia menjadi besar sebab memiliki banyak keunggulan. Di antaranya adalah kesabaran luar biasa sekaligus ketidak sabaran yang mematikan. Dan terutama sekali adalah bahwa dia seorang tokoh publik.
          Lestari menarik napas panjang, meletakkan tangannya dalam genggaman tangan suaminya -seakan percaya- lewat tangan itu akan mengalir kekuatan dan keberanian untuknya.
         Dulu ia masih sangat muda, terpaksa berusaha sendiri demi keselamatan kedua orang tuanya, diam-diam berusaha lepas dari suami idaman palsu-demi dirinya dan bayi yang akan dilahirkannya- karena di balik semua perhatian dan kebaikannya, tersembunyi kejahatan moral yang fantastis! Ia, seorang gembong narkoba yang juga menjalani bisnis penjualan wanita ke luar negeri.
         Sekarang ada suami yang siap melindunginya -walau ia tidak tahu- apa yang bisa dilakukan suaminya saat harus menghadapi mantan suaminya yang seorang mafia? Ia datang demi satu putranya. Maka ia akan kembali demi dua orang putranya. Sudah dilaluinya 5 tahun yang berat dan 10 tahun yang panjang dengan kecemasan dan kekhawatiran akan keselamatan darah dagingnya. Maka sekarang, jika perlu, ia tidak akan berbalik pergi meski harus menghadapi sepuluh raksasa yang lebih mengerikan dari mafia besar yang satu ini.
         Orang yang ditunggu muncul tepat seperti yang direncanakan. Tidak kurang atau lebih satu menit pun. Bukan satu orang, melainkan tiga orang. Mengenakan stelan-stelan terbaik berwarna hitam. Ketiganya bertubuh tinggi menjulang. Dua di antaranya bertubuh sangat besar. Pria tampan yang berjalan di tengah tampak lebih menonjol- Sebenarnya sangat menonjol. Sebab aura dan kharismanya. Satu pria di sebelah kanan berjalan satu langkah mendahului, lalu bergerak menarik sebuah kursi dari balik meja dan dengan sigap mempersilahkannya duduk. Satu pria yang lain sudah berdiri tegak di sisi sang pria kharismatik tanpa instruksi.
Pria itu lebih tampan dari yang bisa diingat Lestari. Tampak lebih matang dan berkuasa, seakan ia datang bersama kemegahan singgasana. Dan satu hal yang membuat Lestari terpaku beberapa saat adalah, mendapati kemiripan pria tampan itu dengan putranya yang tak terbantahkan.
          Dengan senyum ramah yang bisa meluluhkan hati siapa saja, pria itu berucap, Senang mengetahui kau bisa datang, seraya menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan pada Lestari dan suaminya.
Apa aku punya pilihan? sebuah usaha terakhir yang bisa dilakukan Lestari untuk mengurangi frekuensi degap jantungnya, Kau memaksaku untuk datang. Sekarang ia benar-benar kagum akan keberaniannya. Ada keterkejutan yang spontan hadir dalam tatapan mata sang pria. Bukan hanya sebab keberanian yang ditunjukkan mantan istrinya itu. Namun juga sebab suara tegas dan ekspresi menantang yang sengaja dipamerkannya. Tapi hal itu hanya muncul sesaat, diganti sebuah senyum kecil. Sebuah loncatan rasa hadir di kalbunya. Dari terkejut dan marah, menjadi kepuasan yang memberinya kesenangan. Sadar, bahwa wanita di hadapannya, bukan wanita biasa. Tidak banyak orang yang pernah atau berhasil mengalahkannya, dan terutama seorang wanita! Tapi, wanita ini, telah berhasil menjauhkan dirinya dari putranya. Bersembunyi dengan cerdik selama 15 tahun. Wanita ini, perempuan yang telah melahirkan putranya seperti yang ia yakini 17 tahun lalu. Instingnya selalu benar!
Beberapa waitress datang membawa makanan dan minuman.
           "Kau tampak tegang dan pucat. Minumlah dulu. Kurasa kau juga belum makan siang."
           "Aku tidak datang untuk makan," ucap Lestari dingin.
            "Tidak ada yang bicara seperti itu padaku." Masih seramah sebelumnya, tatapannya beralih pada suami Lestari.
           "Senang rasanya mengetahui bahwa aku baru saja membuatnya ada."
           Perhatiannya kembali pada mantan istrinya, "Kurasa kau juga tidak datang untuk bernostalgia. Jadi, aku tidak akan menyita waktumu lebih lama. Lagi pula, setelah 15 tahun, aku juga tidak berniat menambah waktu lagi."
          "Kalau kamu berani muncul di hadapan putraku..., kalau kau berani menyentuhnya satu langkah kau mendekat kupastikan kau akan merasakan dingin dan pengapnya  penjara!"
          Kedua mata sipit pria itu melotot, walau tidak menjadi lebih besar dari sebelumnya. Setelah terkejut oleh keberaniannya sendiri, tatapan mantan suaminya kini tidak lagi membuatnya gentar. Tetapi, saat suara tawa terbahaknya meledak, dalam sesaat berhasil membuat Lestari merasa seperti bocah ingusan yang bodoh.
"Kau tidak tampak baru saja terlahir kembali Lestari."
           "ekarang Lestari baru merasakan ketakutannya sendiri. Nyeri seperti ribuan jarum menyerang tubuhnya, berusaha merangsek masuk lewat setiap pori-porinya. Nyaris putus asa, Lestari berucap, "Kau tidak boleh muncul di hadapannya. Kau akan mengacaukan hidupnya. Kau tidak berhak menyakitinya. Umurnya baru 15 tahun. Jika kau berniat menghancurkan hidupku keluargaku."
          "Tentu saja aku tidak ingin mengacaukan hidupnya. Untuk itulah pertemuan ini kumaksudkan."
         "Konkritnya, apa yang Anda inginkan?" Dengan tetap tenang dan terkendali, suami Lestari berusaha mengatasi keadaan.
          Saat pria itu berkata, suaranya tegas dan jelas- lebih menyerupai sebuah titah seorang raja, "Putraku, Ezi. Kalian memanggilnya Faris!"

Ice Cream LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang