Selingkuh
Hari itu Nindya, Ema, Tiara, Bella dan Sisi janjian tidak langsung pulang ke rumah. Rencananya, mereka mau merayakan hari jadi persahabatan mereka. Nindya sudah siap jadi donatur pesta makan-makan di Kelapa Gading Mall. Bella sangat tidak keberatan mobilnya menjadi tumpangan gratis buat teman-teman barunya itu. Tiara juga menawarkan otaknya buat menghitung pengeluaran yang bakal dihabiskan Nindya, walau semua tahu sebenarnya tawaran Tiara tidak terlalu dibutuhkan saat itu. Ema dengan lagak sok jagoan -tanpa bermaksud menyombongkan diri- menjamin kenyamanan dan keselamatan semua anggota minimal dari gangguan cowok iseng dan tangan panjang. Meski belum lama persahabatan mereka terjalin, semua anggota sudah tahu kalau Ema jago karate. Sementara Sisi masih penuh misteri.
Nindya sudah minta izin mamanya untuk pulang bersama teman-temannya. Juga minta supirnya untuk segera pulang tanpa dirinya. Ema tidak pulang bareng abangnya naik VW kodok tua. Tiara kelihatan santai mendengarkan Manusia Biasa-nya Raja yang diputerin Bella di tape mobilnya -setelah meminta Tiara untuk tidak bikin ulah lagi seperti biasanya. Bella tampak lebih siap dari yang lainnya, duduk di belakang setir dan dengan sabar menunggu segala sesuatunya siap. Sisi masih tanpa ekspresi berdiri di dekat Nindya, menunggu. Ekspresi di wajahnya masih juga tidak kunjung berubah saat Friska tampak berjalan angkuh menghampirinya.
"Heh bisu! Udah punya temen lo ya," sapa Friska kasar, setelah berdiri cukup dekat dengan Sisi. Nindya yang membungkuk di pintu mobil, membelakangi Sisi dan baru saja menyelesaikan pembicaraan dengan Pak Supri -sopir pribadinya, langsung berbalik tanpa memperhitungkan tindakannya, dia langsung berkata membela, "Dia nggak bisu."
"Eh, Dia nggak bisu? Siapa yang bicara?" ujar Friska seakan tidak melihat keberadaan Nindya yang berdiri tepat di depannya. Oh ternyata elo, yang denger-denger punya predikat gadis paling cantik di sekolah. Ternyata cuma segini aja tampang lo," kata Friska sambil menepuk-nepuk pipi Nindya meremehkan. "Heh, elo pikir wajah cantik lo itu udah bikin banyak orang suka ama lo? Jangan besar kepala. Asal lo tau aja, banyak temen-temen gue pada sebel banget ama lo! Dan gue? Denger! Gue muak banget liat wajah lo." Dalam beberapa detik Nindya langsung sadar bahwa dia telah melakukan kesalahan. Seharusnya dia tadi tidak mengatakan apapun. Kakak kelas yang cantik dan judes di hadapannya ini jelas mau cari gara-gara dengannya, dengan sengaja memancingnya, memulai sebuah permusuhan. Tapi kenapa? Pertanyaan yang muncul di benak Nindya ternyata terjawab secepat kemunculan pertanyaan di benaknya.
"Dengan jadian ama Riza, bukan berarti elo udah jadi primadona di sini! Asal elo tau aja, jadian ama Riza adalah kesalahan terbesar yang lo lakuin di sekolah ini. Dia milik gue, ngerti!"
Oh jadi itu sebabnya. Ih, nyebelin banget. Kok ada sich cewek kaya dia? Pikir Nindya dalam hati. Tapi Nindya nggak buka mulut sedikit pun. Bukannya takut, dia hanya merasa yang terbaik adalah nggak ngeladenin orang stress kaya Friska.
Lama tidak mendapat respon apa pun dari sang musuh, Friska merasa menang, dan baginya mungkin itu sudah cukup untuk sekedar membuat Nindya takut.
Sambil menunjuk-nunjuk Nindya dengan jari telunjuknya Friska berkata lagi dengan suara pelan penuh ancaman, "Inget! Riza milik gue. Dan gue pastiin hubungan lo nggak bakal bertahan lama."
Friska melangkah ke depan. Sedikit berbelok ke sebelah kanan lalu dengan sengaja menabrak bahu Nindya sambil berjalan pergi meninggalkannya dengan kata, Sorry yang memuakkan. Ternyata Friska tidak pergi begitu saja tanpa bikin ulah juga pada Sisi. Dia menginjak kaki Sisi lalu berkata dengan wajah mengejek, Yang itu sengaja. Lalu tanpa diduga Friska memeluk Sisi. Saat itu, sepertinya tak seorang pun yang memperhatikan saat Friska berbisik di telinga Sisi.
"Jangan coba cari gara-gara ama gue, ngerti lo?!" lalu Friska meninggalkan Sisi dengan senyum licik menghiasi bibirnya.
"Ngapain dia nyamperin elo?" tanya Ema langsung menghampiri Nindya.
"Nggak...,”
"Bo'ong lo."
"Stress," jawab Nindya sambil menempelkan jari telunjuk di keningnya dengan posisi miring.
"Siaapa? Dia?"
"Siapa lagi?"
"Emang kenapa?"
"Di mobil aja ceritanya. Yuk, Tiara ama Bella udah nungguin tuh. Ayo Si."
Sampai di mobil sedan Bella, Nindya langsung masuk di bagian depan, duduk di sebelah Bella. Sementara Ema dan Sisi duduk di kursi belakang. Tiara dan Sisi duduk mengapit Ema yang selalu minta duduk di tengah.
"Jalan Bell, dah siap nih,"kata Nindya.
"Oke deh… let's go friends.
Lanjutin yang tadi Nin. Lo bilang tadi mao cerita."
"Cerita apa?" tanya Bella.
"Si Friska."
"Kenapa dia?" Bella antusias.
"Tadi dia nyamperin gue. Ya trus gitu deh, ngancem gue gara-gara jadian ama Kak Riza. Dia bilang hubungan gue nggak bakalan lama soalnya Riza itu milik dia."
"Gila! Masa sich?!" Bella berseru kaget. "Ih, kasian banget deh. Stress kali tuh orang."
"Gue pikir juga gitu,"Nindya setuju.
"Friska Emang rada-rada. Kasian banget juga sich. Sebenernya dia tuh udah naksir Riza dari kelas satu, pake nembak segala lagi," Ema buka suara lagi.
"Hah, yang bener lo?" meskti terus nyetir, telinga Bella dipasang maksimal, makanya dia masih bisa ngasih kontribusi dalam pembicaraan seputar Friska saat itu.
"Beberapakali."
"Jangan ngarang lo," Nindya nggak percaya.
"Yang pintar ngarang, si Bella bukan gue. Masa gue bo'ong. Apa untungnya? Abang gue kok yang bilang gitu."
"Abang lo bigos juga ya," ujar Tiara.
"Sedikit. Tapi kalau soal rahasia, dia orang yang bisa diandelin banget," Ema membela abangnya dengan sedikit pujian.
"Udah, udah. Soal abang lo udah dulu, lanjutin yang tadi. Friska nembak Riza beberapakali, trus ?" Bella jelas penasaran.
"Ya ditolak. Kalo diterima, masa sekarang Nindya bisa jadian ama Riza."
"Maksud gue, apa pernah diterima?
"Never," jawab Ema dengan gaya yang dibuat-buat.
"Ih, tengsin banget dong dia," komentar Bella lagi.
"Lagian dianya juga sich yang over agresif. Menurut abang gue, cewek agresif itu sebenarnya sah-sah aja, nggak masalah. Tapi kalau berlebihan kaya Friska biar cantik, kaya, pinter dan lain-lain, tetep aja bikin cowok begah. Yang ada bukannya bikin cowok yang dia incer suka, malah muak. Beruntung aja yang dia taksir berat itu Riza, yang orangnya masih bisa jaga perasaan cewek," kata Ema panjang lebar. "Nah, kalo elo ada masalah apa sich ama Friska? Kayanya dia udah beberapakali nyamperin elo, ngacem elo? Ada apa?" Ema beralih pada Sisi.
"Iya Si, elo ada masalah ama dia?" tanya Tiara. Lo ngga mao berbagi ama kita-kita? Jangan gitu Si, Nindya aja langsung bilang, kali aja kita bisa bantu elo."
"Nggak."
"Lo bo'ong," tuduh Ema.
"Bukan masalah besar."
"Kalo gitu bukan rahasia, kan ?" Nindya ikut ambil bagian dalam usaha membuka mulut Sisi lebih lebar. Soalnya, sampai saat ini mulut Sisi lebih sering rapat. Kata yang keluar dari mulutnya, nyaris selalu tidak lebih dari lima kata.
"Narkoba," akhirnya Sisi putuskan bicara juga, setelah didesak terus.
"Hah!!" semua yang di mobil serempak terkejut, kecuali Sisi.
"Apa lo bilang? Narkoba?!!" Ema lanjut dengan pertanyaan lagi.
"Friska-narkoba?" Bella nyusul.
"Bukan Bandar, kan?" Nindya kelihatan khawatir sekaligus ngeri.
"Gue ngeliat dia make gituan di kamar mandi."
"Nggak sedirian?" Tiara tidak tinggal diam.
"Bertiga."
"Sama dua orang temannya yang sering jalan bareng ama dia?" Bella semakin antusias.
"Si Titi and Dian?" lanjut Ema meyakinkan.
"Iya," jawab Sisi pendek.
"Trus dia ngancem lo, supaya jangan coba-coba buka mulut," Tiara menyimpulkan. "Dan sekarang lo udah buka mulut?!"
"Ya."
"Lo nggak niat ngelaporin dia ke Kepsek?"
Sisi hanya menjawab dengan mengangkat bahu. Semua diam beberapa saat sebelum akhirnya Ema buka suara lagi, "Lo takut ama dia?"
Sisi menarik napas pendek lalu menggelengkan kepalanya pelan.
"Nggak usah takut. Ada Ema, dia jago karate," kata Nindya sedikit promosi. "Lagi pula kita-kita bisa juga diandalkan kok."
"Thanks, gue baik-baik aja."
Obrolan masih berlanjut bahkan sampai mobil berhenti di tempat parkir. Tapi tentu saja bukan Sisi yang mendominasi pembicaraan.
***
"Jangan bilang, gosip yang gue dengar tentang elo dengan anak kelas satu itu bener!" Faris beranjak bangun dari tempat tidur Riza, menghampiri saudara tirinya yang baru keluar dari kamar mandi.
"Gosip apa?" tanya Riza pura-pura nggak tahu maksud Faris.
"Elo udah jadiaan sama Nindya, kan?" tuduh Faris dengan nada masih tidak yakin akan ucapannya sendiri.
"Gue berharap banget jawaban lo nggak. Tapi pastinya gue nggak mau lo bohong."
"Eem gue...."
"Elo gila ya!" suara Faris lebih keras dari sebelumnya. "Desty lo mau kemanain hah?! Dia percaya banget ama elo."
"Gue nggak sengaja," ucap Riza berapologi.
"Hah! Nggak sengaja? Nembak Nindya nggak sengaja?!"
"Aduh Ris, lo jangan nyudutin gue kaya gitu dong gini-gini gue saudara lo. Pertamakali lihat Nindya, hati gue udah gimanaa... gitu. Trus waktu gue tahu kalau dia naksir gue, ya...."
"Lo juga bilang gitu waktu lo nembak Desty," kata Faris menyela.
"Jujur, perasaan gue ke Desty nggak berkurang."
"Apa dengan pengakuan lo itu cukup membuat lo jadi ngga bersalah?" Faris mencibir, suaranya jelas terdengar menyindir di telinga Riza. "Lo udah nanem perbuatan buruk, bersiaplah menuai buah busuk hasil perbuatan lo."
"Lo nyumpahin? Kok lo jahat banget sich?"
"Kalau saat itu tiba," Faris memberi tekanan pada kata itu, "jangan bilang gue nggak negor lo, and jangan coba libatin gue kalau lo dapat masalah." Setelah mengucapkan kata-kata itu, Faris beranjak pergi meninggalkan Riza yang duduk manyun di tepi tempat tidur.
"Eh, Ris, jangan pergi dulu!"
"Apa?" di ambang pintu Faris berhenti.
"Lo cabut dulu dong sumpah lo."
"Yang itu bukan sumpah, itu sunatullah. Kata populernya hukum karma. Pribahasanya, barang siapa yang menanam, pasti akan menuai, jelas?!"
"Menurut gue, elo emang berharap gue kesandung masalah."
"Itu yang ada di otak lo?"
"Emang di otak lo nggak sama ama yang ada di otak gue?"
"Sejak kapan sich lo jadi oon? Coba deh, lo minta dukungan ama Mama atas kelakuan lo. Kalau Mama dukung lo, terpaksa gue angkat tangan."
"Kok harus ke Mama?"
"Biasanya juga gitu, kan? Anak Mama."
"Payah! Jangan bilang Mama Ris!
Berani nyogok berapa?"
"Payah lo, kaya oknum pejabat aja pake terima sogokan."
"Emang yang nerima sogokan oknum pejabat doang, ketinggalan informasi lo."
***
Nindya sedang asyik menyutradarai drama yang diperankan beberapa boneka barbienya saat Bibi masuk dan memberitahukan kedatangan Riza.
"Non ada tamu."
"Iya," jawab Nindya senang. "Sudah disuruh masuk Bi?"
"Sudah. Siapa sih Non? Pacar Non ya? Meni kasep pisan eui..”
"Bi, Papa sama Mama udah pergi?"
"Sudah. Baru aja berangkat."
"Sempet ketemu Riza nggak?"
"Oh namanya Riza. Jadi bener itu pacar Non Nindya?"
Nindya tidak menjawab hanya tersenyum malu-malu, lalu menganggukkan kepalanya.
"Sempat ketemu nggak?" Nindya ulangi lagi pertanyaan yang sama.
"Kayanya sich nggak tuh Non,” jawabnya ragu.
Duh mudah-mudahan nggak ya Bi. Bibi bisa jaga rahasia, kan? Jangan bilangin Mama ya, kalau Nindya udah punya pacar. Takut dimarahin, soalnya Nindya kan belum boleh pacaran."
"Iya Non, jangan khawatir, Bibi nggak bakal ngomong ke Mama Non, apalagi Papa Non. Janji."
***
Nindya minta Pak Supri untuk berhenti tepat di depan sebuah rumah besar bertingkat dua, bercat hijau cerah dengan taman dipenuhi rumput halus yang menyejukkan pemandangan. Nindya bahagia banget bisa jadian dengan Riza, cowok paling keren di SMU Mandala setidaknya menurut Nindya dan Ema.
Meski baru dua bulan jadian, Riza sudah tahu banyak tentang dirinya, tentang obsesinya menjadi putri dalam dongeng. Tentang papa dan eyang putri yang kolot abis, selalu melarangnya bertanktop ria kalau keluar rumah. Tentang mama yang bijaksana dan selalu mau pengertian dan tentang suara yang paling sering ingin didengarnya setiap hari.
Sebaliknya, Riza juga cukup terbuka dan tidak pernah enggan bercerita. Tentang Faris saudara tirinya, anak mamanya. Tentang mamanya yang bukan ibu kandung tapi sayang luar biasa padanya. Tentang papanya yang tidak pernah berusaha menyembunyikan perasaan bangganya pada Faris, meski Riza nggak pernah keberatan. Dan tentang bagaimana perasaannya terhadap Faris.
Hari ini tepat dua bulan hubungannya dengan Riza, dia ingin sekali memberi kejutan. Nindya memegang bungkusan persegi dengan sangat hati-hati. Wajahnya tampak sangat bahagia. Ia baru hendak membuka pintu mobil saat seseorang yang sangat dikenalnya keluar dari rumah bersama seorang gadis cantik. Keduanya berjalan beriringan menuju mobil Riza yang diparkir di halaman rumah. Keduanya memasuki mobil dan langsung pergi meninggalkan Nindya yang masih terpaku di dalam mobil, menatap keduanya.
Nindya baru benar-benar sadar dan segera beranjak keluar dari mobil saat seorang perempuan tengah baya berjalan pelan menuju pintu gerbang bermaksud menutupnya.
Dengan langkah ragu, Nindya berjalan menghampiri wanita tengah baya itu, lalu menyapanya ramah.
"Assalamualaikum, permisi, ini rumah Kak Faris?" tanya Nindya. Entah kenapa dia malah menyebut nama saudara Riza yang mantan ketua Rohis itu.
"Wa alikum salam," jawab perempuan itu ramah.
"Nyari Mas Faris? Oh ada, ada. Pacarnya Mas Faris ya? Ya ampun Bibi pikir, pacar Mas Riza tadi nggak ada yang ngalahin cantiknya, eh ternyata pacar Mas Faris malah lebih cantik. Iya Non, masuk Non, Mas Farisnya ada kok. Ayo masuk. Nanti Bibi panggilin."
"Yang tadi itu, pacarnya Kak Riza?"
"Iya."
"Orang mana?"
"Bandung. Orang Bandung kan terkenal cantik-cantik, ternyata gadis Jakarta nggak kalah cantik, contohnya Non... siapa?"
"Nindya."
"Ayo Non masuk, Mas Farisnya masih di atas, nanti Bibi panggil."
"Nggak usah, saya titip ini aja buat Kak Riza."
"Buat Mas Riza? Bukan Mas Faris?
Ya buat Kak Riza," Nindya berusaha menahan gejolak perasaannya, namun gagal. Sebab tangannya mengepal lalu memukul lukisan yang dibawanya hingga berlubang. Juga sangat jelas terdengar dalam nada suara yang berusaha dikendalikannya, dan ekspresi wajahnya.
"Kok? Ke-kenapa dirusak? Eee Non bukan pacar Mas Faris?"
"Bukan. Saya pacar Kak Riza. Permisi. Terima kasih." Nindya sudah tidak tahan lagi berdiri lebih lama di tempat itu. Ia cepat berbalik hendak pergi, namun langkahnya terhenti, saat mendapati Riza sudah berdiri beberapa meter di hadapannya. Ia terlihat ngos-ngosan. Jelas ia habis berlari. Mungkin setelah beberapa meter meninggalkan rumahnya, ia baru menyadari kalau mobil yang terparkir di depan rumahnya adalah mobil milik Nindya.
Dan sekarang, ia seperti terpaku di tempatnya berdiri, memandang Nindya yang langsung masuk ke mobil mewahnya.
Nindya berhasil mengabaikan cowok brengsek itu. Dan tanpa menunda sedetik pun ia minta Pak Supri untuk segera tancap gas.
Riza berlari mengejar mobil Nindya. Namun akhirnya memutuskan untuk segera menghampiri Bibi yang berdiri gugup sambil memegang bingkisan persegi terbungkus kertas coklat yang tampak berlubang di bagian tengahnya.
"I, ini untuk Mas Riza," ucapnya gugup.
"Dia titip pesan?"
"Ee...."
"Apa?"
"Ini untuk Mas Riza. Dia yang...,"
Riza merebut bingkisan di tangan bibi dengan panik. Untuk beberapa lama dia hanya memandangi bingkisan itu. Sebuah lukisan? batinnya. Entah kenapa Riza merasa takut sekali untuk mengetahui apa yang akan segera ia lihat. Riza tarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya putuskan membuka bingkisan itu. Riza terhenyak dalam diam, menatap lukisan dirinya dan Nindya dengan senyum lebar yang memesona- yang telah rusak..
"Bibi bilang apa aja sama Nindya?"
"Bibi nggak tahu. Bibi kira dia pacar Mas Faris."
"Bibi bilang apa aja ke dia?"
"Bibi bilang kalau Neng Desty pacar Mas Riza," ucapnya gugup.
Riza mendesah putus asa, lalu berbalik- berjalan gontai menuju mobilnya-yang diparkir agak jauh dari rumahnya- setelah menyuruh Bibi untuk menaruh lukisan itu di kamar Faris. Meski Riza ingat teguran Faris dua bulan lalu, ia tetap yakin kalau Faris tidak mungkin tidak mau membantunya.
Sesampainya di mobil, Desty menyambutnya dengan pertanyaan bernada curiga, ”Siapa?"
"Anak kelas X di sekolah, mau ketemu Faris."
"Pacar Faris? Faris pacaran? Wah, ada kemajuan dong."
Di samping Desty, Riza cuma menggedikkan bahunya sambil berusaha bersikap sewajar mungkin. Meski tidak mudah, tapi kelihatannya Desty tidak menaruh rasa curiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ice Cream Love
Teen FictionICE CREAM LOVE Faris yang relijius berkeyakinan bahwa pacaran haram hukumnya. Namun, tanpa sengaja ia telah menjalin hubungan emosinal yang sangat mendalam pada seorang gadis bernama Nindya-cewek yang terobsesi menjadi seorang putri. Tanpa direncan...