Tangan Yang Hilang (Bagian 1)

24 1 0
                                    

Suara klakson saling bersautan diantara deretan mobil yang sedang antri ditengah jalan Gatot Subroto. Seakan tak ingin kalah, saling salip menyalip diantara sempitnya celah mobil menjadikan suasana menjadi tak terkendali. Dari pinggir jalan terlihat dua orang polisi yang sedang mengarahkan para pengendara untuk tetap berjalan pada jalurnya. Kerasnya bunyi peluit polisi tak dapat menyaingi teriakan klakson mobil yang layaknya kerumunan massa yang sedang berdemo.

"Memang bangsa ini susah kali untuk diatur, kan udah dibilang untuk tetap berjalan dijalur maing-masing, eh malah salip-salipan ditengah kemacetan. Hadeuh!" Ujar sopir taksi.

"Memangnya lagi ada apa sih mas, kok jadi macet gini. Lagi ada kecelakaan ya?"

"Nggak tau mas, mungkin aja iya. Tapi mau ada kecelakaan atau enggak, macet ini buat saya geram. Ini pasti gara-gara mobil yang gak patuh sama arahan polisi." Sambungnya.

Kulihat jam tangan yang masih menunjukkan pukul dua siang. Dalam hatiku, masih ada beberapa jam lagi, insyaa Allah masih banyak waktu.
Perlahan kemacetan mulain hilang. Mobil pun berjalan perlahan-lahan, hingga sampai di sebuah persimpangan, mataku tertuju pada sebuah mobil Toyota Fortuner yang bertabrakan dengan sebuah truk pengangkut barang. Dari posisi kejadian, dapat kuambil kesimpulan bahwa salahsatu dari mereka melanggar lalu lintas, yaitu melewati lampu merah. Sehingga kecelakaan pun terjadi.

Kecelakaan seperti ini bukanlah hal yang baru. Setiap hari, media televisi nasional selalu mengabarkan berita kecelakaan lalu lintas. Kejadiannya pun bermacam-macam. Ada yang menabrak pohon, terjun ke jurang, rem blong, menabrak pembatas jalan, dan banyak kasus lainnya. Seolah masyarakat negeri ini tak pernah mengambil hikmah dari setiap kejadian yang terjadi. Sehingga masyarakat terlihat seperti berlomba-lomba untuk menyambung cerita kecelakaan tersebut.

"Mas, kita singgah di Masjid Agung kota Medan ya, saya mau shalat".

"Baik mas"

Ini perjalananku yang kesekian kalinya di kota medan, jadi aku sudah lumayan hafal jalanan disini. Perjalananku ini bukan hanya sekedar jalan-jalan semata. Tetapi sekaligus menemui guruku yang akan pergi ke kota gorontalo malam ini, jadi sekalian melepas beliau di bandara Internasional Kuala Namu.

Namanya Salman, dia sering kupanggil ustad Salman. Aku memanggilnya ustad bukan berarti dia seorang penceramah atau pemuka agama. Mungkin karena kebiasaanku dulu di pesantren, memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan ustad.

"Mas, kita udah sampai".

"Alhamdulillah, mas udah shalat?"

"Maaf mas, saya non muslim".

"Ouh, kalau begitu saya shalat dulu, dan berkeliling sebentar setelah shalat. Mas tunggu disini ya?"

"Baik mas"

Kulangkahkan kakiku masuk ke area halaman masjid. Cuacanya panas, lantai keramik dihalaman pun terasa panas sekali. Aku bergegas wudhu dan shalat Dzuhur.

Setelah shalat, kusempatkan diri untuk berkeliling melihat-lihat bangunan masjid. Subhanallah, indah sekali. Masjidnya tidak terlalu luas, tetapi sangat nyaman dan sangat terjaga.

Tiba-tiba terdengar suara dering handphone di kantongku. Ternyata itu dari ustad Salman.

"Asssalamualaikum ustad, antum dimana, Alif udah di Medan nih".

"Waalaikum salam Alif, ustad lagi di hotel, jam berapa sampai Medan?"

"Jam 1 tadi ustad, ini lagi di Masjid Agung Medan."

"Baik, ustad nanti malam berangkat jam setengah sembilan dari bandara. Usahakan datang lebih cepat ya."
"Baik ustad".

"Oke, Wassalamualaikum"

"Waalaikum salam ustad".

Kulanjutkan lagi untuk melihat-lihat masjid ini. Dari sudut lorong, Aku melihat seorang perempuan berjilbab abu-abu yang sedang berdiri menghadap jalan raya. Seperti sedang melamun, atau memang sedang menikmati pemandagan masjid. Dalam hati, ingin rasanya menyapa namun aku tak berani.

Tangan Yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang