Bagian 4

13 2 0
                                    

Kuminum lagi Jus Alpukatku seraya kupandangi wajahnya yang sedang melamun. Perlahan matanya berkaca-kaca. Mengalir air matanya. Setetes demi setetes. Namun tidak diusap sedikitpun wajahnya.

Wajahku pucat bukan main. Apakah ada yang salah dari apa yang kuucapkan, apakah menyakiti hatinya. Kembali kuingat-ingat apa yang telah kuucapkan barusan. Rasanya tidak ada yang salah. tapi mengapa dia menangis.

"Reyhana kenapa, ada yang salah ya? Alif minta maaf kalau ada kata  yang menyakiti hati Reyhana."

Diusap air matanya seraya tersenyum kecut. Sungguh cantik meskipun wajahnya dalam keadaan bersedih.

"Gak ada Lif, ga ada yang salah. Aku cuma sedikit kelilipan aja." Usapnya lagi sambil tersenyum.

Firasatku mengatakan ada sesuatu hal yang ditutup-tutupi. Kuberanikan diri bertanya, sembari mencairkan suasana.

"Sebelumnya Alif minta maaf nih. Kan kita baru aja kenal, tapi Alif ngerasa kita udah lumayan akrab. Makanya Alif mau bilang. Alif itu udah kenal ribuan perempuan, dan udah tau lebih kurangnya sifat perempuan. Jadi, gak mungkin perempuan itu nangis tanpa sebab. Jadi coba jujur deh sama Alif, sebenernya ada apa nih."

Ia kembali tersenyum. Senyum yang lebih lepas. Menggambarkan ungkapan hati yang terhibur.

"Hehehe, dari awal memang aku udah tau kalau kamu itu orangnya memang spesial. Entah itu cara bersikap maupun berbicara. Aku kagum sama kamu Lif".

Aku mencoba mendengarkan lebih dalam, dan memahami perkataannya.

"Tahu gak lif, aku terkena penyakit kangker otak. Udah stadium empat, dan dokter memvonis, hidup aku gak lama lagi. Dokter memperkirakan hidupku tinggal satu bulan lagi. Lusa aku akan balik ke padang, dan aku ke medan hanya mau ambil barang-barang sekaliagus berpamitan dengan teman-teman di kampus."

Aku terkejut bukan main, tanganku bergetar, jantungku berdetak hebat. Perasaanku campur aduk. Hatiku sedih mendengarkan ucapannya. Tapi aku tak mau menunjukkan wajah yang sedih. Karena itu pasti akan membuatnya sedih. Walaupun begitu, aku tetap bersimpati padanya.

Sejenak kuarahkan pandanganku ke arah taman. Kucoba menyemangatinya.

"Rey, hidup itu memang kadang gak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Adakalanya kesenangan datang menghampiri beberapa saat, kemudian pergi. Begitupula kesedihan. Tapi satu hal yang pasti, semuanya sudah diatur oleh Allah. Kita hanya tinggal menjalani. Yang penting kita sudah berusaha dan berdoa. Selebihnya biarkan Allah yang menentukan.

Ia menatapku tajam, namun pandanganku tetap kufokuskan ke taman.

"Seperti pertemuan ini, kita gak pernah merencanakannya. Semuanya atas izin Allah."

"Iya Lif, aku paham". Seraya menundukkan pandangan.

"Rey, kamu tau gak. Awal aku jumpa kamu, aku ngerasa hal yang beda. Maksudku, aku merasa hidupku ada yang mengisi. Jujur ya, aku suka cara berbicara kamu, penampilan, dan semua tentang kamu. Kamu perempuan yang kritis, enak di ajak ngobrol, dan punya wawasan yang luas. Tapi dengan keadaanmu yang sekarang ini, aku masih gak percaya, kamu masih kuat menjalani hidup. Disaat orang lain putus asa dan mengakhiri hidupnya dengan hal yang sia-sia. Tapi kamu beda. Aku belajar banyak darimu. Pesanku satu, jangan menyerah dengan keadaan. Walaupun maut sudah jelas didepan matamu. Jangan pernah putus asa. Dekatkan dirimu pada Allah lebih dekat lagi. Karena Allah yang bener-bener sayang sama kamu."

Air matanya mengalir perlahan. Aku dapat melihatnya, walaupun dia menundukkan wajahnya. Kemudian dia memandangku, tetapi segera ku palingkan wajahku.

"Iya Lif, makasih nasehatnya. In syaa Allah akan selalu aku ingat. Semoga kita bisa jumpa lagi lain waktu."

"Aamiin. Tetap semangat." Aku kepalkan tanganku sembari tersenyum.

Sejurus kemudian azan Maghrib berkumandang. Irama azannya sangat merdu, irama Nahawad. Membuat setiap jiwa yang mendengarnya menjadi tergerak untuk mendirikan rukun islam yang ke dua tersebut.

"Lif, makasih atas waktunya, atas nasehatnya, dan atas pengakuanmu padaku tadi. Aku juga rasain hal yang sama, tapi aku malu mau bilang." Wajahnya memerah seraya menundukan pandangan.

Aku malu, tapi kututupi itu.

"Lif kalau memang kita gak berjodoh untuk bertemu di dunia ini lagi, semoga Allah memberikan aku penggatinya persis sepertimu di surga nanti."

Kali ini air mataku tak terbendung lagi mendengar ucapannya, mengalir perlahan membasahi pipi. Gemuruh dadaku, sesak rasanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 27, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tangan Yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang