Sean memberikan botol air mineral yang sudah ia beri sedotan kepada Alya yang duduk diatas ranjang.
Alya sudah lumayan tenang karena pengaruh obat yang diberikan dokter. Wajah sembabnya masih terlihat. Namun, sudah lebih mendingan dibanding pertama kali Sean melihat Alya yang terisak di dalam lift.
Alya meminumnya sambil menatap Willy yang membuka pintu.
"Apa hasilnya sudah keluar?" Tanya Sean yang setia duduk di kursi tunggu yang ada disamping ranjang Alya.
"Belum. Mereka akan memberitahunya sebentar lagi. Ini aku bawakan beberapa berkas yang harus ditanda tangani sekarang agar besok tugasku tidak terlalu menumpuk." Ucap Willy sambil memberikan 3 buah map pada Sean.
Sean menerimanya dan kemudian fokus membacanya tanpa beranjak dari kursinya. Ia menaruh map itu diatas ranjang, disamping Alya.
Alya hanya diam saja. Ia memberi ruang pada Sean untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Karena ia tahu, pasti Sean tidak akan meninggalkannya jika dalam situasi seperti ini."Kau butuh sesuatu?" Tanya Willy pada Alya.
Alya menoleh dan menggeleng.
"Emm, tapi aku lapar." Ucap Alya membuat Sean mendongak.Willy tersenyum lembut. "Aku akan memesan makanan untuk kalian berdua." Ucapnya sambil berlalu.
Sean pun kembali fokus pada pekerjaannya.
--------
Alya memang dibawa ke RS terdekat. Karena jika dibawa ke ROB Hospital, mereka akan terkena macet berjam-jam jika di jam sibuk seperti ini.
Maka dari itu, Willy memutuskan membawa mobilnya ke arah RS terdekat yang masih anak dari ROB Hospital namun sudah jatuh ke dalam perusahaan Gordano.
"Sepertinya itu bukan suntikan racun. Memang kami menemukan cairan penenang, sepertinya itu yang membuat Nona Alya sempat tertidur. Tapi melihat bekas jarum yang lumayan besar, itu bukan jarum suntik biasa. Itu jarum suntik yang dipakai untuk mengambil sample darah."
Jelas Sang Dokter yang bertugas menangani Alya."Syndrom panik yang dimiliki Nona Alya dan juga trauma berat yang dimiliki, membuat tubuh terasa lemas bahkan bisa mengalami kelumpuhan sementara. Itu yang membuat Nona Alya tidak bisa menyangga tubuhnya sendiri. Tidak perlu khawatir." Tambah Sang Dokter.
"Syukurlah jika hanya obat penenang yang disuntikan. Tapi, apa suntikan itu aman? Maksudku, apa ada tanda-tanda infeksi?" Tanya Sean.
Dokter itu menggeleng. "Syukurnya tidak. Dilihat dari bekas suntikannya, sepertinya dia bukan sembarang orang. Yang menyuntik terlihat mengerti cara mengambil sample darah manusia."
Sean pun mengangguk dan berterimakasih.Setelah dokter keluar, Sean menatap Willy. "Kita harus membahasnya dengan Arnold."
Willy mengangguk. "Arnold sedang di dalam perjalanan. Sebagian sudah ku ceritakan."
"Thanks." Ucap Sean sambil menatap Alya yang sedang tertidur pulas akibat obat yang diberikan. Ia pun membenarkan posisi selimut gadis itu dan menyelimutinya hingga ke dada.
--------
"Kaaaakkk..."
Panggil Alya cemas saat mendapati ruangan itu tidak ada satu orangpun yang menemaninya.Alya pun bangun dari ranjangnya dan berdiri sambil mendorong tiang infusnya.
Kakinya sedikit gemetar karena menyentuh dinginnya lantai. Namun, ia harus menemukan seseorang agar ia tenang. Alya bahkan tidak bisa mempercayai siapapun saat ini selain Sean.

KAMU SEDANG MEMBACA
STILL
RomansFollow Author dan kasih Voment ya, kalau berkenan. Hehhee - - - Natalya Robberts, gadis imut yang biasa dipanggil Alya ini selalu dimanja seluruh keluarga sejak kecil. Tak memiliki saudara kandung alias semata wayang, mungkin itulah yang membuatnya...