Seucap Karya Keguguran

14 1 0
                                    

"Musuh adalah kasih, kata-kata berharga itu datang dari setiap ucapan maaf yang terlontar."

Andin, penghalang dari segala imajinasi yang menyongsong perasaan-perasaan Bima itu seketika berhenti dalam kebisingannya yang membuat Bima terbisu. Andin menundukkan tubuhnya, merendahkan lehernya, bola matanya mengarah dengkul  dan tangannya tergenggam erat pada partikel besi kaki meja.

Gerakan yang tak sepantasnya itu menjadi pusat perhatian bola mata Bima yang sedang kebingungan mencari kemana alam berperasaan itu pergi. Dengan menunjukkan raut muka tak biasanya, pipi agak dilemaskan, wajahnya muram juga pucat. 

"Dimana kamu yang tadi, kepribadian mu seakan berubah, Andin."

"Tak apa, tidak ada apapun yang harus di perhitungkan."

Serangkai tubuh Bima yang menjadi tempat alam-alam puisi itu bergetar pelan, beberapa molekul kecurigaan mulai terbangun kokoh di dalam pikiran sang petapa puisi itu, Bima. Langkah demi langkah tata cara mulai terbentuk, kata demi kata mulai tersusun dalam hal menyorot cahaya-cahaya Andin yang terlihat pudar, gelap, tak ada energi.

"Ada apa Bim? mengapa kamu terlihat sangat kebingungan" Andin yang menatap mata dan raut wajah petapa puisi itu dengan mata yang sedikit berkaca tanda kesedihan yang disembunyikan, tertutup dengan kegelapan yang tak dapat di terangi sedikitpun dengan kapasitas cahaya sebesar semesta.

"Aku terpaksa jujur, aku khawatir dengan keberadaan mu. Tingkah dirimu dapat menggetarkan tubuhku, tanda darimu ada yang tak wajar." Balas Bima dengan khawatir akan adanya kegelapan yang terlanjur besar dan menyelimuti perasaan emosional yang dikaruniai Yang Kuasa.

Memang benar, kesepian itu, tragedi itu tersimpan jauh dan terjaga oleh selimut kegelapan. Kata-kata syukur terus terbacakan dari hati dan sekujur emosi petapa puisi itu. Kerindangan taman sekolah yang dapat terjangkau dari partikel perantara pengelihatan itu menjaga Bima dari berhentinya ketenangan

Hal yang ceritanya, tragedinya, kejadiannya belum tertulis dalam hembusan nafas Bima membuatnya selalu kebingungan sampai akhir dari ilmu yang didapat dari gedung itu. Mereka segera merapihkan buku-buku ilmu yang tak begitu berharga di bandingkan dengan buku berisikan kata-kata berperasaannya itu. 

Sebelum bergeraknya seperangkat alat berjalan insan itu, Bima menggenggam kedua tangan Andin, menatap nya dalam berharap masuk ke dalam perasaan yang gelap itu, dan memberinya sebuah ketas bergaris yang terlipat tetapi tidak kusut. Molekul harapannya mulai terasa, cahaya yang memberi perlindungan untuk menyorot kegelapan itu mulai terasa.

"Ini hanya sebuah kertas, terimalah, baca ini jika kamu terasa layu, Aku mengkhawatirkanmu."


PADA AKHIRNYA MUSUH BUKANLAH ORANG YANG MENYEBALKAN, MENJENGKELKAN, MELAINKAN KEGUGURAN YANG TERJADI PADA HIDUPNYA MEMBUAT SEGALA CAHAYA, GERTAKAN SEMANGAT PATAH DENGAN SEMUDAH ITU


Slice Of LoveWhere stories live. Discover now