Bulan memancar penuh menerangi mayapada dengan cahayanya yang keemasan. Langit kelihatan begitu cerah, bertaburkan ribuan bintang gemerlap. Malam yang begitu indah, sayang sekali kalau tidak dinikmati. Di antara yang menikmatinya adalah sepasang insan yang tengah bersandar saling merapat di bawah pohon rindang, tidak jauh dari tepian sungai yang mengalir bagai membelah Desa Paranggada.
Entah, sudah berapa lama mereka duduk di sana. Di tengah kebisuan sambil memandangi indahnya bulan yang bersinar penuh malam ini. Mereka duduk begitu rapat, hingga tidak ada jarak yang membatasi sedikit pun.
"Sejak tadi kau diam saja, Kakang. Apa yang kau pikirkan...?" tanya gadis yang berada di dalam pelukan seorang pemuda, memecah kebisuan.
Gadis itu mengangkat kepalanya sedikit, sehingga bisa menatap langsung ke wajah tampan kekasihnya. Sementara yang dipandangi hanya diam saja, menatap lurus ke arah bulan yang menggantung indah di langit. Perlahan kepala pemuda itu menoleh, hingga tatapan mata mereka bertemu begitu dekat. Bahkan hembusan napas mereka sampai terasa hangat menerpa kulit wajah.
"Lestari...," terdengar begitu pelan suara pemuda ini.
"Hm...," gadis yang dipanggil Lestari hanya menggumam saja.
Dia terus memandangi wajah pemuda kekasihnya ini. Sedangkan yang dipandangi malah menengadah ke atas, menatap bulan yang tetap menggantung di langit bening bertaburkan ribuan bintang.
"Aku hanya mendengar. Entah benar, atau tidak...," terdengar terputus suara pemuda itu.
"Apa yang kau dengar, Kakang Balika?" tanya Lestari terus memandangi dengan sinar mata berbinar penuh cinta.
"Katanya, kau akan...," kembali pemuda yang dipanggil Balika tidak meneruskan kata-katanya.
Pemuda itu berpaling. Ditatapnya gadis itu dengan sinar mata sulit diartikan. Sementara Lestari sama sekali tidak mengalihkan pandangannya, sehingga tatapan mata mereka kembali bertemu. Entah, untuk yang ke berapa kali.
"Aku kenapa, Kakang?" tanya Lestari masih belum bisa mengerti.
"Hhh...!" Balika menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Terasa begitu berat tarikan nafasnya. Dengan lembut dan perlahan sekali pelukannya dilepaskan, lalu bangkit berdiri. Kini Balika bersandar pada batang pohon yang cukup besar ini.
Sementara, Lestari masih tetap duduk di bawah pohon itu sambil memandangi tanpa berkedip sedikit pun. Dari raut wajahnya, jelas sekali kalau Lestari tidak mengerti apa yang baru saja dikatakan pemuda itu. Kata-kata yang terputus dan tidak pernah terselesaikan.
Sementara, Balika terus terdiam membisu sambil menatap lurus ke depan. Entah apa yang tengah menjadi perhatiannya. Hanya kegelapan berselimut cahaya bulan saja, yang ada di sepanjang tatapan matanya.
"Kau ingin mengatakan apa, Kakang? Katakan saja. Jangan ragu," desak Lestari sambil bangkit berdiri.
Gadis itu langsung saja melingkarkan tangannya ke pinggang Balika itu, dan merebahkan kepalanya di bahu. Sementara Balika masih tetap diam membisu. Kemudian tangannya dilingkarkan ke pundak ramping gadis ini. Kembali mereka terdiam membisu beberapa saat. Terdengar tarikan napas Balika yang terasa begitu berat.
"Lestari, kau tidak marah kalau aku mengatakannya...?" terdengar ragu-ragu nada suara Balika.
"Katakan saja, Kakang. Mengapa harus marah...?" sambut Lestari seraya memberikan senyum manis sekali.
"Terus terang, beberapa hari ini aku selalu gelisah," kata Balika, mulai terus terang.
"Kenapa?" tanya Lestari ingin tahu.
"Yaaah.... Aku gelisah memikirkanmu, Lestari."
"Aku...?"
"Beberapa hari ini, aku mendengar berita-berita yang tidak enak mengenai dirimu."
"Berita apa, Kakang?"
"Kau tidak merasa, Lestari?" Balika balik bertanya.
"Berita apa...?" desak Lestari lagi.
"Hhh...!" lagi-lagi Balika menghembuskan napas berat.
Sementara, Lestari terus sabar menunggu. Sikapnya terlihat begitu tenang, seakan tidak terjadi sesuatu. Padahal, sikap kekasihnya terlihat begitu gundah, seperti ada sesuatu yang sedang dipendamnya dalam-dalam di hati.***
Malam terus merayap semakin larut. Sementara, dua anak manusia itu masih tetap berdiri berpelukan di bawah pohon. Padahal, keadaan sekitarnya kelihatan begitu sunyi. Tidak terlihat orang lain lagi di pinggiran Desa Paranggada ini. Begitu sunyi, hanya gerit binatang malam saja yang terdengar. Sedangkan angin yang bertiup pun semakin terasa dingin, seperti akan membekukan tulang. Tapi dua orang itu seperti tidak peduli dengan dinginnya udara malam.
"Lestari...," terdengar begitu pelan suara Balika.
"Hmmm...," Lestari hanya menggumam kecil.
"Benar apa yang aku dengar kalau kau akan...," kembali kata-kata Balika terputus. Kelihatan begitu berat Balika mengatakannya. Sedangkan Lestari masih tetap sabar menunggu, tidak ingin lagi mendesak kekasihnya.
"Kau... kau akan dinikahkan, Lestari...?" Terdengar begitu pelan suara Balika. Bahkan suaranya seperti tenggelam dalam tenggorokannya sendiri.
Sementara Lestari yang mendengar kata-kata bernada berat itu jadi melepaskan pelukannya. Kakinya digeser dua langkah ke belakang, dan berbalik menghadap pemuda ini. Dipandanginya wajah tampan pemuda itu dalam-dalam. Tapi sebentar kemudian...
"Ha ha ha...!"
"Eh...?!" Balika jadi tersentak, begitu tiba-tiba saja Lestari tertawa terbahak-bahak, seakan ada yang lucu pada dirinya. Pemuda itu jadi keheranan sendiri, kenapa tiba-tiba saja Lestari jadi tertawa setelah apa yang selama beberapa hari ini selalu terpendam di dalam dadanya diutarakan.
"Kenapa kau tertawa, Lestari...?" suara Balika terdengar agak tersedak.
Lestari terus saja tertawa terpingkal-pingkal, sampai memegangi perutnya sendiri. Dan Balika jadi semakin keheranan tidak mengerti. Namun tidak berapa lama kemudian, tawa gadis itu terhenti. Sementara tangannya terus memegangi perut yang mendadak saja jadi terasa sakit.
"Kau sama saja seperti yang lain, Kakang. Mudah percaya dan terpengaruh pada kabar burung. Jadi, percaya kalau kabar itu benar...?" kata Lestari dengan senyum lebar mengembang di bibirnya.
"Semua orang di desa sudah tahu, Lestari. Bagaimana mungkin aku tidak mempercayainya...? Sedangkan yang kudengar, kau akan dinikahkan oleh anak Juragan Merta," Kata Balika bernada seperti ingin ketegasan.
"Edan...! Siapa yang mengatakan begitu..?" Lestari jadi sewot sendiri.
"Semua orang sudah membicarakan hari pernikahanmu, Lestari. Dan anak Juragan Marta sendiri sudah mengumbar suara, kalau sebentar lagi bakal mempersunting dirimu. Aku dengar sendiri, Lestari. Jelas, ini bukan kabar burung lagi."
"Huh!" dengus Lestari kesal. Wajah Lestari yang tadi begitu cerah, kini jadi kelihatan kusut menahan kesal. Sebenarnya, kabar seperti itu memang sudah didengarnya. Memang tidak aneh lagi, karena dia putri satu-satunya Kepala Desa Paranggada. Sedangkan Juragan Marta adalah orang terkaya dan terpandang di desa itu. Jadi, sudah barang tentu kabar seperti itu akan cepat sekali tersebar luas. Tapi Lestari jadi heran sendiri, kenapa Balika jadi terpancing oleh berita itu...?
Padahal mereka sudah lama sekali menjalin hubungan. Malah, semua orang di Desa Peranggada juga sudah mengetahui hubungan mereka. Walaupun Balika bukan anak orang kaya, tapi kedua orangtuanya juga tidak bisa dikatakan miskin. Dan memang diakui, harta kekayaan yang dimiliki orangtuanya masih kalah kalau dibanding Juragan Marta. Tapi, sebenarnya bukan harta kekayaan yang diinginkan Lestari. Yang jelas, dia begitu mencintai pemuda ini.
Hanya sayangnya, hubungan mereka tidak disetujui kedua orangtua masing-masing. Entah kenapa? Tidak ada seorang pun yang tahu alasannya. Dan hubungan mereka mendapatkan tantangan sangat berat, tapi tidak pernah dihiraukan. Hanya dengan cara sembunyi-sembunyilah mereka masih tetap bisa bertemu dan memadu kasih. Seperti halnya malam ini. Walaupun sudah begitu larut, mereka belum juga beranjak pulang, seperti tiada lagi malam berikutnya.
"Kau mulai ragu akan cintaku, Kakang...?" ujar Lestari jadi bersungguh-sungguh.
"Sedikit pun tidak ada keraguan di hatiku, Lestari," tegas Balika menatap.
"Nah! Kenapa percaya pada kabar kosong seperti itu...?"
"Aku tidak tahu, Lestari. Sepertinya, itu bukan hanya kabar kosong belaka. Aku...."
"Ah, sudahlah.... Jangan pikirkan itu lagi, Kakang. Yang penting sekarang, kita harus hadapi bersama. Kita tidak bisa seperti ini terus-menerus. Apa pun yang akan terjadi, aku tetap berada di sampingmu. Percayalah, cintaku tidak akan terbagi untuk orang lain."
Balika jadi terdiam. Dipandanginya bola mata gadis itu dalam-dalam. Seakan ingin mencari kesungguhan dari kata-kata yang baru saja didengarnya. Dan Lestari sendiri membalas tatapan mata pemuda itu dengan sinar mata penuh cinta. Perlahan Balika melangkah menghampiri, hingga tubuh mereka begitu dekat. Tangan pemuda itu langsung melingkar di pinggang ramping ini. Sementara Lestari membiarkan saja pinggangnya dipeluk erat. Bahkan malah membenamkan tubuhnya ke dalam pelukan pemuda ini.
"Lestari...."
"Kakang...."
Tatapan mata mereka kini terpaut begitu dekat. Dan perlahan namun pasti, kepala Balika bergerak semakin dekat. Malah dengus nafasnya seakan terasa hendak membakar kulit wajah yang putih halus ini. Perlahan-lahan Lestari memejamkan matanya saat merasakan bibirnya tersentuh lembut oleh bibir pemuda itu.
"Ahhh...." Lestari mendesah lirih. Seluruh tubuhnya jadi bergetar saat Balika melumat bibirnya dengan dalam dan lembut sekali. Tubuh mereka menyatu rapat, seakan tidak ingin dilepaskan lagi. Balika terus memagut dan mengulum bibir yang selalu merah menantang. Sementara Lestari hanya bisa mendesah lirih, menikmati kehangatan dari pagutan pemuda yang dicintainya.
"Ah, Kakang...," desah Lestari begitu Balika melepaskan pagutan di bibirnya.
Gadis itu langsung menyembunyikan wajahnya di dalam dada bidang kekasihnya. Entah kenapa, walaupun bukan sekali ini Balika melumat bibirnya, tapi sikap Lestari selalu saja seperti gadis yang baru pertama kali disentuh laki-laki. Wajahnya jadi memerah, dan seluruh tubuhnya bergetar bagai menggigil kedinginan. Padahal, dalam pelukan Balika terasa begitu hangat, membuat dengus napas pemuda itu jadi memburu cepat.
"Ahhh...." Lestari jadi menggelinjang begitu jari-jari tangan Balika mulai merayap menjelajahi tubuhnya. Matanya pun segera dipejamkan. Sesaat kepalanya jadi terdongak saat jari-jemari tangan Balika mulai menyentuh lembut dadanya yang membusung, terbungkus baju merah muda yang halus dan agak tipis.
"Kakang...," desah Lestari lirih.
Entah kenapa, sedikit pun Lestari tidak menolak saat Balika membaringkannya di atas rerumputan yang mulai basah tersiram embun ini. Dan malam pun terus merayap semakin larut. Tidak ada seorang pun yang melihat. Hanya bulan dan bintang saja yang berkerut menyaksikan apa yang terjadi di bawahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
102. Pendekar Rajawali Sakti : Pembunuh Berdarah Dingin
ActionSerial ke 102. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.