BAGIAN 2

391 21 0
                                    

Kerumunan orang di depan rumah Ki Rapala baru bubar, setelah mayat Balika dibawa pergi. Meskipun akhirnya Ki Rantak mau juga membawa mayat anaknya pulang. Itu pun setelah istrinya datang menyusul dan memaksanya untuk segera membawa pulang mayat anak mereka. Tapi, pada raut wajahnya terlihat jelas rasa ketidakpuasan.
Sebentar saja keadaan di rumah kepala desa itu jadi sunyi. Semua orang yang tadi berkerumun, sudah meninggalkan halaman rumah, ini untuk mengikuti Ki Rantak yang membawa mayat anaknya di atas tandu yang digotong empat orang pembantunya. Sementara itu, Ki Rapala langsung menghenyakkan tubuhnya di kursi, begitu Ki Rantak dan orang-orang yang mengikutinya sudah tidak terlihat lagi, menghilang di balik tikungan jalan. Dihembuskannya napas panjang yang terasa begitu berat.
"Huhhh...!"
Saat kepala desa itu memalingkan muka, istrinya terlihat sudah berdiri di ambang pintu. Wanita berusia lebih dari separo baya itu datang menghampiri, Lalu duduk di sebelahnya. Sementara Ki Rapala sendiri segera mengarahkan pandangan ke depan jalan.
"Lestari bagaimana?" tanya Ki Rapala tanpa berpaling sedikitpun, setelah cukup lama berdiam diri.
"Sudah siuman, dan masih berada di kamarnya."
Ki Rapala tidak bicara lagi. Memang putrinya tadi hanya ditotok sementara saja, agar bisa tenang. Karena saat itu, dia harus menghadapi Ki Rantak yang sedang diselimuti amarah. Totokan itu memang ringan dan bisa hilang dengan sendirinya, setelah pingsan beberapa saat. Sehingga, tidak perlu pengerahan hawa murni maupun tenaga dalam untuk membebaskannya. Malah akan menghilang dengan sendirinya.
"Seharusnya kau tidak perlu bersikap seperti tadi. Biarkan saja dia menemui Balika untuk yang terakhir kali...," keluh Nyi Rapala, seakan menyesali sikap suaminya yang melarang Lestari menemui mayat kekasihnya.
"Apa kau tidak lihat tadi...? Kau tahu, Ki Rantak begitu marah. Bahkan bisa saja anak kita dibunuhnya...! Dia telah menuduh kita yang membunuh anaknya," agak mendengus nada suara Ki Rapala.
Nyi Rapala jadi terdiam. Memang tidak bisa disangkal lagi. Dilihatnya sendiri, betapa marahnya Ki Rantak tadi. Bahkan melontarkan tuduhan tanpa bukti nyata. Dan memang, orang yang sedang dilanda kemarahan sangat sulit mengendalikan diri. Di dalam hatinya, Nyi Rapala mengakui tindakan suaminya tadi. Tapi di balik itu semua, kekerasan yang dilakukan suaminya sama sekali tidak disetujuinya. Mestinya, menghadapi Ki Rantak haruslah dengan lemah lembut. Bukannya malah dilawan dengan keras juga. Dan itulah yang membuat rumah mereka jadi ramai.
"Panggil Lestari ke sini!" perintah Ki Rapala.
Tanpa menjawab apa pun juga, Nyi Rapala langsung masuk ke dalam meninggalkan suaminya seorang diri di beranda depan. Tapi tidak berapa lama kemudian, perempuan tua itu sudah kembali lagi dengan raut wajah memancarkan kecemasan.
"Mana anak itu...?" tanya Ki Rapala langsung saja.
"Tidak ada...," sahut Nyi Rapala agak takut.
"Tidak ada..?! Apa maksudmu, Nyi?" bentak Ki Rapala langsung gusar.
"Lestari tidak ada di kamarnya."
"Apa...?!" Ki Rapala jadi tersentak.
Cepat dia melompat bangkit dari kursinya, dan langsung saja berlari ke dalam. Hampir saja istrinya tertabrak. Untung wanita tua itu cepat menarik diri ke belakang. Sementara, Ki Rapala terus berjalan cepat, dengan ayunan kaki lebar-lebar menuju kamar anak gadisnya. Namun mendadak saja, laki-laki tua itu jadi tertegun begitu sampai di depan pintu kamar Lestari. Pintu kamar itu terbuka lebar, dan tidak terkunci sama sekali. Sedangkan di dalamnya tidak ada seorang pun. Demikian juga jendela kamarnya yang terbuka lebar. Ki Rapala bergegas masuk ke dalam. Sebentar pandangannya diedarkan ke sekeliling kamar ini, seakan ada yang sedang dicarinya. Lalu dihampirinya jendela, dan berdiri tegak di sana sambil memandang keluar.
"Huh! Anak kurang ajar...! Bikin susah orang tua!" dengus Ki Rapala gusar. Laki-laki tua itu cepat berbalik memutar tubuhnya.
Tapi belum juga melangkah, istrinya sudah berada di ambang pintu. Hanya sejenak saja laki-laki tua kepala desa itu menatap istrinya, kemudian bergegas melangkah keluar tanpa bicara sedikit pun. Tapi baru saja kakinya berada satu langkah di depan pintu, Nyi Rapala sudah mencekal pergelangan tangannya. Terpaksa Ki Rapala menghentikan langkahnya, dan langsung berpaling menatap tajam perempuan tua itu.
"Mau ke mana...?" tanya Nyi Rapala agak sendu terdengar suaranya.
"Huh!" Ki Rapala hanya mendengus saja. Dan sekali sentak, cekalan tangan istrinya sudah terlepas. Langsung kakinya melangkah meninggalkan perempuan tua itu. Sementara, Nyi Rapala hanya diam mematung dengan mata terlihat redup.
Sebentar saja punggung suaminya sudah tidak terlihat lagi. Dan tak lama kemudian, sudah terdengar hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu cepat. Nyi Rapala tahu, suaminya pergi tidak seorang diri. Itu bisa diduga dari terdengarnya derap kaki kuda. Memang, paling tidak, ada sekitar sepuluh ekor kuda yang dipacu cepat keluar dari halaman depan rumah ini.
"Hhh...!"

102. Pendekar Rajawali Sakti : Pembunuh Berdarah DinginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang