[Perpisahan]

48 9 2
                                    

Sabtu siang ini, aku kembali ke rumah sakit. Kini Kak Aksa sudah tidak boleh pergi kemana mana karena besok adalah jadwal operasinya. Aku penasaran sebenarnya dia sakit apa. Sampai saat ini dia tidak berterus terang padaku. Saat memasuki ruang rawat inapnya, kulihat dia sedang tertidur pulas, tanpa ada yang menemaninya. Kulangkahkan kakiku pelan-pelan agar tidak membangunkannya. Kuamati wajahnya yang tenang saat tertidur. Tanganku bergerak perlahan untuk menyingkirkan surai rambut yang menutupi matanya. Tetapi seketika aku terkejut ketika tanganku dicekal dan dia membuka matanya.

"Tertangkap." Dia berkata seolah-olah sedang menangkap penjahat

"Ih, apa sih...lepas." Aku berusaha melepaskan cekalan tangannya, namun dia makin erat memegang tanganku

"Nggak mau, tanggung jawab! Aku dah terlanjur bangun."

"Hih, iya. Lepas dulu tapi." Akhirnya ia melepaskan tanganku

Aku pun duduk di kursi sebelah tempat tidur. Kami berdua hanya berdiam, saling menatap. Ingin sekali aku melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di otak kecilku ini. Tapi apa daya, mulut ku tidak dapat menyuarakan hal tersebut. Ketika aku akan bersuara, tiba-tiba Kak Aksa menyuruhku untuk mengambil sebuah benda di dalam laci. Aku pun beranjak mengambil benda tersebut. Terdapat sebuah kotak biru beludru, seperti kotak cincin kawin. Kugelengkan kepalaku karena berpikir aneh-aneh. Lalu, kuserahkan kotak itu padanya, tetapi ia kembali memberikannya padaku. Saat kutanya apakah kotak itu untukku, dia pun mengangguk dan menyuruhku untuk membuka kotak tersebut. Aku terkejut saat melihat isi kotak biru itu. Sebuah kalung berwarna putih dengan bandul bertuliskan Aksara.

"Apakah ini untukku?" Aku menatap wajahnya

"Tentu saja, itu spesial untukmu. Agar kamu selalu ingat kenangan kita selama seminggu terakhir ini." Aku berpikir, sepertinya ada yang janggal dari perkataannya

"Kenangan kita selama seminggu? Memangnya Kakak mau kemana?"

"Tidak kemana mana, hanya untuk berjaga jaga saja."

"Kakak tidak berniat meninggalkanku, kan? Kak Aksa tidak mau berjuang saat operasi?" aku mulai tidak dapat berpikir jernih

"Hei..hei! aku hanya berpikir kemungkinan yang akan terjadi. Siapa yang tidak mau berjuang? Hm?"

Aku tidak menjawab pertanyaannya, aku hanya terdiam dan menundukkan kepala. Aku mulai berpikir apakah Kak Aksa akan baik-baik saja, apakah Kak Aksa akan sehat kembali, ataukah Kak Aksa tidak akan selamat. Kak Aksa mengerti ketika aku mulai terdiam. Dia mengambil kalung yang sedari tadi kupegang.

"Ini untukmu, simpan dan jaga baik-baik." Ucapnya ketika memasangkan kalungnya padaku

"Iya."

Setelah itu, kami kembali mengobrol. Aku pun melupakan ucapan Kak Aksa tadi, aku berharap bahwa kenangan kami masih akan tetap berlanjut. Ketika waktu menunjukkan pukul lima sore, aku pun berpamitan untuk pulang. Kebetulan Ibu Kak Aksa juga datang, aku pun sempat mengobrol dengan beliau. Ternyata sifat humoris dan ceria Kak Aksa menurun dari ibunya.

Setelah sampai di rumah, aku pun mengecek handphone ku. Tidak ada notifikasi apapun dari Kak Aksa. Mungkin ia harus istirahat karena besok adalah jadwal operasinya. Hingga pukul sembilan malam pun tidak ada kabar darinya. Aku pun beranjak tidur karena lelah menunggu.

***

Hari Minggu pagi, aku berniat untuk jogging. Aku pun berlari mengelilingi kompleks perumahan dan taman kota. Hingga akhirnya aku berhenti di bangku taman kota karena kelelahan. Sembari menggenggam air putih, pikiranku kembali pada saat aku mulai mengenal Kak Aksa. Mengenal Kak Aksa memang menyenangkan, dan hal itu dapat membuatku sedikit melupakan kesedihanku terhadap kematian Rayyan. Jika dipikir kembali, sudah seminggu lebih aku mengenal Kak Aksa. Entah kenapa waktu seminggu itu membuatku seperti benar-benar mengenal sosok Kak Aksa. Dia yang lucu, ternyata juga punya sisi tegas dan galak. Sosok Kak Aksa yang perhatian, Kak Aksa yang baik, dan sosoknya yang lain.

31 Days [TAMAT]Where stories live. Discover now