1

23 3 4
                                    

Hujan.adalah saat dimana langit menurunkan kasihnya.


 angin pun berkonfrontasi dinginkan sela sela tanah yang hangus terbakar egoisme manusia. bumi seakan tersapu hingga hanya sisakan kontras warna di setiap sudut, tanpa asap atau abu yang hanya menyesakkan respirasi. tapi manusia hanya bisa menggerutu, menyumpahi hujan karena kegiatan yang tertunda tanpa mengerti jika itu hanya seonggok kata tak berguna. mereka menunggu dengan ketukan pada jam yang terus berdengung tegangkan jiwa raga, seakan tak ada lagi waktu yang tersisa. padahal hujan sudah menciptakan nada untuk di sesapi, rintikan yang amat nyaman dinikmati.

Begitulah manusia, makhluk yang tak pernah merasa puas terpenuhi. Selalu ada hal kurang untuk sekedar di nikmati di sela waktu senggang. Tak ada sisa bantahan, hanya helaan nafas yang begitu lelah merengkuh seorang pemuda yang hampir habis masa menahan kantuk di mata . Deretan buku telah habis terlahap mata lima watt yang kini menunggu ajal untuk tertutup lalu menyelami kolam mimpi.


 Meski begitu, jari-jari lentiknya masih setia menari di atas kertas dengan aksen huruf khas orang melayu begitu antik, indah mendayu. Sesekali, kopi di sesapi agar hati terus membara menahan godaan kasur kapuk yang memanggil untuk di tiduri. Senyum menggarisi wajah layu si pemuda, helaan nafas lega seolah menyuarakan kemenangan akan ribuan frasa yang telah dijiplak nyata dari pikiran ke atas lembaran kertas. namun rasa seolah bercanda dengan si pemuda itu, kantuk sirna begitu semua usai.

"ah.. apa yang harus ku lakukan..hmn.." si pemuda terkekeh ringan. Malam sudah mencapai puncak sementara hujan masih setia menemaninya, mungkin hingga ia kembali bertemu sang mentari.


Dia menatap jemarinya yang lihai bermain pena hanya untuk sekedar membunuh kebosanan. Suara detikan jam menggema, sinkron dengan gemuruh ringan hujan. Sungguh nada menyenangkan tuk di dengar, pikir si pemuda. Biji kopi matanya menyusuri buku yang berserakan di bawah, mencari secercah penerangan akan ide yang kini buntu tanpa jalan. Berhenti. Afeksi pemuda itu kini tertumpah pada lembaran kertas yang ter-klip hingga menyerupai buku.


Angin diam diam menyusup diantara celah jendela. Ia membelai halus sela pori pada kulit kering milik si pemuda. Mengirimkan segelenyar perasaan tak menyenangkan seperti kilas balik masa lalu yang tak pernah menjadi sangat mudah tuk dibicarakan.


Si pemuda mendecak sebal yang tak lama kemudian beralih menjadi helaan nafas yang sangat berat. Kaki kokoh yang nyata lelah itu berpindah hingga hampir menyapa klipan kertas yangseperti racun gundah gulana. Tangan yang hampir sepucat mayat itu terjulur meraih kertas yang telah termakan waktu, menguning dan merapuh. Tiupan halus mengusir debu yang lantas menghamblur dalam keremangan malam. Ia kembali. Lehernya di regangkan sementara kelereng hitamnya menatap jendela dengan bulir air hujan yang membiaskan satu satunya pencahayaan dari lampu petromak.


"apa yang bisa dihitung dan diterka dari hujan? Tidak, tidak ada yang tahu. Hanya satu yang pasti, hujan ada hanya untuk jatuh" Si pemuda terkekeh pelan.


 Kata-kata itu mengudara dan bergetar diantara dinding kerongkongannya. Kertas yang ia pungut itu satu diantara ribuan kertas yang menjadi tempat persinggahan frasa miliknya. Namun seperti keberadaannya sendiri yang tak rasional, kalimat – kalimat diatas kertas itu tercipta tanpa ingatan mengapa mereka dapat terabadikan. Berkali – kali pemuda itu menyusuri ingatan lalu hanya kekosongan yang ia dapat diikuti segumpal perasaan asing yang tak menyenangkan. Hingga akhirnya ia menyerah dan menaruh kertas itu di sudut ruang kerjanya bertahun-tahun lalu. Tapi kali ini pemuda itu mendapati kertas yang seharusnya diam di sudut ruangan berada di bawah meja kerja. Seolah meraung untuk kembali di ingat.

Arawn.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang