Chapter 3

115 16 3
                                    

Hari sudah menjelang malam. Sekarang aku telah berada di kamarku. Aku mencari ponselku dan memainkannya setelah makan malam selesai. Kubuka aplikasi media sosial pada ponsel. Di dalam aplikasi itu, aku melihat sebuah foto profil dari temanku, Ray. Tak lama, Aku terpikirkan sesuatu mengenai dirinya.

"Astaga, aku lupa menanyakan alamat rumah Ray," gumamku. Segera kukirimkan pesan kepadanya. Kemudian, kuletakkan ponselku di atas nakas. Sembari menunggu balasan, aku merebahkan diri dan memejamkan mataku.

Ting

Bunyi notifikasi membuat mata yang sebelumnya terpejam kembali menyala. Aku mengambil ponselku dan membuka isi pesan yang dikirimkan oleh Ray. Aku menatap layar ponsel dengan cukup serius. Alisku bergerak ke atas tak percaya.

"Apa aku tidak salah, rumahnya berada di tengah hutan? Ini bukan lelucon kan?" ujarku terkejut setelah mengetahui lokasi rumah Ray. Aku terdiam, seperti tidak bisa berkata-kata lagi, pasti dia bercanda.

Aku tidak yakin jika alamat ini benar. Baiklah, sudah kuputuskan untuk menanyakan kepadanya. Kukirim pesan pada Ray, apakah sudah benar alamat yang dikirimkannya itu. Tanpa menunggu waktu, dia membalas pesanku dengan segera. Setelah membaca pesan tersebut, mulutku terbuka. Seolah tak percaya, ternyata Ray memang tinggal di tempat tersebut.

"Jangan-jangan, dia adalah manusia purba? Atau mungkin dia masih berburu untuk mencari makan?" Gumamku sembari melangkahkan kaki kesana kemari. Entahlah, tidak seharusnya aku memikirkan hal tersebut. Kubuang semua pemikiran aneh itu, sudah pasti Ray adalah manusia.

Lebih baik aku tidur saja, meskipun jam dinding baru menunjukkan pukul sembilan malam. Aku sengaja tidur lebih awal supaya aku bisa bangun pagi dan bersiap-siap untuk besok. Tidak lupa aku mengatur alarm dan mematikan lampu kamarku.

Satu jam, dua jam, tiga jam. Ya, hitungan jam sejak aku memejamkan mataku. Maksudku, aku tidak bisa tidur dan sekarang waktu menunjukkan pukul dua belas malam. Sudah kuposisikan badanku senyaman mungkin, namun tidak ada hasilnya. "Sial, aku tidak bisa tidur."

Ku hempaskan selimut yang menutupi tubuhku. Beranjak dari tempat tidur dan menghidupkan lampu kamarku. Ada sesuatu yang mengganjal dari diriku. "Kenapa mataku terasa sangat perih? Aku tidak bisa tidur karena hal ini. Apakah minusku bertambah?" Gumamku.

Ketika aku sampai di kamar mandi, segera kubasuh wajahku dengan air. Kemudian, aku hendak berkaca di wastafel.

Degh

Jantungku tiba-tiba berdegup sangat kencang. Aku terkejut Ketika mendapati mata kiriku yang berubah warna menjadi merah. Tidak hanya itu, bahkan pupilnya juga berubah. Aku membelak lebar tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat.

Kusentuh bola mataku menggunakan jari. "Tidak mungkin, apa yang terjadi padaku?". Aku takut, lari dengan sekuat tenaga keluar dari kamar mandi dan menghentakkan pintu dengan kencang. Nafasku terengah-engah, aku masih berdiri dibalik pintu tersebut.

Aku mencoba mengatur nafasku, lalu perlahan berjalan mendekati sebuah cermin yang terletak di samping ranjang. Aku mendapati mata yang sebelumnya berwarna merah, sekarang telah berubah seperti sedia kala. Tapi, tetap saja aku masih tidak bisa mempercayainya.

"A-apa yang terjadi padaku?"

***

Aku mengerjapkan mata. Mencoba memahami situasi yang terjadi. Ah benar, hari ini adalah hari dimana aku akan pergi menginap di rumah temanku. Segera saja aku melangkahkan kaki menuju wastafel yang ada di kamar mandi.

Orang itu adalah Kevin. Wajahnya kusut karena baru saja bangun tidur. Tapi kemudian dia membasuhnya menggunakan air. Laki-laki itu kembali teringat akan suatu hal.

The Last Hero (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang