Cermin

95 10 32
                                    

Wowo Masih Perawan

"Gus, yakin mau di sini?" tanyaku sembari menatap ngeri sekeliling yang hanya dipenuhi pepohonan lebat dan nyamuk-nyamuk yang bertebaran dimana-mana.

Agus, teman seperjuanganku sejak masih mengenakan popok sampai sekarang sudah pada tumbuh jenggot. Laki-laki bertubuh gempal itu mulai menurunkan buntalan sarung di pundaknya dan menjatuhkannya di atas dedaunan kering.

"Iyalah. Kata Mbahku, ini tempat yang paling pas."

Kami pun mulai meletakkan berbagai barang yang sudah kami bawa untuk keperluan ritual kali ini. Sudah beberapa kali kami melakukannya dan tak satupun yang berhasil, semoga kali ini berjalan mulus.

"Hei, buat apa bawa bantal guling? Kamu pikir kita mau kemah?"

"Ck, punya otak dipake dong, Bro!"

Aku memasang muka cengo sembari menatap pergerakan Agus yang mulai menata bantal dan guling bermotif kartun gundul yang sering kulihat di TV tontonan Mbah Parni, nenek Agus. Ia berlalu dan kemudian kembali dengan membawa dua dahan pisang di tangan kanan-kirinya.

"Mau ngapain sih, Gus?"

"Nah, siap." Agus mengibaskan telapak tangannya sambil menatap puas ke bawah.

"Nanti kalau kita dapet, langsung jebol di sini Bro," lanjut Agus.

Aku mulai mengangguk setuju dengan wajah sumringah, ya walaupun tempatnya sangat tidak elit. Namun, aku yang sudah bernametage perjaka tua mana tahan kalau sudah melihat mangsa di tempat seperti ini.

"Ayo mulai, aku sudah nggak sabar, nih!"

"#ha*"?=jhgs$/$!5,bs"

Entah apa yang diucapkan Agus, aku tidak tahu. Tugasku hanyalah melakukan apa yang diperintahkan, seperti sekarang ini. Jemariku setia menebar bunga durian yang kami ambil dari kebun Pak Lurah.

Aku tau ini aneh, padahal seharusnya kami memakai bunga kantil atau bunga sesajen lainnya. Tapi apa daya, untuk kami yang low budget, bunga durian juga tak apalah, yang penting niat. Kalau ini jangan ditanya lagi, niat kami sudah sebulat bakso Mbok Gemi, sekuat kebo Mbah Jono, dan tentu sesemrawut masakan Inem.

"Mana nih, Gus? Kok Genderuwonya nggak dateng-dateng?" tanyaku sembari menyebar segenggam bunga durian terakhir yang tersisa.

"Sabar dong, Tio! Transport dari alamnya dia ke alam kita 'kan butuh waktu, apalagi kalau tiba-tiba angkotnya kejebak macet."

"Emang genderuwonya naik angkot?"

"Mungkin, soalnya kata Mbahku minibus di sana lagi pada mogok kerja," balas Agus dengan tampang serius, lalu mulut dowernya kembali berkomat-kamit.

Tiba-tiba

Semriwing ... semriwing ... wuss ....

"Hohoho, ada apa kalian memanggilku?" Genderuwo dengan tubuh yang lumayan besar muncul dengan kepulan asap di sekitarnya.

"Jadi gini, Wo, kita mau minta, hehe ... perawan," kata Agus yang kuangguki dengan semangat 45.

"Sudah kuduga, kalian mau yang seperti apa?" tanya si Genderuwo seraya melipat kedua tangan gempalnya di depan dada.

Aku heran, apakah Genderuwo ini tidak masuk angin dengan tubuh telanjang begitu? Hanya bagian bawah pusar sampai lutut yang tertutup karung compang-camping. Kuduga, pasti ia mencurinya dari salah satu peserta balap karung di perayaan hari merdeka kemarin.

"Baiklah, aku mau yang cantik, bohay, dan yang ... ehm, itulah, Wo." Agus dengan semangat menyebutkan ciri-ciri mangsa yang diinginkan. Kalimat terakhir sengaja di sensor, antisipasi ada bocil yang khilaf membaca tulisan absurd ini.

"Baiklah."

Sudah sekitar sepuluh menit kami bertiga diam tak berkutik. Si Genderuwo dengan santainya memainkan rambut sambil bersiul ria, sementara aku dan Agus sudah gondok menunggu.

"Mana?" tanyaku menatap sekitar yang tak berubah.

"Kalian tidak lihat di depan kalian?" tanya Si Genderuwo sembari mengedipkan sebelah matanya.

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru yang bisa kutangkap. "Nggak ada tuh."

Sekarang aku mulai sadar. Genderuwo ini 'kan makhluk halus, tidak mungkin ia memiliki teman gadis manusia. Jangan-jangan yang dia undang sebangsa Mbak Kunti lagi?

"Ck, kita minta yang nyata, bukan makhluk halus yang nggak bisa dilihat," protesku tak terima.

"Apa kalian bisa melihatku?"

Pertanyaan macam apa ini? Namun, Aku dan Agus tetap mengangguk.

"Ya sudah, tunggu apa lagi? Ayo kita mulai," ucapnya sembari mengibaskan rambut gimbalnya dengan mata manja.

Glup

"Gus ...," gumamku dengan tangan bergetar mencari-cari keberadaan lengan Agus yang harusnya masih ada di sampingku.

Astaga, di mana Agus?

Aku membalikkan tubuh, ternyata Agus sudah lari terbirit-terbirit sampai celananya hampir melorot. Ah, sial, sekarang nasibku bagaimana?

"Mau ke mana sih, ayo dong sama Sis Wowo! Tenang aja, masih perawan ting-ting ini." Lenganku dicekal saat hendak mengambil ancang-ancang untuk kabur.

"Ogah, enyah lo Genderuwo bencong!"

Tamat

Kota Vedas, 03 April 2020

Edisi spesial maljum ini, khikhikhi.

Salam gemay,

Kang Rebahan

Kata Untuk KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang