Prolog

174 8 1
                                    

Entah apa yang pernah Davina lakukan dimasa lalu, yang jelas kehidupannya sekarang tidak bisa lebih dikatakan dari seorang gadis menyedihkan. Hidup sebatang kara diperantauan amat sangat menyulitkan.

Rencana apik yang disusunnya sebelum merantau gagal total setelah sampai ditempat. Ia berpikir bahwa hidup di kota akan memudahkannya mendapat pekerjaan layak, lupa betapa pentingnya tingkat pendidikan berpotensi tinggi memperoleh pekerjaan. Dengan tamatan SMA dan tidak memiliki kemampuan khusus, apa yang akan didapatkan?

Betapa malang nasibnya, ibunda yang meninggal ketika melahirkannya, ayahnya memilih untuk pergi dan menyuruhnya hidup mandiri, kekasih yang 2tahun dipacarinya berselingkuh, dan sekarang ia tidak punya siapa-siapa.

"Hah... " Memilih memejamkan mata dibawah pohon sambil memikirkan apa yang akan dilakukannya sekarang. Lelah mencari pekerjaan yang tak kunjung menerimanya, uang saku hanya tinggal napas terakhir, persediaan yang hampir habis membuatnya pusing dan berakhir mengacak rambutnya sendiri.

Davina membuka kedua matanya ketika mendengar hentakan kaki terhenti yang rupanya seorang perempuan paruh baya yang hanya menatapnya. Wanita paruh baya yang sedikit membungkuk tersebut memberikannya kertas dan tanpa mengucapkan apapun wanita itu berlalu dengan tenang.

Mengangkat bahu acuh dan mulai memperhatikan kertas itu, rupanya lowongan pekerjaan untuk menjadi baby sister. Yang didalamnya tertera alamat dan no hp. Matanya langsung berbinar dan bersyukur, setidaknya dia juga suka anak kecil.

"Not bad" Gumamnya dengan senyum menghiasi wajahnya. Ia tidak pernah mensyukuri apapun karena yang menimpa hidupnya tidak ada yang bisa disyukuri. Tapi hari ini ia sangat bersyukur atas keberuntungannya.

Ia langsung bangkit dengan semangat pulang kekosannya, ia akan mempersiapkan diri untuk besok pergi ke alamat rumah itu.

Senyum yang terlalu lebar membuat orang lain mengira Davina seperti kejatuhan berlian dari angkasa dan menganggapnya gila. Biarkan sudah. Ia tidak peduli.

Dengan menunduk dan sedikit berlenggok karena terlampau senang ia sampai tidak menyadari didepannya ada seorang lelaki.

"Aduh" Pekiknya sambil memegangi jidatnya yang terkena tubuh orang tersebut. Senyumnya langsung hilang tergantikan cemberut tingkat dewa, ia akan menyemprot orang tersebut dengan kata-kata cantik secantik koreng gorilla.

Davina langsung mendongak dan betapa terkejutnya ketika orang itu adalah lelaki yang lumayan tampan. Ya, lumayan. Karena yang benar-benar tampan menurutnya hanyalah Jimin BTS. Tetapi lelaki ini tinggi juga sih, oh dan kekar. Dengan baju tanpa lengan membuat seluruh otot dilengannya terlihat sempurna.

Tetapi Davina malah mendengus. 1 kata untuk lelaki ini "PAMER". Alah childish banget sampai harus pamer otot segala.

Dengan memasang wajah jutek Davina menatapnya "Kok diem? ENggak pengen minta maaf?"

"Kenapa saya yang minta maaf? Seharusnya kamu kan?" Tanyanya santai.

Davina langsung mendelik dan langsung menghela napas berat "Oke, lupakan. Bye" Berdebat hanya akan membuat harinya yang sudah secerah mentari pagi menjadi hitam bau persis taik ayam.

Berniat melangkah cepat tetapi urung karena lelaki tersebut menahan lengannya. Dengan eksperi datar ia menyentakkan lengan Davina s membuat keduanya berada dalam jarak dekat. Bahkan tubuh mereka sudah sedikit bersentuhan.

"Apasih?!" Davina sedikit mendorong dada lelaki itu dengan tangannya yang lain. Davina bisa melihat lelaki itu tersenyum miring.

"Minta maaf"

"Gue? Hellooowww mister, disini yang nabrak itu elo bukan gue. Masih bagus tadi gue bilang lupain, elo malah kurang diuntung. Lagian tadi gak liat apa, nih jidat gue yang jadi korban kekerasan." Kekerasan apanya, sakit juga kagak. Empuk gitu.

Happy TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang