Prolog : Terang Berkabut Makna

44 4 0
                                    

Depok, 2000.

Lembayung mulai memerah saga mengiringi cakrawala merangkai senja. Sinar lampu taman menyala temaram beringingan kabut tipis sesaat menyapa. Tanah-tanah bekas air hujan menguarkan aroma basah yang menenangkan. Azan maghrib sayup-sayup terdengar bersahutan. Hari telah malam. Kegelapan merayap, tampak kresnapaksa mengintip dari balik awan hitam. Derap merapah tak tahu arah, meredam sahut jangkrik di balik alang-alang. Kirana parasnya tidak pupus dimakan nestapa sepanjang bagaskara siang menyala.

Tampak bertengger sekotak istana lusuh di atas sepetak tanah bermandikan rumput liar menjulang sampai sepaha. Alamat peraduan sementara sampai semesta redam akan hawa yang mencekam.

Kakinya melangkah menopang tubuh ringkih. Tapak demi tapak sampai menginjak ubin yang dingin dan lembab habis tempiyas hujan. Tangannya mengetuk pintu, tak ada sahutan. Semua orang sudah tidur. Dia tidak membawa kunci.

Dia beralih ke jalan setapak sempit yang menghubungkan ke pintu belakang. Dia mendorong pintu yang tak terkunci itu, terdengar bunyi khas engsel yang sudah kekurangan pelumasnya. Tampak dapur dengan kuali besar yang masih menyisakan aroma bekas gulai ikan kakap. Piring kotor menumpuk. Langsung saja dengan sigap tangannya membuka sumpelan kendi besar berisi air, mengucurkan isinya ke satu persatu piring kotor setelah digosok dengan serabut kelapa. Piring-piring plastik itu berjumlah delapan buah yang menyisakan tulang-tulang ikan dan kuning kuah gulai. Tak lupa kuali yang mengerak bekas santan.

Alat masak sudah bertengger di tempatnya. Keadaan dapur sempit itu tampak lebih baik setelah di lap dengan kain lembab. Setelah mencuci tangannya dengan sisa sabun cuci piring ia meninggalkan dapur dan mendapati delapan orang yang tampak pulas dengan wajah-wajah kekenyangan. Tiba-tiba saja perutnya berbunyi nyaring, mengingat sejak pagi perutnya hanya terganjal roti hampir keras yang ia beli di warung pertigaan. Berjalan tenang tanpa membuat geming. Melangkahi kaki-kaki yang melintang kesana kemari. Sampai di ruangan kecil beralas tembikar anyaman.

Merebahkan badannya dengan sisa-sisa keletihan yang masih menggeluti jengkal-jengkal punggungnya. Tembikar itu tak cukup panjang untuk mengalaskan tumit dan telapak kakinya, hingga hawa dingin ubin langsung menyengat pori-pori kulitnya. Kedua matanya menatap lamat-lamat plafon yang hampir bocor karena genteng oren tak cukup kuat menahan hujan yang terus mengguyur. Walau pikirannya sudah melalang buana. Banyak rasa syukur, penyesalan dan segalanya tentang masa lalu yang terus hinggap di pelupuk mata. Tentang bagaiman Tuhan bisa membawanya menjadi seperti ini. Tentang bagaimana ia bisa sampai di sini.

Semuanya berlalu begitu cepat. Segalanya terjadi tanpa aba-aba, menghilang dan begitu sulit terlupakan. Ia bahkan masih ingat setiap detik dan jengkal-jengkal kelebat masa lalu itu. Bagaimana ia tak pernah benar-benar ingin semuanya terjadi.

Menghela napasnya berat. Berdoa agar terus lapang dadanya. Ikhlas atas semua hal yang telah dan akan terjadi, karena semuanya adalah takdir yang memang seharusnya ia lewati.

Mengeluh tiada guna, berandai-andai di benci Tuhan.

Tuhan di sisinya tak pernah absen barang sedetik. Menuntunnya, membuatnya menerima semua manis pahit kehidupan. Membuatnya menerima kepingan-kepingan masa lalu yang tak akan pernah bisa direkayasa agar semuanya tidak pernah terjadi saja. Membuatnya menerima bahwa kenyataan hidup seperti apapun, yang harus dilakukan adalah melewatinya. Ia bukan pengecut yang berhenti kala kecewa dengan keadaan. Semua penderitaan selama ini masih belum cukup kuat untuk mematahkan semangat hidupnya demi kembali melihat cahaya terang itu lagi. Pilihan hidupnya hanyalah berdiri pada garda paling depan untuk segera melewati mimpi buruk ini, bukan menyerah pada keadaan.

Ia bangkit. Membersihkan tubuh yang penuh kuman-kuman sepanjang hari. Membentangkan sajadah merah, bersujud. Merapal segala doa untuk ridho Tuhan atas segala hal yang ia lakukan. Percaya Tuhan akan membuatnya menjadi semakin kuat sebelum badai-badai menghadang. Dan menyugesti bahwa akan ada hari esok yang menunggunya untuk menjemput takdir lebih baik. Walau itu harus mematahkan kalimat seseorang 'tidak pernah ada hari esok, Gee. Yang ada hanyalah hari ini, sekarang'.

Masih dengan mukena yang telah kehilangan warna aslinya, sarung yang kebesaran, ia meringkukkan sekujur tubuhnya di atas sajadah. Menutup hari ini dengan hati yang tenang setelah disiram oleh sabda-sabda Tuhan di setiap rakaatnya. Kelopak matanya terjatuh menyuguhi wajah tenang nan damai yang menyembunyikan rahasia-rahasia tentang hidupnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 14, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Terang Berkabut MaknaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang