Tomato

55 7 5
                                    

Awan di atas terlihat bagai mengambang. Warnanya putih, kontras dengan latar langit yang sedang berwarna biru cerah. Terlihat damai di atas sana, yang hanya dihiasi jejak kepulan asap pesawat terbang, tak seperti di bawah sini--ramai sesak.

Jam istirahat di kota penuh pekerja. Manusia-manusianya berjalan lurus menatap tujuan masing-masing, kendaraan-kendaraannya berdesakan menghangatkan aspal yang sudah tampak mendidih. Seandainya awannya berwarna lebih gelap, seandainya awannya berkumpul lebih padat. Karena terik yang menyengat ini, rasanya ingin sekali ditumpahi air hujan. Biar yang lainnya menepi, biar aku yang menari sendiri. Bermain basah-basahan dan lupakan segala beban kerja dan tak usah menyambangi kantor lagi.

Ah, itu hanya bualan.

Seperti biasa di pertengahan hari, aku menghamburkan diri ke hiruk-piruk ini untuk membeli makan di luar selama jam istirahat berlangsung. Untuk hari ini aku hanya akan membeli roti atau mie dalam cup saja di minimarket terdekat. Dari kantor cukup menyeberang jalan untuk sampai ke sana. Hingga sekarang di situlah yang paling dekat untuk dijangkau di hari yang panas ini.

Akhirnya lampu lalu lintas pun berganti warna menjadi merah.

Setelah menunggu beberapa saat, aku dan banyak orang lainnya pun menyeberang di sepanjang zebra-cross. Aku, si pekerja pada umumnya, biasanya hanya berjalan menatap ke depan tanpa memperhatikan sekeliling. Namun hari itu, di perlintasan zebra-cross yang hampir setiap hari kulewati, ada untaian rambut yang familiar membuatku membelotkan mata untuk menengok siapa pemiliknya. Di antara barisan orang-orang yang menyeberang ke arah berlawanan, kujumpai wajah itu.

Mimpi itu.

Aku melihat mimpi yang telah usang. Melambai ke arahku hingga membuatku diam terpaku. Saat langkah kami sejajar, aku seperti terlempar jauh karena gaya magnet yang saling bertolak. Jauh, menembus aliran waktu seakan aku kembali ke masa lalu. Ke masa saat dulu aku mengenalnya, ke masa saat kami berada di ruang kelas yang sama.

.
.
.

"Tomat," jawabku.

"Kalau sesuatu yang sedang kamu sukai saat ini?" tanyanya lagi.

Aku hanya meliriknya dari sudut mata, dia tampak antusias dengan jawabanku. Manik itu seolah bersinar di balik kacamata, lalu perlahan menyipit, tatapannya menghangatkan sekali. Sekali buaian seperti ini ia keluarkan, tenggorokanku terasa seperti dicekik untuk meluapkan isi hatiku yang sesungguhnya keluar. Itu cara yang jahat, dia seperti malaikat yang manipulatif.

Dasar. Kalau keceplosan jawab "kamu" gimana?

"Tomat," jawabku.

"Haah?" terlihat jelas ia tak terima jawabanku itu. "Tadi hal yang dibenci tomat, sekarang yang disuka juga tomat. Mana bisa?!"

"Nggak ada salahnya, 'kan?" belaku membuatnya tambah geram. Aku merasa jika ia melepas kacamata dengan frame hitam itu, matanya bisa menyemburkan sinar laser seperti Superman.

"Oh, jadi kamu bisa suka dan benci ke hal yang sama, gitu? Labil banget!" Provokasi, aku tak akan termakan hal murahan gitu.

"Bukan, itu artinya aku bisa melihat hal secara lebih luas."

"Alasan. Saat kamu suka sesuatu, nggak mungkin dengan mudah bilang membencinya juga. Kayak seberapa luas pandanganku pun, nggak bisa benci Doraemon yang aku sukai, itu kayak munafik jatuhnya, 'kan?"

"Bukan gitu juga. Aku cuma menilai sisi positif dan negatifnya. Bahkan Doraemon juga punya sisi negatif, contohnya kayak bikin Nobita jadi manja karena kehadiran alat-alat canggihnya."

"Kamu nggak pandai nilai orang, ya?" Ia tersenyum jahil.

"Tapi tadi pertanyaannya bukan orang, 'kan?"

TomatoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang