Prolog

16 1 1
                                    

Shakila menatap kosong pada kaki telanjangnya yang menyentuh dinginnya lantai putih.
"Abid?" Panggilnya pelan. Namun panggilannya yang nyaris seperti sebuah gumaman berhasil menghentikan langkah lelaki itu.
Tanpa menoleh dia menunggu kata-kata Shakila selanjutnya.

"Kenapa kamu ngelakuin ini?"

Abid menghembuskan napas kasar. "Karena aku yakin." Jawabnya singkat dan jelas.

"Kamu salah besar memilihku," ucapannya melemah. Hidupnya seperti lelah dikelilingi masalah. "Batalkan pernikahan ini." Ucapnya menggeram mengangkat kepala memerhatikan punggung lelaki itu nanar. Kesedihan telah membuatnya lemah sekarang.

Apa yang harus dia lakukan sekarang? Apakah memukul lelaki itu? Yang benar saja, bahkan untuk berdiri saja dia tak ingin. Terlalu lelah.

Abid tetap pada posisinya tapi dia sangat tau jika gadis itu sedang menahan amarahnya, lagi. "Aku sudah memantapkan hatiku untuk memilihmu." Kata-katanya jelas tak ada penolakan.

Shakila tertawa hambar. "Batu. Bagaimana kamu seyakin itu?"

"Istiharahku mengatakannya."

"Istiharahmu pasti salah." Shakila menggelengkan kepalanya tak percaya.

"Sayangnya, setiap istiharahku selalu menyebut namamu."
Abid berucap sedemian menjafi penutup obrolan dingin tak bercelah hangat malam itu.

Shakila mengepalkan tangannya menyerah. Hidupnya memang ditakdirkan untuk dikuasai bukan menguasai sesuai keinginannya, dulu.

TAKDIR (Tiada Allah Kita..)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang