Selama ini, Septian Wibisono adalah manusia paling tenang di muka bumi yang pernah dikenal oleh Andini Aurelia.
Tapi, Septian di hadapannya saat ini benar-benar berbeda. Cowok itu seolah menjelma menjadi orang lain. Tatapannya sangat dingin menusuk dengan rahang yang mengeras. Dada dan bahunya naik-turun karena sedang menahan emosi. Kantung plastik yang dia pegang sudah diremas dengan kuat karena kedua tangannya yang mengepal saat ini.
"Yan," panggil Andini, berusaha mengembalikan kesadaran Septian. "Yan."
Mendengar suara Andini yang pelan, lembut dan disertai sedikit rasa takut membuat kesadaran Septian pulih. Cowok itu mengerjap dan menoleh. Lengan kirinya sudah dipeluk erat oleh Andini. Sahabatnya itu mendongak, menatapnya dengan tatapan takut dan manik yang sedikit berkaca. Cewek itu menggeleng dan menaruh keningnya di lengan Septian yang sedang dipeluknya.
"Septian," lirih Andini lagi. Kali ini, cewek itu agak terisak.
Septian langsung menjatuhkan kantung belanjaan yang sedang dipegangnya kemudian memeluk erat tubuh gemetar Andini di hadapan Senja. Tubuh gemetar yang masih terasa panas di dalam dekapannya. Cewek keras kepala ini pasti memaksakan diri untuk menunggunya di luar karena sudah tidak sabar untuk memakan semua pesanannya.
"Sst. Sori, udah bikin lo takut."
Andini mengangguk dan meremas ujung kemeja belakang Septian. Dia memejamkan mata, menikmati alunan detak jantung Septian. Tidak peduli kalau saat ini, Senja masih ada di hadapan mereka.
"Din," panggilan pelan itu membuat kepala Andini menoleh sedikit, tapi dia menolak untuk melepaskan diri dari dekapan hangat Septian. "Bisa kita bicara sebentar?"
"Nggak ada yang perlu dibicarain, Sen," jawab Andini dengan nada serak. "Semuanya udah selesai di masa lalu. Gue udah maafin lo, harusnya lo puas dengan hal itu."
"Tapi—"
"Gue harap," potong Septian dengan nada tajam. "Lo bisa menerima keputusan sahabat gue dan bisa mengerti bahasa Indonesia. Soalnya, sekali lagi lo memaksa, gue akan mengajarkan bahasa Indonesia yang baik dan benar buat lo, tapi menggunakan kepalan tangan gue."
Senja Aksara mengeraskan rahang. Keberadaan Septian di samping Andini sangat mengganggu menurut Senja. Apa cowok itu tidak tahu penyebab hubungannya dengan Andini renggang adalah karena kehadirannya yang sangat menyusahkan itu?
"Fine, untuk saat ini, gue akan mengalah. Gue akan pergi. Tapi, gue nggak akan menyerah. Gue akan datang lagi dan saat itu tiba, mau nggak mau, suka nggak suka, lo harus berhadapan dengan gue, Din. Kita harus bicara."
Selesai berkata demikian, Senja memutar tubuh dan pergi meninggalkan Andini juga Septian. Keduanya berdiri dalam diam, tetap berpelukan, sampai sosok Senja menghilang dari pandangan. Lalu, tiba-tiba saja tubuh Andini yang berada dalam dekapan Septian meluruh. Sigap, cowok itu langsung menahan tubuh Andini.
"Loh? Hei. Lo nggak apa-apa kan, Din?" tanya Septian dengan nada cemas. Cowok itu membantu Andini untuk menegakkan tubuhnya lagi dan memeriksa keadaan sahabatnya itu. Ditekannya telapak tangannya ke kening Andini dan Septian berdecak. "Demam lo naik lagi, Din. Kenapa sih lo harus bandel dan nungguin di luar?"
Andini tersenyum tipis. "Lo tau kalau gue nungguin lo di depan?"
"Iya, lah. Mana mungkin lo dengan sukarela ikutin Senja sampai ke depan atau Senja yang nyeret lo ke depan. Bisa abis dia sama orang rumah lo." Septian kemudian menyusupkan tangan kanannya ke bawah lutut Andini dan tangan kirinya di punggung cewek itu. Tanpa kesulitan, Septian berhasil mengangkat tubuh Andini dan membungkuk sedikit untuk mengambil kantung belanjaannya. "Ayo, kita masuk. Gue akan temani lo makan."
Andini mengangguk dan mengalungkan kedua tangannya dengan erat pada leher Septian. Cewek itu lantas menyembunyikan wajahnya di lekukan leher Septian yang beraroma vanila. Saking sukanya Septian pada vanila, semua hal yang dibeli cowok itu pasti akan bersangkutan dengan vanila.
"Yan," panggil Andini dengan nada lelah.
"Hm?" Septian mengangguk sopan dan hormat kepada kedua orang tua Andini yang sedang duduk santai di ruang keluarga. Keduanya tersenyum dan mempersilahkan Septian masuk. Sejak dulu, Septian bebas keluar-masuk rumah Andini, pun sebaliknya. Kedekatan keduanya membuat orang tua masing-masing menganggap Andini dan Septian seperti anak mereka sendiri. "Kenapa?"
"Temanin gue malam ini, ya?"
Alis Septian terangkat satu. "Kalau gue kebablasan dan hamilin lo, gimana?"
"Nggak apa-apa," jawab Andini sambil memejamkan kedua mata. "If it's you, then it's ok."
Septian mengerjap dan tertawa. Cowok itu menggeleng, kemudian mendengus. Diciumnya pelipis Andini dan dibenarkannya posisi tubuh Andini pada gendongannya.
"Lo ngelantur karena lo lagi sakit. Ke depannya, jangan pernah ngomong kayak gitu lagi ke cowok lain, paham?"
Andini mengangguk. "Gue cuma ngomong hal serampangan ke lo doang kok, Yan." Cewek itu diam sejenak dan menatap Septian yang baru saja mendudukkannya di atas ranjang dan sekarang sedang berlutut di hadapannya. "Tapi, gue serius. Kalau lo, apa pun itu, gue akan mengizinkan."
Septian menarik napas panjang dan tersenyum lembut. Cowok itu mengusap rambut lembut Andini. "Then, may i kiss you?"
Sebenarnya, itu hanya candaan Septian saja. Dia ingin mengikuti alur permainan Andini yang sedang menjelma menjadi orang lain karena keadaannya yang sedang sakit. Tanpa disangka oleh Septian, Andini justru mengangguk. Cewek itu tidak memberikan kesempatan untuk Septian menghindar karena saat ini, Andini langsung menarik dasi Septian agar tubuh mereka berdekatan kemudian menciumnya tepat di bibir.
Septian mematung. Cowok itu melongo bak orang idiot begitu Andini mejauhkan bibir mereka. Dipegangnya bibirnya yang baru saja merasakan manisnya bibir sang sahabat. Bibir yang panas, tetapi sangat memabukkan.
"Maaf, ya, kalau nanti lo ketularan demamnya gue."
Septian tersadar dan mengerang pelan. Cowok itu mengacak rambut dan menunduk. Dia menarik napas panjang dan kembali menatap Andini.
"Din, bukan kayak gitu cara menularkan demam yang benar." Septian mengusap bibir Andini dan menangkup wajahnya. "Begini cara yang benar, Din."
Perlahan namun pasti, Septian kembali mencium bibir Andini. Cowok itu mencecap bibir manis Andini, menjilatinya, menciuminya dengan penuh perasaan dan sedikit memainkan bibir yang terasa panas itu. Ketika ciuman itu usai, Septian mengerjap saat melihat wajah Andini yang terlihat merah padam. Cowok itu langsung terbahak dan memeluk sahabatnya.
"Istirahat, oke? Kalau besok lo lupa soal ini, gue nggak akan membahasnya. Tapi, kalau lo masih mengingatnya dengan jelas, maka gue nggak akan biarin lo lolos dari gue."
YOU ARE READING
Girls In Love
RomanceKisah romansa lima sahabat dan lika-liku kehidupannya. Story 1-Andini Story 2-Selvi Story 3-Inggit Story 4-Monica Story 5-Oldina