Hujan, lagi.
Entah bisa disebut apa situasi yang dialami oleh cewek berambut pendek sebahu dan berponi itu. Sejak kecil, dia menyukai hujan. Sangat. Tapi, sudut pandang itu berubah seketika saat dia memasuki dunia perkuliahan. Dia menjadi sedikit sensitif jika hujan turun. Sedih, tidak bersemangat, sendu dan muram. Dia bisa mengurung diri selama mungkin di dalam kamar, jika hujan turun di saat weekend.
Namun hari ini sedikit berbeda. Hujan sudah turun sejak kemarin pagi dan tidak pernah berhenti. Jika berhenti pun, itu hanya sebentar. Beberapa menit saja, kemudian hujan kembali turun membasahi bumi dengan begitu derasnya. Karena itu, kemarin cewek berambut sebahu itu tidak pergi ke kantor. Hari ini hari Sabtu, dan bukannya mengurung diri di dalam kamar seperti yang biasa dia lakukan jika hujan turun di saat weekend, dia justru berada di depan rumahnya. Bermain dengan hujan. Bermain dengan... air."
"For God's sake!" seruan itu berasal dari atas, tepatnya dari lantai dua rumah di samping rumahnya sehingga dia terpaksa mendongak, kemudian menoleh sedikit. Mata bulat besarnya yang bermanik cokelat keemasan bertemu dengan mata bersorot tajam dan lembut yang berada di atas sana. "Andini, itu tuh banjir. Hujan deras juga. Lo ngapain berdiri di situ? Nanti lo sakit!"
Andini Aurelia, cewek berusia dua puluh lima tahun itu tersenyum tipis dan melambaikan tangan. Meskipun saat ini sahabatnya sedang mengomelinya habis-habisan bahkan sampai melotot mengerikan ke arahnya, tapi Andini tidak begitu ambil pusing. Banyak orang lain di kompleks perumahan ini yang berada di jalan, berdiri atau mencari bala bantuan ke kompleks sebelah yang memang datarannya agak tinggi dibandingkan dengan kompleks ini. Karena rumahnya sendiri pun sudah kebanjiran—air cokelat itu membanjiri kompleks dan masuk ke dalam rumah warga sampai sebatas lutut—meskipun rumahnya juga berlantai dua seperti sahabatnya, tapi Andini memutuskan untuk berjalan-jalan di luar saja.
"Menikmati air?" balas Andini dengan nada gelinya.
"Kalau lo mau nikmatin air, nanti gue bawa ke kolam renang yang bagus. Sekarang, masuk ke dalam rumah dan naik ke lantai dua!"
Andini terkekeh ketika mendengar teriakan galak dari Septian Wibisono. Sahabatnya sejak bayi itu selalu over protective terhadapnya, membuatnya gemas sekaligus cukup jengkel. Banyak cewek yang ingin diperhatikan dan dipedulikan oleh Septian, seperti cara cowok itu memperlakukan Andini. Setiap Andini mendengar hal itu, dia akan mendengus dan berkata, "Silahkan aja lo cobain rasanya dicerewetin sama Septian. Nggak sampai satu jam, lo juga pasti bakalan gondok dan bosan setengah mati diceramahin melulu sama dia."
"Tapi gue lagi kepengin main air di sini, Yan." Andini memainkan air banjir dengan kedua tangannya. "Jarang-jarang loh, gue boleh main banjir kayak begini."
Septian mengerang dan mengacak rambutnya. Cowok itu menunjuk Andini lurus-lurus. "Wait there!" perintahnya.
Belum sempat Andini mengangguk, cowok itu sudah melompat dari balkon lantai dua rumahnya ke arah banjir yang berada tepat di depan pagar rumah. Andini mengerjap dan langsung menghampiri Septian yang naik ke permukaan sambil menggelengkan kepala untuk mengenyahkan air yang membasahi kepalanya tersebut. Dia membasuh wajahnya dengan kedua tangan dan mengangkat satu alis tatkala Andini mendekatinya dengan raut wajah... emosi.
Lalu, cewek itu memukul keras lengan Septian hingga cowok itu mengaduh. Dia mengusap lengannya dan mengerutkan kening. "What was that?"
"What was that?!" ulang Andini dengan nada tidak percaya. "What's wrong with you?! You could've died!"
"Itu air, kalau lo nggak lupa."
YOU ARE READING
Girls In Love
RomantizmKisah romansa lima sahabat dan lika-liku kehidupannya. Story 1-Andini Story 2-Selvi Story 3-Inggit Story 4-Monica Story 5-Oldina