EKA

3 0 0
                                    

Yang banyak orang kira tentu saja aku selalu baik-baik saja. Dan tentu aku bersyukur karenanya. Bukankah hidup tidak selalu tentang bagaimana cara meraih kebahagiaan. Bagiku, hidup akan selalu tentang kesakitan yang nantinya akan aku jahit untuk kujadikan lembar pakaian terbaik untuk menghiasi jiwaku.

Sore itu, telah dimulai untuk pertama kalinya. Sakit akan mulai menjalar dan perlahan menggerogoti keyakinanku. Ibu dan abah memutuskan untuk saling berhenti berjuang satu sama lain. Entah apa yang terjadi. Baik abah ataupun ibu lebih memilih bungkam dalam kebisuan saat aku menangis.

Di senja itu, dalam keindahan alam yang menyejukkan, untuk pertama kalinya kenangan tak seindah mentari itu tercetak jelas dalam gurat wajah ayu ibuku. Sayangnya, senyum indah ibu hanyalah sebagai salam perpisahan bagiku. Ibu telah memilih membawa si kecil Ranu, untuk dibawanya. Dan meninggalkan seorang gadis kecil bersurai kecoklatan untuk menemani sosok tak lagi gagah yang dulu teramat dicintanya.

Ibu mungkin tidak lagi mencintaiku, begitukah, Tuhan?

Untuk itu, Ibu, tunggu Sasthi. Sasthi hanya ingin mengurai setiap benang kusut dalam pikiranku sejak dulu.

#

"Kamu sudah cukup usia untuk sekedar membina rumah tangga, nduk". Kata abah saat kusajikan teh tawar hangat berteman ubi goreng di sore hari berpelangi ini. Meletakkan nampan dipangkuanku, kususul Abah duduk pada kursi rotan tua warisan masa kecilku. "Monggo, tehnya bah". Sahutku tanpa mengindahkan sedikitpun perkataan abah terkait perihal pernikahan. Entah mengapa, aku hanya tiada langkah untuk sesegera menuju jalan tersebut. Setiap senja, perihal seindah apapun pemandangannya, nyatanya itu tak pernah memberiku rasa takjub untuk memujanya. Tidak lagi setelah aku kian beranjak dewasa.

"Abah sudah sepuh, sudah tak akan mampu untuk menjadi tamengmu lagi". Ucap abah setelah kami cukup lama terdiam dalam pikiran masing-masing. Beliau mengalihkan pandangannya dari rerumputan yang tertiup angin, dan mengurai sebuah lukisan terindah kepadaku. Senyum abah yang sejak puluhan berlalu bahkan tak lagi aku saksikan. Abah mengelus surai coklatku yang sengaja aku urai dengan begitu lembut.

"Dulu sekali, yang membuat abah jatuh cinta dengan ibumu adalah surai panjangnya yang selalu tertiup angin, nduk. Ibumu begitu ayu, senyumnya selalu teduh hingga membuat abah tak bisa beralih kepada gadis lain. Maafkan abah yang tak bisa menjaga ibumu untuk tetap berada disisi kita". Dan selalu, abah akan menangis jika kami saling mengenang tentang kehadiran ibu.

"Abah tidak perlu khawatir. Bukankah abah selalu mengingatkan jika perihal jodoh, maut ataupun rezeki semua telah berada dalam kuasa-Nya. Jika telah tiba masanya, maka Sasthi akan bertemu dengan sosok itu, bah". Ucapku setelah bermenit abah mulai terdiam dan larut dalam kebimbangannya. Tak lupa kusunggingkan sebuah senyum setelahnya.

"Abah akan menunggu masa itu nduk. Abah sendiri yang akan menyerahkan tanggung jawab ini kepadanya". Dan kami akan menghabiskan sepiring ubi goreng ini dengan berbagai bincang sore tentang hal-hal yang terlewati seharian hingga adzan magrib akan bergema.

Aku rindu. Kukira begitulah pancaran mata Abah tiap kali senja mulai tiba. Begitupun Sasthi, Bah. Puluhan tahun berlalu, pun sudah puluhan kali lipat kerinduan yang tersimpan dalam hatiku. Ibu, Ranu, tidakkah kalian merindui kami?.

Dan, mas Danu, dalam bahagiamu, pernahkah selintas namaku hadir dalam pikiranmu?.

Tak mengapa, segala sakit dan rinduku ini kelak akan jadi Prasasti termegah dalam hidupku.

PRASASTHIWhere stories live. Discover now