[3/3] An End.

596 78 20
                                    




" ... Mau tahu sesuatu?"

"Apa lagi?"

"Sepertinya aku akan mati malam ini."

" ... "

"Kamu yakin tidak mau menghabisi rohku? Lumayan, kan, untuk camilan sore."

" ... Sudah kubilang, aku tidak tertarik dengan roh lemah."

Suara tawa.

"Kalau begitu, mau menemaniku menghabiskan sisa hidup, Liu Yaowen?"


Yaowen sungguh tidak tahu mengapa ia menyanggupi permintaan Yaxuan. Jangan-jangan Yaxuan sebenarnya bukan Nereid, melainkan roh Siren jahat dalam kamuflase yang sedang mengincar roh Yaowen, dan mungkin sekarang Yaowen berada di bawah kendalinya.

Ya, tidak ada penjelasan lain untuk betapa mudahnya ia mengiyakan permintaan si dewa laut yang sekarat.

Atau mungkin Yaowen hanya iblis pemakan roh yang terlampau bosan karena tidak ada kegiatan. Hitung-hitung ia diajak tur berkeliling Alamanda sebelum kehidupan di pantai itu mati bersama roh Yaxuan.

Yang pasti alasannya menemani Yaxuan bukanlah sensasi membakar di dadanya ketika ia menangkap cahaya di mata roh tua itu, pun ringan langkah kaki sang dewa laut menjelajah butiran pasir di sepanjang pantai, seperti seorang peri yang melompat dari pucuk bunga ke bunga yang lain.

"Oh lihat, ubur-ubur!" Seruan Yaxuan membuyarkan kontemplasinya. Ia menceburkan kaki telanjangnya ke dalam air, mendekati para ubur-ubur, membuat kaki jenjangnya terlihat berkilauan diterpa sinar matahari.

Yaowen menoleh kearah bagian pantai berair biru jernih, mendapati sekelompok ubur-ubur berenang dengan tenangnya. Ini pertama kalinya ia menyaksikan hewan-hewan laut itu dalam radius yang begitu dekat. Biasanya mereka akan bersembunyi hanya dengan mengindra kedatangan si iblis.

Ia mengutarakan protesnya ke sang dewa laut, yang dibalas dengan tawa dan sebuah, "tentu saja, Yaowen. Kamu iblis dan aku dewa laut. Sesederhana itu."

Matahari beranjak pergi meninggalkan singgasananya. Senja mulai muncul dengan kilau keemasan.

Selanjutnya Yaxuan mengajak Yaowen ke tepi pantai. Mereka duduk bersebelahan diatas butiran pasir putih, sambil berlomba-lomba melempar batuan ke air, mencoba menyaingi satu sama lain siapa yang bisa melempar lebih jauh.

Yaowen menggunakan kekuatannya, membuat ia menang telak.

"Curang sekali, kamu tahu aku sekarat!" Protes Yaxuan.

"Aku iblis. Bermain curang itu sudah ada dalam tabiatku."

Padang bunga Alamanda di atas tebing mungkin sudah tidak layak lagi disebut padang bunga, melihat hamparan tanaman itu tidak lagi memancarkan indah warna kuningnya. Semua seragam, kelabu. Yaxuan tidak bisa menyembunyikan senyum sedihnya ketika ia memetik sebuah bunga Alamanda layu.

Our Times『Yaowen & Yaxuan』Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang