BAB 1. 2018

116 12 2
                                    

Kata ibu hidup ini berat, penuh denga luka-liku ujian dan masalah, tipuan, kesedihan, kesadisan, penindasan dan segala bentuk kesengsaraan. Ah.. aku setuju dengannya, bukan karena aku percaya begitu saja tapi aku mengalami hampir semua jenis ‘kepedihan’ ini lagipula wanita paruh baya yang mengoceh ini bukan ibu kandungku.

Hari ini adalah kali keduanya dia mengunjungiku setelah dua tahun silam menitipkanku di Pesantren ini, panggil saja dia Bu Ratna.. dia adalah orang tua angkatku sejak usiaku 5 tahun, katanya ibu kandungku meninggal saat melahirkanku dan ayah kandungku memutuskan menikah lagi setelah Bu Ratna ingin mengadopsiku. Walau tak lama, sekitar usia lima sampai delapan tahun aku sempat merasa memiliki keluarga seperti orang lain, saling mencintai dan dicintai. Hingga sampai suatu ketika Pak Rahman (suami Bu Ratna) marah besar tengah memergokiku berusaha mencekik bayi merah anak kandung Bu Ratna dengan tangan mungilku. Entah apa yang aku pikirkan waktu itu, aku merasa makhluk kecil itu telah merenggut kebahagiaanku. Setelah bayi itu lahir, semua perhatian Bu Ratna dan Pak Rahman beralih padanya tidak lagi menghiraukanku. Semenjak kemarahan Pak Rahman, aku tahu siapa diriku sebenarnya tak apa Pak Rahman marah aku memang anak tak tahu diri, makan pagi dan malam cukup untukku bersyukur. Setelah perdebatan panjang akhirnya mereka sepakat untuk mengirimku ke pesantren yang memberikan keringangan pembayaran kepada anak yatim. Disinilah aku sekarang..

Kamar nomor tiga asrama putri, ruangan 10,2 m2 ini merupakan tempat favoritku terutama cermin buram pada lemari di sudut ruangan yang selalu menjadi teman curhatku kala santri lain mudik saat libur menjelang lebaran seperti sekarang ini. Kamar ini diisi oleh lima orang santriwati dan kini tersisa aku dan Ratih yang baru saja datang pagi tadi.

“astagfirulloh..,” seseorang mengejutkanku dibalik tembok bilik area wudhu ikhwan dan akhwat. Seperti biasanya itu Sandy.
Dia adalah salah seorang santri di pondok pesantren ini juga merupakan anak ulama pemilik pondok, namanya sering kali terdengar diantara obrolan para akhwat. Si ganteng, si soleh, si pinter.. julukan yang biasa dilontarkan para akhwat.

“jadi mau aku imami tahajudnya, cantik?” tegurnya. Tak sempat aku berusaha mengusirnya.

“Asti ayo.. nanti kita terlambat!!”, Ratih menarikku yang entah kapan dia sampai di sebelahku.

“Sandy mendekatimu lagi??”, tambahnya.
Aku tertegun sejenak menatap mata sahabatku satu-satunya ini, “Astii..”, tekannya.

“Ratnaku sayang yang cantiknya seantero pondok, dia tidak mendekatiku hanya menggangguku secara berlebihan” Sanggahku dengan senyum tipis.

“aku serius Tiii, kalo santri lain tahu kamu bisa habis apalagi sampai Ust Herman tahu kamu bisa dikeluarkan dari pondok” Perkataan Ratna membuat pikiranku melayang, ya ada benarnya juga. Kalau saja tadi Ratna tak bergegas menarikku dan pertemuanku dengan Sampai diketahui Ust Herman (kepala pondok) mungkin aku akan mendapat hukuman.

Tinggal di pondok tentunya tak sebesas di rumah sendiri, itu yang diceritakan Ratna padaku. Katanya di rumah orang tuanya sampai bisa seharian full hanya menonton tv. Ah, walaupun begitu tak ada lagi tempat yang bisa kujadikan tempat pulang selain pondok ini. Walaupun dengan kegiatan yang padat dan fasilitas yang sederhana, aku tak berani melanggar banyaknya aturan di pondok ini. Menurutku peraturan di pondok ini memanglah untuk kebaikan dan kemaslahatan masyarakat pondok seperti membatasinya pergaulan ikhwan dan akhwat yang tidak boleh bertemu kurang dari satu meter, itupun diperbolehkan bertemu hanya jika ada keperluan mendesak dan atas izin kepala pondok apalagi pacaran atau semacam hubungan asrama lainnya, sangatlah dilarang keras di pondok ini.

Seperti biasa seusai sholat tahajud bersama dilanjutkan dengan mengaji kitab, hari ini jadwalnya Kitab Sulam Taufiq yang ditulis oleh Abdullah Ba’alawi didalamnya menjelaskan akidah dan hukum serta pembersihan jiwa.

Ajari aku menjadi manusia (Versi Manusia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang