Pagi ini kutemukan bayang diriku di semburat jingga fajar. Kasih, kau tahu diam-diam fajar juga cemburu terhadap senja. Disembunyikannya cemburu itu rapat-rapat dalam cahaya hangatnya, disembunyikan pula air matanya dalam embun-embun di ilalang takdirnya.
-
"Mengapa fajar cemburu kepada senja?"
tanyamu setelah seharian penuh memandang lorong itu."Bagaimana fajar tak cemburu pada senja, dielu-elukannya senja oleh setiap manusia di bumi. Padahal ia secara konkrit membawa kegelapan dan kesunyian yang membunuh manusia, iya, sang malam. Manusia mana yang tahan dalam kegelapan dan kesunyian malam? Dibunuhnya akal manusia, hingga manusia mengganti akalnya dengan alkohol. Dibunuhnya juga hati manusia, hingga manusia mengganti hatinya dengan tidur dan air mata. Sementara itu kasih, fajar di lain sisi membawa cahaya sang siang, dimana manusia hidup karena itu, dimana manusia bekerja karena itu, dimana manusia dalam keadaan sadar," jawabku menjelaskan.
"Kalau menurutmu bagaimana Kasih?" tanyaku kepadamu.
Belum sempat menjawab pertanyaan dariku, kau malah lari ke lorong gelap itu. Di sana samar-samar terdengar kamu menyanyikan kidung Mantrawedha. Penasaran, aku pun beranjak menghampiri kamu di lorong gelap itu. Kamu pun menarik dan mengajakku untuk menari bersama, di lorong gelap itu.
"Kau tadi bertanya kan, bagaimana pendapatku? Menurutku kau gegabah, itulah keburukan seorang manusia, terlalu cepat menyimpulkan masalah. Bagaimana kalau ternyata senja yang cemburu kepada fajar dan bagaimana pula jika ternyata senja tak senang jika dielu-elukan oleh manusia? Menurutku kau juga salah, bagaimana kalau fajar melakukannya karena rasa dharma? Rasa wajib memberi cahaya itu tanpa bertanya untuk apa dan mengapa," katamu sambil terus menari.
"Sial, aku lupa hakikat kebaikan!"
Selesai menari, kita masih berpelukan, dalam pelukan itu siang dan malam beradu nasib, membentur segala ruang dan waktu. Kita berpelukan dan terus berjalan menuju hulu lorong itu, hulu yang hanya diterangi temaram lampu neon yang sedikit gelisah. Di tengah perjalanan tiba-tiba kau memecah keheningan dengan pertanyaanmu.
"Menurutmu, apa maksud Tuhan membuat senja dan fajar terpisah?"
"Apakah sebegitu sombongkah manusia sehingga harus mencampuri urusan Tuhan?" jawabku setelah sempat melonggarkan pelukanmu.
"Bukankah itu yang selama ini manusia perbuat? Mencampuri urusan Tuhan, yang bahkan mereka pun tak kenal siapa Tuhan itu," jawabmu cepat seraya menanamkan matamu dalam-dalam ke bahuku.
"Manusiakan Tuhan untuk dirinya sendiri, mengapa harus punya Tuhan lagi?" tanyaku kepadamu, namun tak ada jawaban dari wajah yang terbenam di bahuku kini. Entah apa yang sedang kau lakukan dan pikirkan, tapi perlahan bahuku mulai basah dan perlahan terdengar tangisan dari mulut yang sejak tadi enggan menjawab pertanyaanku.
"Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun. Sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna padhang terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang nglimputi ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun," bisik mu lirih di depan telingaku.
"Tuhan itu mutlak kasih, Maha Absolut. Selain-Nya semuanya relatif, termasuk kita dan cinta kita, termasuk fajar dan senja, termasuk juga pandangan dan tafsiran kita kepadaNya," lanjutmu kali ini dengan nada tegas.
"Tuhan itu berdasarkan prasangka hambanya, bukan?" jawabku tak kalah tegas darimu.
Akhirnya setelah sekian lama kita sampai juga di hulu lorong ini, tanpa fajar, tanpa senja, hanya ada cahaya lampu neon saja di sini. Sambil masih terus berpelukan kita menemukan hulu lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia yang Tak Kunjung Menemukan Ujung
RandomJika manusia diberi ujung, masih adakah yang ingin memujaNya?