Lelaki itu kini ada di dasar lubang, ruang dimana waktu menghilang tak berbekas. Jangankan waktu, sunyi dan sepi pun pergi tak kuat menahan gelap dan kelamnya lubang itu.
-
"Sial, serbuk kopi itu mengganjal mataku."
Malam ini lelaki itu tak bisa memanen bunga mimpinya, tak kunjung terlelap. Dengan setelan piyama berwarna biru muda ia lentangkan badannya pada dipan dingin itu, terus mencoba lelap. Raganya sudah berhenti menahan lelah, matanya pun mencoba padam, tapi, pikiran lelaki itu enggan berhenti berkeliaran ke sana ke mari, terutama pada peristiwa yang dilihatnya tadi siang, lelaki itu terus memikirkan tentang Tuhan yang tak ia temui di dalam tempat ibadah.
"Memang dimana Tuhan itu bersemayam, tak kutemukan Ia siang tadi di rumahNya, malahan tadi siang rumahNya dipenuhi oleh orang-orang yang menyebut namanya sendiri, aneh," bisiknya kepada dirinya sendiri.
Brruuugh
Tiba-tiba dipan yang sedang ia pakai untuk mencoba terlelap itu berlubang, alhasil lelaki yang enggan mau terlelap itu terjun bebas ke lubang dipan itu, tanpa aba-aba, tanpa siap, maupun tanpa parasut.
"Sial, mengapa ada lubang di bawah dipanku?" hardiknya sambil menahan sakit di pantatnya.
Sambil mencoba berdiri, ia terus melihat ke sekitarnya, gelap tak ada apa-apa di sana.
"Hallo! ada orang di sini?" teriaknya linglung pada gelap.
Saat ia mencoba berteriak kembali, ia melihat samar-samar cahaya temaram lilin dari kejauhan, lalu ia pun berlari menghampirinya. Tak dihiraukan gelap yang terus mengganggu matanya, ia terus berlari menuju cahaya itu. Saat sudah dekat ia melihat lilin itu di sebuah meja berbentuk lingkaran dengan kedua kursi yang berhadapan, dan semakin dekat ia melihat ada dua gelas anggur yang terisi penuh di sana.
Sesampainya di cahaya itu, ia pun kebingungan, untuk apa ada meja dan dua gelas anggur di dalam kegelapan ini? Punya siapa? Hendak apa?
"Mari duduk," tiba-tiba suara hangat tak berwujud bergema di saentero gelap itu.
Lelaki itu kaget bukan main, dipasangkan lagi jantungnya yang hampir lepas. Seolah-olah tersihir lelaki itu pun duduk manis di salah satu kursi itu.
"Siapa kamu?!" Tanya lelaki itu tegas sambil mencoba menahan takutnya.
"Aku ini adalah yang selama ini kau cari dan tanyakan," jawab suara itu menggema.
"Siapa? Kekasihku?"
"Aku adalah yang bersemayam di hati dan pikiranmu."
"Aku tak mengerti maksudmu, cepatlah keluar! Perlihatkan wujudmu!"
Hening tak ada jawaban dari sosok gelap yang tak berwujud tersebut.
"Aku adalah yang terusir dari rumahku."
"Hah? Siapa? Terlalu banyak orang yang terusir di semesta ini."
"Tan keno kinoyo ngopo."
"Oh, oke, aku tahu siapa kamu. Ampun hamba untuk Sang Maha Pengampun."
Lelaki itu menundukkan kepalanya dengan tangan mengepal di dada.
"Sebenar-benarnya orang benar?"
"Seyakin-yakinnya orang yakin."
"Se-mengenal apakah Kamu padaKu?"
"Seluruh napasku, seluruh detakku, aku habiskan untuk memanggilMu, mulutku sudah mati rasa menghafal semua namaMu."
"Jika begitu, apa yang telah Kamu korbankan untuk Aku?"
"Seluruh waktu, seluruh ruang, sungguh aku persembahkan untuk ibadah ke padaMu."
"Seyakin-yakinnya orang yakin?"
"Sebenar-benarnya orang benar."
"Sesungguhnya itu semua bukan untukKu, semua yang Kamu perbuat adalah untuk dirimu sendiri."
"MaksudMu?"
"Semua yang Kamu lakukan; ibadahmu, kerjamu, sosialmu, sungguh hasilnya akan Kamu petik sendiri. Akan Kamu rasakan sendiri. Baik kemarin, hari ini, esok, atau nanti. Aku tak akan menerima barang secuil efek dari perbuatanmu."
Anggur yang sedari tadi diam di hadapanku, kini terbang melayang memasuki mulutku, menyusup ke dalam lambungku, menikmati. Sudah sedikit terbang, sudah sedikit paham.
"Sekarang giliranku. Nestapakah wahai Engkau yang tak terucap lagi di rumahMu sendiri?"
"Tak ada masalah yang semestinya Aku dapat. Karena Aku sesuai dengan prasangka Kalian kepadaKu."
"Bagaimana bisa? itu semestinya rumahMu, di mana namaMu dipuja. Sementara Mereka asyik menyebut nama Mereka sendiri dengan begitu arif."
"Dalam namaKu sendiri Aku bersaksi: namaKu yang keseratus adalah nama Kalian sendiri."
"Oh... Maha Kumaha Sia Tuhanku!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia yang Tak Kunjung Menemukan Ujung
RandomJika manusia diberi ujung, masih adakah yang ingin memujaNya?