Narasi Rindu

1.5K 425 63
                                    

Baris miring pada cerita, menunjukan kilas balik suatu peristiwa atau flasback.

.
.
.
.
.
.
.

This Bengbeng oneshot

.
.
.
.
.
.
.
.

Pagi ini aku berdiri gamang di depan sebuah pagar kokoh, yang sedikit berpendar terpantul sinar matahari dengan jemawanya.

Gambaran besi berkarat dan papan nama berdebu dulu sekarang sudah berubah.

Pagar sekolah.

Mengunjungi tempat ini untuk entah kapan terakhir kalinya kakiku masih dapat menapak di tempat ini.

Bentuknya masih sama, hanya saja terlihat lebih kokoh dan ada warna cat yang menghiasi jejeran besinya yang dulu sering sekali kudorong agar dapat kabur keluar bersama dengan yang lain.

Dulu juga selepas pulang sekolah aku sering bersandar disini, menunggu bulanku yang berjanji akan bertemu dengan ku, biasanya aku menunggunya sembari menggilas rerumput halus di bawah telapak sepatuku, mengabaikan bentuknya yang mulai merengut berantakan.

Tapi aku tak peduli, tetap menunggu di bawah teritisan sampai bulanku datang dengan cengiranya yang menular, diiringi suara deringan bel sepedahnya yang berbunyi nyaring memanggilku.

"Waktunya kita pulang!"

Selalu begitu.

Aku tersenyum sedikit indolen, pagar ini menjadi mediator pertemuan kami di setiap pagi memulai pembelajaran. Beberapa akan saling sapa dan bertukar senyum sembari berjalan bersama menuju kelas.

Dulu aku akan selalu berjalan beriringan bersama bulan, dengan dia yang senang sekali menarik-narik tasku yang entah apa manfaatnya.

Dan juga menjadi tempat akhir kami berjalan keluar untuk meninggalkan tempat ini.

Ada banyak frekuensi tersirat pada dekade saat itu.

Lanjut melangkah untuk berkeliling memasuki kawasan, aku berusaha menghilangkan rasa kontradiksi dari rasa ingin kembali. Langkah demi langkah terlewat hingga iris ku menyalang membuat langkah ku tertunda.

Tepat di tempat ku berhenti, aku dapat melihat lapangan luas yang dikelilingi gedung-gedung bertingkat.

Terhenyak, dulu tidak begini.

Dulu disini estetika rumput teki yang serasi dengan luas lapangan menjadi pemandangan yang inheren di pengelihatan. Ada banyak anak-anak yang sering berlarian saling mengejar dan tertawa, entah saat pelajaran belum dimulai, saat jam istirahat atau saat kita berpisah dan mengucap sampai bertemu esok hari. Dulu ada dua gawang di masing-masing penghujung sebelah Timur dan Barat, menjadi patokan dari tiap ujung lapangan tempat para pemain bola untuk berebut mencetak sebuah gol.

Tapi, setelah pergeseran yang kontemporer, semuanya berubah.

Lapangan rumput yang hijau diganti dengan kerasnya semen lapangan basket. Menimbun rerumputan pendek yang biasanya dijadikan alas tidur menggelitik banyak murid.

Jadi, sudah berbeda.

Dulu, setiap sibulanku bermain bola disini, aku akan setia menonton dari pinggir lapangan, di bawah cabang dedaunan pohon jambu, duduk berlesehan sembari berbagi pangsit dengan saudara-saudariku, mengamati bulanku yang sedang bermain di lapangan.

Setiap timnya mencetak skor, bulanku akan menoleh padaku sambil melambai kegirangan dengan teman-temannya yang berlarian kesana-kemari. Berselebrasi melepas kemeja sekolah bak pemain andalan yang sering ayahku tonton di televisi, dan kemudian disambut teriakan ricuh para siswa yang menonton.

Memory At School Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang