Cirebon, 2020
Siang hari ke-90, anak tujuh tahun berpakaian dekil itu heboh pulang ke rumah dan memanggil-manggil Mamah dan Bapaknya. Lagi, untuk ke sekian kalinya, Mamah dan Bapak melihat Gibran yang belepotan lumpur campur remahan tanaman padi yang tampak seperti butiran-butiran kertas daun menempel di celana dan bajunya.
"Kali ini apalagi? Coba menangkap belut dan keong atau mengejar layangan sampai menginjak sawah orang?"
Gibran tak menjawab pertanyaan emaknya dan hanya bercerita kalau dia bertemu pesawat UFO itu lagi. Bentuknya tak besar seperti di film-film. Malah lebih kecil dari bola sepak. Dia dikejar pesawat UFO itu dan mau ditembak pake senjatanya.
Bapak hanya tertawa jenaka, "Karena ukurannya tak lebih besar dari bola sepak, maka senjata paling mematikannya yang paling berbahaya hanyalah menembakkan jarum yang tumpul ke kepalamu, Nak."
Mamah memberi kode ke Bapak dengan gelengan kepala dan Bapak tau kalau itu artinya jangan menakut-nakuti anaknya.
"Mamah sama Bapak enggak percaya sama aku ya?" Gibran terlihat kecewa kemudian melangkah gontai masuk ke kamarnya.
Gibran menatap ke luar jendela yang langsung bisa ia lihat gunung Ciremai seperti lukisan raksasa dari kejauhan. Sungguh dia tak mengerti kenapa di kampungnya banyak pematang sawah, pohon-pohon besar, kolam-kolam ikan dan sungai mengalir jernih tak jauh dari jalanan beraspal yang berjarak kurang dari 1 kilo dari rumahnya itu, seperti tak ada kehidupan. Pagi hingga sore hanya dia sendiri yang keluar rumah dan bermain bebas di sawah-sawah berpetak itu dan lari-lari di jalan setapak sambil menerbangkan layang-layang.
Apa semua orang di desa mandala ini sudah diculik alien? Bagaimana caranya melawan UFO yang terus mengejar-ngejarnya itu? Pernah dia lempari batu dan ketapel, tapi UFO kecil itu seperti dikendalikan Alien lincah yang jadi pilot di dalam pesawat UFO kecil itu.
Setiap hari dia memikirkan itu dan Mamah sama Bapak selalu meresponsnya dengan senyum dan tawa, seolah itu reaksi tak percaya yang berusaha mereka tutupi. Hingga suatu hari, dalam pikiran Gibran tercetus sebuah ide gila yang bisa bikin gila orangtuanya juga. Besok ia akan bermain seperti biasa di sawah itu, kemudian bersembunyi di sawung tengah sawah dan tak pulang. Dia pernah belajar puasa setengah hari. Jadi jika dia makan sebelum sore hari lalu pergi ke sawah dan tak pulang, Mamah dan Bapaknya akan mencarinya dan saat itulah mereka akan melihat pesawat UFO berlalu-lalang di sawah yang ia yakini sebagai area pendaratan pesawat -pesawat UFO mini itu.
Besoknya Gibran benar-benar melakukan hal itu. Dia makan sangat banyak sepulang sekolah, berganti pakaian kemudian bilang mau main di sawah. Mamah dan Bapaknya hanya bilang hati-hati. Bapak masuk kamar kerjanya yang tak pernah sekalipun dimasuki Gibran karena pekerjaannya membutuhkan kesenyapan dan fokus yang tinggi.
Ia menyusurui jalan di tengah sawah, terpeleset hingga menginjak lumpur dan sendal jepitnya copot bukanlah sebuah masalah. Ia cukup bisa memperbaiki ikatan sendal jepit dengan karet ataupun paku. Belalang dan nyamuk bukan musuh yang perlu ditakuti, rasa gatal dan perih kakinya saat terkena tanaman berduri halus ataau padi kering yang sudah dipotong pun hanya ujian kecil tak berarti baginya. Membuktikan kebenaran tentang pesawat UFO kecil itu lah yang akan menjadi kemenangannya. Dia akan bersorak puas jika Mamah dan Bapaknya datang ke sawah untuk mencarinya kemudian melihat pesawat UFO.
Gibran pun memasuki saung di tengah sawah dan bersembunyi. Sesekali ia mengamati dan menengadah dengan siaga, kalau-kalau pesawat UFO muncul di saat-saat tak terduka. ia pernah menyamar jadi orang-orangan sawah tapi alien dalam pesawat UFO itu terlalu cerdas hingga ia diserang dan wajahnya hampir ditabrak pesawa UFO mini itu. Namun, ketika cahaya matahari mulai menghilang seperti warna kontras pada layar tv yang semakin ditingkatkan brightnessnya, anak kecil itu mulai ketakutan. ia memeluk tubuhnya yang dingin sementara tak ada suara-suara adzan atau puji-pujian dari mesjid yang terdengar. Ia merasa menyesal melakukan rencana gila ini. Dia ingin pulang, tapi berlari di tengah kegelapan ke rumah lebih beresiko dan menakutkan dibanding diam, bersembunyi menunggu ditemukan.
Bisa saja dia berteriak, tapi pesawat UFO itu bisa mendengar suaranya dan tiba-tiba datang menyerangnya lagi. Kalau saja senjata yang ditembakkan UFO itu seperti laser dalam film-film atau bahkan jarum tumpul yang ditembakkan kepalanya mungkin dia bisa saja mengelak atau kalaupun terkena mungkin tak menyebabkan dia mati atau menghilang. yang dikhawatirkan adalah jika UFO itu menembakkan virus padanya. Itu lebih menakutkan dari semua hal yang menakutkan yang pernah ia dengar. Akhirnya satu-satunya cara untuk menghilangkan ketakutannya hanyalah dengan memejamkan mata dan berharap bisa tidur.
Tak sampai sejam, pesawat UFO itu muncul. dari kejauhan, dari balik sebuah rumah. Suaranya tak menggelegar sama sekali atau menimbulkan kebisingan sedikit pun. Pesawatnya memiliki baling-baling dan berdesis seperti kepakan sayap belalang. Ia bercahaya dan melesat di atas pematang sawah.
Celaka, insting Gibran menangkap ada bahaya, wlaupun indera penglihatan, pendengaran dan penciumannya tak berfungsi tapi indera lain mengaktifkan semuanya hingga berfungsi lagi. ia tiba-tiba melotot seolah merasakan firasat kuat akan datangnya bahaya. Dia celingukan ke sekitar dan ia menengadah ke atas, ia melihatnya. Penerangan bulan purnama mungkin tak begitu membantunya melihat pesawat UFO mini itu, namun cahaya dari pesawat itu sendiri yang berkerlap-kerlip membuatnya bisa tahu bahwa dia telah datang. Gibran gemetar ketakutan sampai kencing di celana. Mau berteriak pun mendadak susah, namun pesawat UFO mini itu mulai turun dan mendekat ke arah Gibran seolah mau mengajaknya berkomunikasi.
***
Gibran terbangun di sebuah ruangan dan terkejut melihat sekelilingnya. Dia tahu kalau saat itu dia berada dalam pesawat UFO. Dia pasti ditembak sinar pengecil tubuh lalu diserap masuk ke dalam pesawat ini. teknologinya pasti sangat canggih karena ia merasa tenang dan tak terombang-ambing meski sedang berada dalam pesawat. Ia terkejut ketika mendengar sebuah suara seperti tepukan, lampu di ruangan itu menyala. Ia melihat ada sebuah meja dan di atasnya ada sebuah benda persegi dengan tombol-tombol menghadap ke atas dan layar menghadap ke dapannya. Di dinding ruangan ia melihat ada sebuah figura canggih, seperti tv plasma yang lebih kecil dari ukurannya dan yang membuatnya kaget adalah benda itu menampilkan foto-foto Gibran di tengah sawah dan bahkan video dia sedang berlari membawa layangan. Gibran terkejut karena ternyata pesawat itu bisa menangkap kejadian dan mereka semua gerak-geriknya. Gibran melihat sebuah pintu, ia heran karena pintu itu sama seperti pintu bagian depan ruang kerja Bapaknya yang belum pernah ia masuki.
Gibran menyadari sesuatu. Jadi... selama ini... Bapaknya adalah... Alien yang sedang menyamar. Tak lama kemudian ia mendengar suara di balik pintu. Mamah dan Bapaknya memanggil namanya. DEG! Gibran mundur dengan takut-takut. Gagang pintu bergerak tanda orang dari luar akan membukanya dan masuk ke sini. Perlahan pintu terbuka dan Gibran melihat orangtuanya di balik pintu itu datang sambil tersenyum penuh arti.

KAMU SEDANG MEMBACA
NEGERI DI AWAN : Cerita-cerita yang Tak Pernah Selesai
General FictionKau akan menyesal telah membacanya, tapi sekaligus membuatmu candu untuk menyelesaikannya sampai habis.