Awalnya Nolak

53 4 0
                                    

Lima bulan terasa cepat berlalu. Hari-hari yang awalnya terasa berat kini sudah terbiasa aku jalani dengan ikhlas hati.

Membayangkan awalnya dulu bagaimana semua ini bisa terjadi membuatku seketika merasa sesak dan sakit kepala. Kekeras kepalaan pria bernama Galang Dwi Nugroho, membuatku harus menerima semua kenyataan yang mengejutkan ini.

"Ambilin minum dong Wi."

Ah. Itu dia. Suara pria yang kini akan selalu menghiasi hari-hariku. Suaranya yang mendominasi rumah kecil kami. Yang tak pernah ada manis-manisnya meskipun dia berbicara dengan istrinya sendiri.

Ayolah Tiwi. Siapa kamu? Memangnya dia menganggapmu penting selain hanya sebagai teman hidupnya?

Aku hanya seseorang yang dia pilih dari sekian banyak pilihan. Ah. Bukan dipilih. Tapi dipaksa untuk mau nikah sama dia.

"Ambil sendiri" sahutku dengan malas untuk beranjak dari sofa.

"Kalau disuruh suaminya tuh nurut kenapa sih, bilang inggih mas, gitu kek" nyinyirnya.

"Punya kaki kan? Ambil sendiri sana!" suruhku tetap pada pendirianku.

Beginilah kami. Selalu pada keegoisan masing-masing. Tidak ada yang mau mengalah.

"Tiwi. Aku suami kamu loh"

Kalau dia sudah bilang begitu, akhirnya aku juga yang mengalah. Coba dia bukan suamiku, mana mau aku diperintah begini. Dan untungnya aku masih disadarkan akan kewajibanku sebagai seorang istri. Yang meskipun berat tapi tetap harus aku jalani demi baktiku untuk dia.

Aku berjalan ke dapur mengambilkan air minum untuk Galang sambil mengambil kue brownis dikulkas. Lalu kembali aku menghampiri Galang diruang tengah.

"Nih minumnya" ucapku sambil menyodorkan gelas ke dia.

"Yang sopan ngasihnya" protesnya.

Aku hanya bisa menghela napas. Menghadapi Galang ternyata lebih sulit dari pada menghadapi Aulia, keponakanku yang baru berusia 3 tahun.

"Mas Galangku sayang, ini minumnya. Sekalian adek bawain kue, mas mau?" kataku semanis mungkin.

"Gak cocok kamu bilang seperti itu" cibirnya.

"Ya ampun, tadi salah sekarang juga salah. Mau kamu apa sih?"

Benar-benar bikin darah tinggi punya suami satu tapi ribetnya minta ampun.

"Hehe. Aku bercanda sayang. Jangan ngambek ya, nanti cantiknya hilang loh" goda Galang sambil mencubit pipiku.

"Masa bodoh" sahutku karena terlanjur bete tapi tetap memberikan minuman ke Galang lalu duduk disampingnya.

"Ayolah Wi, jangan marah. Aku nggak ada niat bikin kamu bete. Maaf ya?"

Aku masih diam. Tidak merespon apapun yang dia ucapkan. Rasa kesal yang mendongkol membuatku enggan menanggapinya.

"Nanti kita makan malam diluar deh, kita kencan. Mau kan?" bujuknya.

Halah. Aku sudah kebal dengan bujuk rayunya. Bilangnya aja ngajak makan diluar tapi coba nanti lihat pasti dia tidak akan menepati janjinya itu. Alasannya capeklah, maleslah, hujanlah atau kalau tidak alasannya mending uangnya ditabung aja buat keperluan anak kita besok. Basi. Mulut buaya emang bisanya menipu doang.

"Tiwi"

"Maafin mas ya?"

Aku masih tetap bungkam.

"Jangan beginilah! Aku benar-benar minta maaf" ucap Galang sepertinya dia beneran menyesal. Atau pura-pura menyesal.

"Kamu kan tau, dari dulu kita pacaran aku paling nggak suka waktu kamu diemin aku, jadi please, jangan marah ya sayang" Galang mengucapkannya sambil menggenggam tanganku. Menatapku dengan pandangan sayu. "Aku cinta sama kamu" ucapnya lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dipaksa NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang