.
.
______________
Tidak permah terbayang dalam benak jika hari-hari esoknya apakah akan terasa jauh lebih berat atau tidak. Memikirkan bagaimana untuk diri sendiri saja rasanya sulit. Esok akan terjadi seperti apa lagi? Ada kejutan apa lagi yang siap terungkap? Akan ringan atau seberat apakah hari esok? Bisakah aku menjalaninya dengan langkah seringan kapas, atau malah seberat batu basah yang tenggelam? Sulit dan melelahkan.
Harusnya tadi aku berangkat lebih pagian atau setidaknya lebih lama supaya tidak bertemu pria dengan senyuman mekar dan mata berbinar di depan pagar rumah. Menyapa riang dengan lambaian tangan terangkat atas dan mengucap 'selamat pagi' dengan tampang idiot seolah kita adalah orang yang sama seperti dulu. Sempat kuberpikir, sesekali terlambat sepertinya tidak masalah.
"Acha, hari ini aku jadi siswa baru di sekolahmu, loh. Lihat? Seragam kita sama, putih abu. Kereeen, kan? Ah senengnya bisa satu sekolah lagi denganmu." Ia berujar masih dengan wajah riangnya. Aku akui ini sungguh menjengkelkan. Aku tidak suka berinteraksi dengan siapa pun sepagi begini. Mungkin lebih tepatnya, aku tidak siap bicara lagi dengannya. Alasannya ... entahlah.
Aku berjalan mendahuluinya menuju halte bus di jalan gang depan sana, tidak jauh dari rumah. Pria itu mengekor dari belakang, mulai mengoceh tidak karuan. Aku lebih memilih mengabaikan, malas menanggapi. Mendengarnya saja sudah cukup menguras kesabaran, apalagi di sahuti, makin kesenengan ngoceh dianya. Sepertinya dia masih si bocah yang sama, tidak ada perubahan sama sekali kecuali tampangnya yang sepertinya akan membawa sedikit masalah ... yah, wajah tampannya itu akan membawa masalah.
Dia mensejajarkan langkah denganku. "Apa di sekolahmu itu menyenangkan, Acha? Apa kamu punya banyak teman? Melihatmu begini sepertinya kamu tidak punya teman sama sekali, deh." Ia menjentikkan jemarinya, seolah baru ingat sesuatu. "Ah benar, mana ada yang mau berteman dengan gadis sejudes dirimu selain aku, kan? Tenang, Cha, mulai hari ini kita akan punya teman banyak."
Jeda sejenak ....
"Acha, kamu ingat tidak? Dulu saat setiap berangkat dan pulang sekolah begini kita selalu bareng, kan? Sebelum pulang kita mampir dulu ke taman buat main ayunan atau jungkat jangkit dan pulangnya diomeli mama. Kadang juga sengaja di siram air keran saat nyiram kebun karena muka kucel banget. Haha."
Sepanjang jalan ia terus mengoceh. Mengingatkan kenangan masa kecil kami yang indah dan penuh lelucon garing. Menjengkelkan, aku tidak berminat untuk mengingatnya, meski begitu, tidak bisa dicegah, kenangan itu kembali memutar layaknya kaset rusak.
Sesampainya di halte, aku mengambil tempat duduk paling ujung sementara menunggu bus datang lima menit lagi. Pria itu ikut duduk di sampingku. Kadang aku berpikir, apa ia tidak lelah bicara denganku yang selalu mengabaikannya. Sedari dulu.
Beberapa siswa dari sekolah lain yang juga ikut menanti bus menoleh ke arah kami, lalu mulai berbisik-bisik. Mereka membicarakanku atau pria cerewet ini, sih? Apa-apaan?
"Acha, aku ditempatkan di kelas XII. Ipa A, kamu di kelas berapa biar bisa main ke kelasmu?"
Aku tertegun sejenak. Ia di kelas XII. Ipa A, katanya. "Stop, Dit! Aku bukan Acha, namaku Lathifa!"
"Iya, Lathifa Tania Tsaniarsha." Ia sengaja menekan kalimat pada bagian belakang namaku, dengan tampang menjengkelkan khas miliknya.
Aku mendengus, coba meredam emosi yang mulai naik ke permukaan. "Di sekolah nanti, aku harap kamu tidak berbicara sedikit pun denganku. Berpura-puralah kita tidak saling kenal!" Aku menekan tiap-tiap kataku. Menekankan padanya untuk melakukan apa yang aku katakana.
Ia tertegun, air mukanya berubah entah—perpaduan heran dan? pandangannya mendadak kosong, bibirnya terkatup rapat. Mungkin kaget dengan apa yang baru saja aku katakan atau mungkin juga tidak, ekspresi itu tidak meyakinkan.
YOU ARE READING
Lathifa(Ketika Kita Bertemu di Waktu yang Salah)
Teen FictionMenjalani hari-hari dengan beban seberat gada di atas pundak adalah sesuatu yang buruk. Terseok-seok dengan langkah yang semula ringkih. Sungguh tidak kuduga jika hidupku akan semakin terjungkal balik, dari yang tidak baik menjadi buruk. Bahkan, har...