BAGIAN 6

364 23 0
                                    

Gunung Kelud tampak berdiri gagah. Puncaknya yang runcing terlihat dari kejauhan seperti menantang langit. Punggung gunung itu sendiri tampak berwarna biru kehitaman, terhalang kabut bagai sebuah selendang putih halus yang menyelimuti sebagian lerengnya. Sinar matahari yang tadi sempat membelai, perlahan memudar bersama-sang waktu. Saat ini burung-burung mulai kembali ke sarang. Dan senja perlahan mulai merangkak, mendekati malam.
Sesosok tubuh tampak terus berlari tersaruk-saruk mendekati kaki gunung itu. Beberapa kali kakinya tersandung hingga jatuh tersungkur. Namun dengan cepat dia bangkit kembali. Jauh di depannya yang terlihat sunyi, tampak sebuah nyala api. Orang itu semakin bernafsu dan mempercepat larinya.
Nyala api itu sendiri berasal dari sebuah obor kecil yang terpancang di dinding kaki gunung. Disitu terlihat seseorang berdiri tegak sambil mengawasi keadaan sekitarnya. Di dekatnya terlihat sebuah goa yang cukup dimasuki seorang dewasa dalam keadaan tegak berdiri.
Wesss!
"Ohhh...!
Sosok yang tengah berlari itu tersentak kaget dan menghentikan larinya, ketika mendadak sebuah tombak melesat ke arahnya. Masih untung dia mampu menjatuhkan diri ke samping. Kalau tidak, niscaya ujung tongkat yang tajam dan runcing itu akan menembus batok kepalanya.
"Siapa yang berani memasuki kawasan ini?!" bentak seseorang di kegelapan malam.
"Eh, jangan! Aku Ki Soma Langit akan membawa berita buruk kepada junjungan kita!" kata sosok yang baru saja berlari, dan ternyata Ki Soma Langit.
"Ki Soma Langit? Hm..., kami kira siapa. Kenapa kau jadi penyakitan begitu?" tanya suara tadi tanpa menunjukkan diri.
"Ceritanya panjang. Aku perlu bicara langsung dengan Ki Darmala..."
"Kalau begitu, silakan kau terus ke depan sana...!"
Ki Soma Langit kembali meneruskan perjalanannya, hingga tiba di depan pintu goa itu tanpa mengalami kesulitan. Orang yang agaknya penjaga pintu goa itu pun mempersilakannya untuk masuk.
Jalan menuju ke dalam goa ini cukup panjang dan berliku-liku. Namun makin ke dalam, ruangannya terasa semakin membesar. Di tiap dinding terpancang obor-obor yang menerangi sekitarnya. Langkah kaki Ki Soma Langit terus menuju sebuah ruangan yang cukup besar. Tampak dua orang tengah berdiri tegak menjaga pintu ruangan itu.
"Aku ingin bertemu Ki Darmala...," jelas Ki Soma Langit dengan suara lemah.
"Ada keperluan apa?" tanya salah seorang penjaga dengan nada datar.
"Urusan penting. Soal Pendekar Rajawali Sakti!"
Kedua penjaga itu saling berpandangan untuk sesaat. Kemudian menyilakan Ki Soma Langit ke dalam ruangan. Ruangan itu luas dan terang, serta dipenuhi orang. Salah seorang duduk di atas sebuah kursi besar dan lebar sambil memegang sebatang tongkat hitam yang ujungnya berbentuk kepala ular merah yang sedang meleletkan lidahnya. Usianya sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar berkepala botak. Wajahnya penuh bercak-bercak hitam dengan cambang yang menambah keangkerannya. Kulitnya hitam, terbungkus pakaian hitam yang kedombrongan dengan beberapa buah kantong berukuran besar. Orang inilah yang bernama Ki Darmala alias si Dewa Racun Hitam!
Tampak beberapa orang perempuan berwajah cantik tengah bergelayutan di pundak si Dewa Racun Hitam. Tak jauh dari situ, terlihat beberapa orang bocah berkepala botak memakai baju kedombrongan berwarna hitam yang juga banyak memiliki kantong berukuran besar. Kemudian terlihat beberapa tokoh persilatan yang kini memandang tajam ke arah Ki Soma Langit yang tengah menjura hormat dalam keadaan bersujud di lantai.
"Ki Darmala, maaf, hamba gagal menjalankan tugas...," ucap Ki Soma Langit, lesu.
"Hm.... Ki Soma Langit, bangunlah. Ceritakanlah padaku, apa yang membuatmu begitu loyo seperti tikus pesakitan?" tanya Ki Darmala dengan suara datar.
Perlahan-lahan Ki Soma Langit bangkit, namun tak berani mengangkat kepalanya. "Ki Tambak Gering memiliki dua orang kawan. Agaknya, merekalah yang menghancurkan Sumawangsa beserta murid-muridnya. Dan..., dan Ki Rogo Jagat..."
"Kau ingin mengatakan kalau Ki Rogo Jagat tewas?"
Ki Soma Langit mengangguk cepat.
"Dan Ki Soma Langit yang garang serta berangasan kini dipecundangi?"
Ki Soma Langit diam tak menjawab. Tapi, wajahnya semakin menunduk mendengar kata kata Ki Darmala yang mengandung ejekan.
"Nah! Katakan padaku, siapa kedua orang hebat yang kau ceritakan tadi?"
"Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut..."
"Hm.... Kau akan mendapat hadiah atas beritamu ini, Ki Soma Langit!" seru Ki Darmala dengan wajah berseri.
"Ampun, Ki. Aku.. , aku tak berani...."
"Kemarilah. Angkatlah mukamu itu. Aku berkata sungguh-sungguh!" lanjut Ki Darmala dengan nada manis.
Dengan takut-takut, Ki Soma Langit mengangkat wajahnya sambil beringsut lebih dekat. Tapi pada saat itu juga, mendadak.
Get! Ciet!
Crab!
"Aaa...!"
Ki Soma Langit menjerit keras ketika beberapa buah benda kehitaman dilemparkan Ki Darmala ke arahnya. Benda-benda yang tak lain kalajengking berbisa itu menancap di kerongkongan, jantung, ulu hati, dan perutnya. Tubuh Ki Soma Langit langsung ambruk dengan keadaan membiru. Dari mulutnya tampak mengeluarkan busa. Setelah menggelepar-gelepar beberapa saat, kemudian nyawanya melayang. Jelas, Ki Soma Langit menderita keracunan hebat. Kelajengking kecil bertubuh hitam mengkilat itu memang memiliki bisa sangat hebat tiada duanya.
"Lemparkan mayatnya keluar, biar menjadi santapan anjing liar!" seru Ki Darmala memberi perintah.
Beberapa orang segera bergerak menggotong mayat Ki Soma Langit keluar dari ruangan itu. Sejenak suasana jadi hening di dalam goa itu, seperti di pekuburan. Agaknya hal itu sering terjadi. Mereka yang berada di tempat itu tahu, sikap apa yang harus diambil. Berdiam diri dan menunggu Ki Darmala buka mulut.
"Orang sepertinya memang patut mampus. Siapa saja yang memiliki jiwa pengecut seperti Ki Soma Langit, tak akan selamat di tanganku!" tandas Ki Darmala dengan suara keras.
Suasana di ruangan itu masih terlihat hening. Belum ada yang berani buka suara.
"Ki Sasongko, dan Ki Padmo! Apa tanggapan kalian mengenai kehadiran kedua pendekar muda itu?" tanya Ki Darmala seperti tak mempedulikan kejadian barusan.
Dua orang laki-laki berusia lanjut langsung menoleh ke arah Ki Darmala sambil memberi hormat.
"Bukankah ini kesempatan baik bagi Ki Darmala untuk membuktikan cita-cita, bahwa Dewa Racun Hitam memang patut menjadi raja di segala golongan?" sahut laki-laki tua yang berambut pendek dan putih dengan tubuh kecil. Orang inilah yang tadi dipanggil Ki Sasongko.
"Benar, Ki. Bukankah Ki Darmala telah lama menunggu kesempatan baik seperti sekarang ini? Pendekar Rajawali Sakti adalah penghalang besar bagi tujuanmu. Oleh sebab itu, dia memang harus disingkirkan! Dan kini, kita tak usah bersusah payah menelusuri jejaknya. Dia telah berada di dekat sini. Dan keadaannya seperti ular mencari penggebuk. Kita tinggal menggebuknya saja, Ki!" sambung Ki Padmo, yang bertubuh bungkuk dengan gigi mancung ke depan.
"Ha ha ha...! Betul! Apa yang kalian katakan memang tak salah. Tapi, jangan menganggap enteng. Kedua orang itu bukan orang sembarangan. Apalagi, Pendekar Rajawali Sakti. Kepandaiannya kuakui sulit diukur. Banyak sudah tokoh sakti yang tewas di tangannya. Kalian pasti pernah mendengar berita tentang itu, bukan!"
"Benar, Ki. Pendekar Rajawali Sakti memang tokoh hebat. Telah banyak tokoh sakti yang tewas di tangannya. Tapi kebanyakan dari mereka hanya memiliki nama besar tanpa kemampuan memadai. Jadi sudah sepatutnya mereka mampus di tangan pemuda itu. Tapi menghadapi Dewa Racun Hitam, jangan coba-coba berharap bisa mengunggulimu. Ki!" sahut Ki Sasongko mantap.
"Pendekar Rajawali Sakti hanya dikawani oleh si Kipas Maut. Jumlah kita amat banyak. Dan sudah pasti, dia akan berpikir seribu kali untuk menentangmu, Ki. Apalagi, mencoba menghancurkanmu. Lagipula, pengaruhmu sudah meluas sampai ke mana-mana. Kalau dia mencoba menghasut, tak akan ada yang sudi membantunya!" lanjut Ki Padmo.
Ki Darmala alias si Dewa Racun Hitam hanya tersenyum kecil mendengar penuturan kedua orang tua itu. "Hm.... Apakah dengan begitu kalian akan mengatakan kalau aku mampu menghancurkan mereka?"
"Siapa yang bisa menyangsikan hal itu?" sahut Ki Sasongko, mengandung kepastian.
"Betul, Ki! Tak seorang pun yang mampu mengunggulimu!"
Kata-kata Ki Sasongko dan Ki Padmo dibenarkan yang lainnya. Dan Ki Darmala jadi tersenyum lebar mendengar pujian itu.
"Hm.... Terima kasih atas kepercayaan kalian terhadapku. Jika kalian merasa bangga terhadapku, demikian pula aku. Dewa Racun Hitam akan menjadi penguasa atas jagat ini. Demikian pula orang terdekatnya. Kalian akan menjadi orang-orang hebat yang patut disegani, dengan kemampuan yang hebat dan patut dibanggakan," ujar Dewa Racun Hitam.
Kedua orang itu serta yang lain mengangguk-anggukkan kepala mendengar kata-kata Dewa Racun Hitam.
"Oleh karena itu. aku yakin sekali kalau setiap orang yang berada di dekatku akan mampu membereskan segala persoalan," lanjut Ki Darmala.
"Tentu saja, Ki! Kalau tidak, untuk apa kami di sini?" sambung Ki Sasongko.
Ki Sasongko dan Ki Padmo terdiam sejenak, mendengar kata-kata terakhir Ki Darmala. Kini baru disadari arti perkataan Ki Darmala tadi.
"Eh! Apa maksudmu, Ki?" tanya Ki Sasongko.
"Maksudku, orang-orang terdekatku memiliki kemampuan yang hebat dan bisa dibanggakan. Oleh sebab itu, urusan Pendekar Rajawali Sakti pasti kalian mampu menanganinya dengan baik," sahut Dewa Racun Hitam enteng.
"Apakah Ki Darmala menginginkan kami membereskah Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Ki Sasongko memastikan.
"Apakah kalian takut berhadapan dengannya?" balas Ki Darmala, dingin.
"Eh? Mana berani kami membantah perintahmu. Bahkan ini merupakan tugas yang amat menggembirakan. Bukan demikian, Ki Padmo?"
"Betul! Betul, Ki. Kalau memang Ki Darmala mempercayakan pada kami untuk mengurus Pendekar Rajawali Sakti, maka kami akan senang sekali melakukannya."
"Bagus! Kalian boleh berangkat sekarang juga menemui mereka. Dan katakan, mereka berdua harus tunduk kepadaku."
"Malam ini, Ki?!" tanya Ki Sasongko, seperti tak percaya pada pendengarannya.
"Kapan lagi? Apakah ada perlunya ditunda?"
"Eh! Kalau demikian, baiklah. Kami akan berangkat sekarang juga. Bukan begitu, Ki Padmo?"
"lya, iya...," sahut Ki Padmo cepat sambil menjura hormat kemudian mengikuti Ki Sasongko berlalu dari tempat itu.
Ki Darmala tersenyum-senyum kecil mengiringi kepergian mereka, sampai hilang di mulut pintu ruangan ini. "Kalian semua, siapkan orang-orang kita untuk menyambut Pendekar Rajawali Sakti dan kawan-kawannya!"
"Ki, bukankah barusan Ki Sasongko dan Ki Padmo akan membereskannya?" sambut salah seorang dengan wajah heran.
"He he he...! Apakah kau pikir mereka akan mampu? Pendekar Rajawali Sakti bukan orang sembarangan. Dan kalau mereka yang ku tugaskan, itu karena aku tak suka pada penjilat. Mereka ke sana hanya menemui ajalnya saja. Pendekar Rajawali Sakti pasti akan ke sini, cepat atau lambat!" tegas Ki Darmala.
Orang itu mengangguk mengerti, kemudian segera memberi isyarat pada yang lain. Beberapa orang segera berlalu dari ruangan ini. Sementara, Dewa Racun Hitam hanya tersenyum kecil di singgasananya dikelilingi gundik-gundiknya.

***

Ki Tambak Gering sangat girang ketika mendengar jawaban kalau kedua tamunya yakni Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi bersedia bermalam dipadepokannnya, bukan hanya itu. Mereka juga memang telah bertekad untuk membantu menghancurkan Dewa Racun Hitam. Kalau mulanya laki-laki setengah baya itu merasa was-was dan kecil hati, tapi dengan kehadiran Pendekar Rajawali Sakti di tempat ini. Mereka seperti mendapat semangat baru. Dalam dada setiap murid Padepokan Gagak Lumayung menyala api semangat membara untuk menghancurkan Dewa Racun Hitam yang selama ini menjadi momok menakutkan bagi penduduk desa-desa sekitar Gunung Kelud.
"Rangga, apakah tak berbahaya mengirim pengantar surat secepat ini. Mereka mungkin kaget, atau bahkan merasa bimbang," tanya Ki Tambak Gering.
Memang, siang tadi Rangga meminta Ki Tambak Gering untuk mengirim surat kepada tokoh-tokoh persilatan yang selama ini menentang Dewa Racun Hitam. Para pengantar surat itu terdiri dari murid-murid Ki Tambak Gering sendiri.
"Ki Tambak! Kita seperti mengadu cepat dengan Dewa Racun Hitam. Ki Soma Langit yang kabur tadi, tentu akan memberitahukan pada Dewa Racun Hitam. Dan cepat atau lambat, mereka akan ke sini. Seperti yang Ki Tambak ceritakan, maka kuat dugaanku mereka akan datang sesaat lagi. Itulah yang membuatku harus bertindak cepat mengirim surat, dan menyuruh mereka datang ke sini secepatnya," jelas Rangga.
Ki Tambak Gering mengangguk-angguk begitu mendengar penjelasan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku hanya khawatir, mereka yang dikirimi surat akan kaget dan bimbang..."
"Mereka harus menentukan keputusan cepat, Ki. Kalau tidak, Dewa Racun Hitam akan semakin merajalela!"
"Apakah kau berniat akan mendatangi sarang Dewa Racun Hitam, Rangga?"
"Bagaimana menurut Ki Tambak? Apakah itu usul yang baik?"
"Untuk menghancurkan seseorang, memang sebaiknya sampai ke akar-akarnya. Kalau kita ke sana, seperti sekali menepuk kejahatan. Maka, selesailah sudah urusannya. Tapi, itu bukanlah pekerjaan gampang. Karena, justru di sanalah mereka kuat dan sulit ditaklukkan".
"Ki Tambak benar. Tapi, kita harus ke sana. Karena sekali mereka berpencar-pencar, akan sulit bagi kita untuk menumpasnya. Kalau memang malam ini juga para tokoh yang dikirimi surat datang ke sini, kita langsung akan menyerbu ke sarang Dewa Racun Hitam!" jelas Rangga mantap.
"Rangga, apakah itu bukan tindakan gegabah?" tanya Ki Tambak kaget.
Rangga menggeleng mantap. "Tidak, Ki! Kita akan berangkat malam ini juga ke sarang Dewa Racun Hitam. Mereka akan datang ataupun tidak biar saja. Tak perlu banyak orang, tapi cukup mereka yang memiliki kepandaian tinggi serta orang-orang berani.
"Kami siap, Ki!" sahut salah seorang murid Padepokan Gagak Lumayung bersemangat.
"Aku juga! Demi membela kebenaran, kami siap berkorban nyawa!"
"Kami juga akan ke sana kalau memang Pendekar Rajawali Sakti berkata demikian!"
Mendengar jawaban murid-muridnya, hati Ki Tambak Gering tergugah juga. Perlahan kepalanya mengangguk, menyetujui usul yang dikemukakan Pendekar Rajawali Sakti tadi.
"Maaf, Ki. Usulku memang seperti mengajak mereka bunuh diri. Tapi, justru hal ini demi keselamatan kita bersama juga. Seperti yang Ki Tambak ceritakan, mereka sering melakukan kejahatan di siang hari. Oleh sebab itu, kita harus menghadapi malam hari, agar mereka kelabakan. Lagi pula, jumlah mereka banyak. Kalau kita menyerang malam hari, sulit bagi mereka untuk membedakan mana musuh dan mana kawan. Sehingga, kita bisa berusaha menekan jumlah korban yang jatuh dengan membuat tanda di antara sesama kita, agar tak terjadi saling bentrok."
"Hm.... Kalau memang begitu, rencanamu, kusetujui. Itu suatu siasat yang cukup jitu!" sahut Ki Tambak Gering bertambah semangat.
"Siapa yang tahu, di mana sarang Dewa Racun Hitam itu?" tanya Pandan Wangi.
"Tempat itu bukan rahasia, karena semua tokoh persilatan di wilayah ini mengetahuinya. Di sebuah goa di kaki Gunung Kelud." jelas Ki Tambak Gering.
"Kalau begitu, tak berapa jauh lagi dari tempat ini," sahut Rangga.

"Pendekar Rajawali Sakti, keluar kau!" Tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring dari luar.
"He? Siapa itu?!" seru Ki Tambak Gering dan murid-muridnya serentak kaget.
Rangga dengan tenang bangkit dari duduknya sambil tersenyum kecil. "Benar bukan kataku?"
"Anak buah Dewa Racun Hitam!" sambung Pandan Wangi sambil beranjak dari duduknya.
"Mari kita sambut mereka, Ki. Dan kita cari tahu, apa maksud kedatangannya itu," ajak Rangga.
"Eh! Iya..., iya!"

***

106. Pendekar Rajawali Sakti : Dewa Racun HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang